Vonis Ringan Terdakwa Korupsi Izin Ekspor CPO Usik Rasa Keadilan
Jaksa penuntut umum akan banding atas vonis ringan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap lima terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Sidang putusan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/1/2022). Lima terdakwa dalam kasus ini divonis hukuman pidana penjara 1 hingga 3 tahun. Hukuman tersebut lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum, yakni hukuman pidana penjara selama 7 hingga 12 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Vonis ringan bagi lima terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya dinilai tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Terlebih perbuatan mereka telah membuat rakyat kesulitan mendapatkan minyak goreng plus merugikan negara.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menghormati putusan hakim sebagai bentuk sarana penyelenggara negara hukum. Meskipun demikian, ia kecewa karena hakim menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni menyalahgunakan wewenang, tetapi vonisnya terlampau ringan.
”Menjadikan perekonomian rakyat menjadi kacau balau hukumannya kok tiga tahun bagi pejabat negaranya. Bagi swastanya hanya 1,5 tahun dan lain-lain satu tahun. Jadi kalau saya ibaratkan, ini pengenaan pasalnya adalah Pasal 3, tetapi hukumannya adalah Pasal 5, yaitu suap yang itu (paling lama) hanya 5 tahun,” kata Boyamin saat dihubungi di Jakarta, Kamis (5/1/2022).
Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Para terdakwa korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah berjalan menuju kursi persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2022).
Pada Rabu (4/1/2023), majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Liliek Prisbawono Adi menjatuhkan vonis hukuman pidana penjara kepada lima terdakwa, yakni bekas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana dan analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) atau bekas anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Tiga terdakwa lainnya dari pihak swasta adalah Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Indra Sari divonis 3 tahun penjara dan Master Parulian selama 1 tahun 6 bulan. Lin Che Wei, Pierre Togar, dan Stanley MA masing-masing dihukum 1 tahun penjara. Padahal, sebelumnya, kelima terdakwa dituntut oleh jaksa hukuman pidana penjara 7-12 tahun.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengaudit persetujuan ekspor CPO atau minyak sawit mentah dan kerugian keuangan negara Rp 2 triliun yang merupakan beban keuangan yang ditanggung pemerintah dengan diterbitkannya persetujuan ekspor (PE) CPO.
KOMPAS
Lima terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya divonis pada Rabu (4/1/2023) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari penyimpangan penyalahgunaan PE CPO dan turunannya dengan memanipulasi kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga terjadi keuntungan yang tidak sah dari para pelaku usaha yang mendapat persetujuan ekspor.
Terkait dengan kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan dan mahalnya minyak goreng yang mencapai Rp 10 triliun, majelis hakim menyatakan, untuk membuktikan adanya unsur kerugian perekonomian negara masih terdapat kesulitan. Sebab, ruang lingkupnya terlalu luas dan belum ada metode yang mengatur perekonomian negara.
Penghitungan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 10 triliun oleh saksi ahli Himawan Pradipto bersama tim dari Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada masih bersifat asumsi atau belum nyata. Padahal, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kerugian negara atau perekonomian negara haruslah nyata, bukan lagi sebagai perkiraan atau asumsi.
Meski demikian, menurut Boyamin, vonis yang diberikan hakim sangat ironis sehingga jaksa penuntut umum harus mengajukan banding sebagai bentuk rasa tidak puas terhadap putusan tersebut. Apalagi masyarakat telah merasakan ketidakadilan karena telah mengalami kesulitan mencari minyak goreng sampai berdesak-desakan. Di sisi lain, diduga ada pengusaha yang bisa mendapatkan keuntungan besar atas bantuan dari oknum pejabat.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (26/4/2022).
”Jadi, harus melakukan banding untuk mendapatkan upaya keadilan yang lebih tinggi dan itu yang harusnya posisi ini oleh hakim yang bisa diambil, yaitu menghukum berat dari kasus ini yaitu di tingkat banding,” kata Boyamin.
Melalui keterangan tertulis, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan, jaksa penuntut umum akan banding karena putusan hakim tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat terutama kerugian yang diderita masyarakat, yakni perekonomian negara dan termasuk kerugian negara.
Sementara itu, penasihat hukum Lin Che Wei, Maqdir Ismail, justru menilai hakim seharusnya berani membebaskan Lin Che Wei karena tidak ada yang bisa membuktikan bahwa ada kerugian perekonomian dan keuangan negara.
Ia menegaskan, keterangan saksi dari Kementerian Sosial (Kemensos) telah mengungkapkan bahwa bantuan langsung tunai (BLT) sudah dianggarkan sebelumnya. Hal tersebut merupakan kewajiban dari pemerintah dalam hal ini Kemensos untuk membantu masyarakat.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Maqdir Ismail
Hal senada diungkapkan penasihat hukum Master Parulian Tumanggor, Juniver Girsang. Menurut dia, majelis hakim telah menyatakan bahwa perbuatan terdakwa merugikan perekonomian negara tidak berbukti. Apabila tidak terbukti seluruhnya, seharusnya terdakwa dibebaskan.