PSI Minta MK Pertahankan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Partai Solidaritas Indonesia minta MK tolak uji materi terkait penerapan sistem proporsional terbuka dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu. Selain PSI, tiga anggota DPRD DKI dari Fraksi PSI juga ikut menjadi pihak terkait.
Oleh
SUSANA RITA, DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Solidaritas Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terkait penerapan sistem proporsional terbuka di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Untuk memastikan hal tersebut, partai yang dipimpin oleh Giring Ganesha ini akan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara pengujian sistem pemilu yang kini berlangsung di MK.
Selain PSI, tiga anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, yaitu Anthony Winza Probowo, August Hamonangan, dan William Aditya Sarana, juga mengajukan diri sebagai pihak terkait. Baik PSI maupun ketiga anggota parlemen tersebut mengaku berkepentingan dengan pengujian itu karena, jika MK mengabulkannya, prinsip daulat rakyat akan tercederai.
Direktur LBH PSI Francine Widjojo dalam siaran persnya, Selasa (10/1/2013), mengungkapkan, nilai-nilai dan visi partai tempatnya bernaung untuk menciptakan Indonesia yang berpusat pada rakyat bakal tercederai jika sistem pemilu diubah. Tidak hanya tercederai, prinsip daulat rakyat juga hilang.
”Karena pemilu tidak lagi berpusat kepada rakyat sebagai penentu, tetapi hanya kepada partai politik. Itu sebabnya kami mengajukan diri sebagai pihak terkait. Kedaulatan rakyat harus dibela,” ujarnya.
Saat ini, pemilu legislatif dilaksanakan dengan cara mencoblos langsung nomor urut atau gambar calon anggota legislatif yang ada di surat suara (proporsional terbuka). Para pemohon uji materi meminta MK mengubah sistem tersebut menjadi proporsional tertutup sehingga pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai. Caleg terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut; dan pembagian nomor urut sepenuhnya menjadi hak partai politik.
Karena pemilu tidak lagi berpusat kepada rakyat sebagai penentu, tetapi hanya kepada partai politik. Itu sebabnya kami mengajukan diri sebagai pihak terkait. Kedaulatan rakyat harus dibela.
Menurut Francine, dalam sistem pemilu proporsional terbuka, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang menentukan siapa wakilnya yang akan duduk di parlemen. Sebaliknya, dalam sistem proporsionalitas tertutup, prinsip ”dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” akan menjadi ”dari parpol, oleh parpol, untuk parpol”.
Sementara itu, tugas partai politik sekadar merekrut, menghasilkan politisi berkualitas dan berintegritas, serta menyampaikan nama-nama mereka ke publik. Apabila yang bersangkutan terpilih menduduki jabatan anggota parlemen, hal itu merupakan wujud aspirasi dari masyarakat atas kualitas, kinerja, dan integritas dari tiap-tiap calon.
”Bukan semata-mata karena kedekatan dengan elite politik di dalam partai politiknya,” kata Francine menegaskan.
Enam warga negara mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf d, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), dan Pasal 426 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal-pasal tersebut mengatur sistem proporsional terbuka.
Adapun enam orang yang mengajukan uji materi tersebut adalah Demas Brian Wicaksono yang juga pengurus PDI Perjuangan di Kabupaten Banyuwangi, Yuwono Pintadi yang merupakan anggota Partai Nasdem, Fahrurrozi yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024, Ibnu Rachman Jaya, serta Riyanto dan Nono Marjono (dua terakhir aktif di partai politik).
Demas dan Yuwono selaku pengurus partai politik merasa dirugikan karena sistem proporsional berbasis suara terbanyak telah dibajak oleh calon pragmatis yang bermodal popularitas dan menjual diri tanpa ikatan ideologi dan pendidikan partai politik. Hal itu sangat merugikan—terutama karena calon yang akhirnya terpilih tidak memiliki pendidikan partai politik—sehingga saat duduk di DPRD seolah tidak mewakili partai atau sebuah ideologi. Mereka mewakili dirinya sendiri.
Sistem proporsional terbuka juga dinilai telah menimbulkan konflik di internal partai sehingga hal tersebut tidak menyehatkan sistem kepartaian. Sistem ini juga hanya menonjolkan individualisme politisi.
Perbaikan demokrasi
Dalam pidato kebangsaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-25 Universitas Paramadina, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, tantangan yang dihadapi bangsa ini di tahun politik adalah membangun konfigurasi politik yang lebih demokratis. Menurut dia, bangsa ini harus berani keluar dari konfigurasi politik yang korup. Akademisi, termasuk dari sivitas akademika Universitas Paramadina, diminta untuk menawarkan jalan keluar.
”Akademisi sebagai konseptor harus bisa menawarkan jalan keluar. Bagaimana agar bisa mengubah sistem melalui proses-proses politik yang demokratis dan tidak merusak kehidupan bersama,” katanya.
Akademisi sebagai konseptor harus bisa menawarkan jalan keluar. Bagaimana agar bisa mengubah sistem melalui proses-proses politik yang demokratis dan tidak merusak kehidupan bersama.
Mahfud menyebut, pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya untuk menciptakan konfigurasi politik yang tidak korup. Misalnya, mengajukan legislasi Undang-Undang tentang Perampasan Aset dan UU Pembatasan Belanja Uang Tunai. Rancangan regulasi itu dinilai penting untuk menyempurnakan pencegahan korupsi dalam proyek pemerintah. Rancangan itu sudah disampaikan ke partai politik, tetapi ditolak. DPR juga tidak memasukkan legislasi itu ke Program Legislasi Nasional Prioritas karena pertimbangan politik.
”Tentu pemerintah tidak bisa apa-apa,” ujarnya.
Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, pilihan sistem pemerintahan negara masih selalu demokrasi. Sistem demokrasi masih tetap dinilai sebagai yang terbaik.
Mahfud menyebut sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, pilihan sistem pemerintahan negara masih selalu demokrasi. Sistem demokrasi masih tetap dinilai sebagai yang terbaik. Indonesia pernah mengubah sistem demokrasi liberal dengan sistem demokrasi parlementer pada 1955. Karena demokrasi parlementer bermasalah, lahir demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin diubah menjadi demokrasi Pancasila. Kemudian, saat Reformasi 1998, dibangun ulang demokratisasi di dalam kehidupan bernegara agar tata kelola pemerintahan menjadi baik dan terhindar dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
”Pilihan kita selalu demokrasi sehingga jangan berpikir sistem lain. Sistem demokrasi masih tetap yang terbaik meskipun ada kekurangan dan jebakan yang perlu diperbaiki pelan-pelan,” ujarnya.
Salah satu catatan kemunduran demokrasi itu adalah korupsi yang masih merajalela. Masalah itu tidak mudah diselesaikan karena ada konfigurasi politik yang korup. Pengadilan, misalnya, disebut Mahfud masih penuh dengan mafia. Pembuat hukumnya korupsi, yang melaksanakan korupsi, yang mengadili juga korupsi. Sampai sekarang, praktik itu masih berlangsung. Penegakan hukum terus dilaksanakan. Baik jaksa, hakim, maupun aparat banyak ditindak. Namun, terkadang ada intervensi politik. (ANA/DEA)