Bertema ”Maka Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain”, Natal tahun 2022 menjadi ajang menjalin kebersamaan dalam menghadapi berbagai tantangan di atas bumi, tak terkecuali di negeri tercinta: Indonesia.
Pengurus gereja membersihkan dekorasi yang ada di Gereja Katedral Jakarta atau Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga, Jakarta Pusat, Jumat (23/12/2022).
Tema Natal tahun ini diambil dari Injil Matius 2:12 yang mengisahkan Tuhan meminta orang-orang Majus mencari jalan lain untuk menghindari Herodes yang ingin membunuh Sang Juru Selamat di hari kelahirannya.
Ada makna yang dapat ditarik dari pesan tema Natal kali ini. Sebuah pesan untuk mencari jalan lain dalam menghadapi dan melewati beragam tantangan.
Natal juga mengajak umat menemukan secara kreatif
jalan baru dalam menghadapi realitas di sekeliling. Perjumpaan melalui perayaan Natal memampukan kita berjalan bersama untuk pulih dan bangkit.
Selain itu, juga untuk membangun kehidupan dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Demikian pula demi menggemakan pertobatan ekologis di tengah maraknya kerusakan lingkungan.
Bersama dengan umat lainnya, orang Kristen harus aktif menyuarakan dan mempraktikkan politik kebangsaan dalam keseharian. Umat mesti tidak mudah terpancing atau sembarangan memberi komentar yang dapat memperkeruh suasana dan memicu perpecahan atau kebencian di masyarakat.
Demikian rangkaian pandangan Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom, dan Imam Gereja Anglikan Indonesia Revd Agustinus Titi.
Berikut petikan pandangan mereka:
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/12/2022).
Rukun dalam Kebersamaan
Tema Natal tahun ini sesuai kondisi masyarakat di Tanah Air dalam menghadapi masa depan. Salah satunya adalah tahun politik menjelang Pemilu 2024 yang dikhawatirkan banyak permasalahan berakar dari politik identitas.
Umat perlu mencari jalan lain agar terhindar dari berbagai perselisihan. Politik identitas, itu jalan lama yang sudah tidak relevan lagi, bahkan bisa memperburuk keadaan karena menimbulkan perpecahan.
Umat mesti mencari pemimpin tidak hanya dari golongan tertentu, tetapi yang memiliki kemampuan untuk bisa memimpin dengan baik dan bermanfaat untuk semua umat. Tokoh-tokoh politik dari Katolik harus bermanfaat untuk semua dan tidak hanya memikirkan golongannya.
Dalam kerangka pemilu, lebih baik mengatakan sesuatu yang baik tentang diri sendiri dan jangan mengatakan sesuatu yang buruk tentang orang lain.
Kebersamaan juga perlu diterapkan untuk menghadapi persoalan lainnya, seperti kemiskinan, kelangkaan pangan, hingga krisis energi. Seluruh pihak seharusnya saling bekerja sama dan tidak bergerak sendiri-sendiri. Keberagaman akan semakin indah jika disikapi dengan bergandengan tangan dan bersama-sama mengatasi berbagai rintangan.
Kerukunan dari berbagai agama ini menjadi indah karena semua saling membantu dalam toleransi. Saya meyakini kebaikan terhadap sesama manusia itu adalah ajaran dari semua agama. Bahkan, nilai-nilai kebaikan ini sesuai dengan Pancasila yang menjadi landasan hidup bernegara di Indonesia.
Jangan ragu-ragu membantu agama apa pun yang membutuhkan kita. Itu yang disebut persaudaraan. Semakin beragama, semakin Kristiani kita, semakin Pancasilais kita. Karena semua itu membawa kerukunan. Kalau kata-kata Sundanya, rukun sauyunan atau rukun dalam kebersamaan.
KOMPAS/LASTI KURNIA (LKS) 17-10-2016
Pendeta Gomar Gultom, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
Berpihak ke Jalan Kasih
Sejalan dengan konteks pada tema Natal kali ini yang bercerita tentang keberanian para Majus mengambil jalan lain dengan tidak menaati perintah penguasa yang lalim dan memilih berpihak kepada bayi Yesus merupakan ejawantah dari kondisi saat ini.
Berani berpihak kepada korban juga merupakan jalan kasih yang perlu ditempuh saat ini, mengingat dunia mengalami defisit cinta-kasih, dan surplus kebencian, kekerasan, kemiskinan dan beragam masalah lainnya. Masih banyak orang yang hanya menjadi penonton saat sesamanya menderita atau sengaja menutup mata agar hidupnya tetap aman dan nyaman.
Keberanian mengambil jalan lain dan tergerak oleh belas kasih untuk menolong mereka yang kurang beruntung dalam hidup ini perlu dihidupkan dan diwujudkan dalam keseharian. Mengambil jalan lain adalah buah dari perjumpaan dengan Kristus, dengan memilih jalan kasih, yang bisa saja berupa jalan sunyi, berisiko dan penuh tantangan. Ini pasti tidak populer karena tidak berupa jalan kekuasaan bergelimang gemerlapnya dunia.
Mengambil jalan lain itu bukanlah tindakan frustrasi, melainkan lebih merupakan keputusan iman karena berjumpa dengan perwujudan Yang Maha Tinggi yang justru memilih menjadi bayi lemah tak berdaya. Melalui perayaan Natal kali ini, akan memiliki sukacita, karena telah bertemu dengan Yesus. Ini seperti sukacita yang sama dengan orang Majus.
Sukacita yang melahirkan keberanian untuk mengambil jalan lain. Sukacita Natal yang mestinya juga menumbuhkan keberanian dalam diri kita masing-masing untuk mengambil jalan lain, yakni jalan sunyi dan tidak lagi kembali ke jalan-jalan yang biasa kita tempuh selama ini, yakni jalan yang ditandai dengan kekuasaan, harta, dan gemilang kegemerlapan.
Pandemi ini mestinya semakin menyadarkan kita.
ARSIP PRIBADI
Imam Gereja Anglikan Indonesia, Revd. Agustinus Titi
Berhikmat untuk Bangsa
Konteks tema Natal tahun ini sama dengan konteks situasi sekarang yang penuh ketidakpastian dan ancaman krisis. Gereja, pemerintah, dan masyarakat harus berhikmat dalam bertindak dan membuat keputusan. Dengan hikmat dan kesediaan untuk mendengar suara Tuhan, kita bisa menghindari tindakan yang akan merusak, bahkan menghancurkan umat serta bangsa dan negara yang satu.
Berkaca dengan pengalaman saat pandemi, gereja dan umat tidak hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, tetapi juga sesamanya. Kalau gereja sembrono, bisa jadi episentrum penularan Covid-19 dan mencelakakan banyak orang. Hikmat dan kesediaan untuk selalu mendengar suara Tuhan itu yang perlu dipegang dalam menghadapi krisis ke depan.
Ketika pandemi, gereja juga diuji untuk lebih terbuka, inklusif, dan bekerja sama dengan pihak lain, baik dengan sesama umat Kristen maupun umat agama lain. Saat itu, orang-orang saling membantu tanpa melihat latar belakang agama. Itu menjadi pengingat bahwa gereja juga harus seperti itu.
Begitu pula dengan persoalan politik. Pertama, orang Kristen harus jujur dulu pada diri sendiri. Apakah kita sendiri sudah bebas dari politik identitas itu? Karena kadang-kadang kita pun berpolitik identitas dalam pilihan kita. Mari berkaca, apakah pilihan yang kita ambil itu demi gereja, demi komunitas Kristiani, atau demi Indonesia?
Kalau kita masih memikirkan keselamatan kita dan gereja saja, itu sebenarnya kita berpolitik identitas juga. Yang harus didahulukan adalah kepentingan bangsa dan negara. Ketika tidak ada satu pun calon beragama Kristen, apa kita lantas apatis dan diam tidak memilih? Atau, kalau ada calon yang Kristen tetapi kita tahu dia tidak kompeten, moralnya kurang baik, apa tetap kita pilih hanya karena agamanya?