Demokrasi Digital Hadapi Tantangan, Upaya Mitigasi Perlu Dilakukan
Tantangan demokrasi digital beragam, di antaranya upaya peretasan. Pemangku kebijakan dan masyarakat diharapkan dapat bekerja sama agar demokrasi terjaga menjelang dan saat Pemilu 2024.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Pemilu 2024, demokrasi di ranah digital di Indonesia diyakini bakal menghadapi berbagai tantangan. Tantangannya antara lain eksploitasi data pribadi untuk kampanye politik, gangguan keamanan digital, dan gangguan penggunaan hak pilih. Untuk itu, perlu adanya upaya mitigasi dari pemangku kepentingan maupun masyarakat sipil agar demokrasi digital tetap terus terjaga.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik bertajuk ”Tantangan Demokrasi Digital Menuju Tahun Politik 2024” yang digelar SAFEnet, Kamis (8/12/2022), di Jakarta. Salah satu pembicara dalam diskusi, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Shevierra Danmadiyah, menyoroti gangguan terhadap pelindungan data pribadi. Menurut dia, eksploitasi data pribadi berpotensi jadi ancaman menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, terutama jika digunakan untuk kampanye memakai strategi microtargeting.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Strategi yang diadopsi dari teknik pemasaran itu mengandalkan data untuk mengetahui selera dan perilaku calon pemilih agar kampanye efektif. Caranya, data tersebut dipakai untuk menyampaikan pesan yang lebih personal dan tepat sasaran dari kandidat politik.
”Misalnya, kita mendapatkan pesan Whatsapp berisi program calon anggota legislatif (caleg) atau selalu disajikan unggahan tertentu caleg itu di Instagram. Selain persoalan algoritma, perlu kita pertanyakan kenapa data pribadi itu dapat diakses kandidat politik tertentu? Kita sulit menyebutnya kampanye karena kampanye diatur periodenya. Namun, ini jelas mempromosikan kandidat tertentu yang berdasarkan preferensi kita,” kata Shevierra.
Shevierra juga menekankan pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan, terutama untuk mengimplementasikan regulasi yang sudah ada. Ia menyoroti pemberlakuan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang seharusnya dapat melindungi masyarakat dalam menjalankan demokrasi di ranah digital. ”Mumpung masih ada waktu sebelum Pemilu 2024, harapannya pemerintah bisa menerapkan regulasi secara baik dan mendukung adanya proses demokrasi,” ucapnya.
Anggota Tim Reaksi Cepat Serangan Digital (TRACE), Farhanah, menyampaikan, tantangan lain yang berpotensi terjadi mengancam demokrasi digital menjelang Pemilu 2024 adalah gangguan keamanan digital. Menurut dia, gangguan keamanan digital kini lebih beragam bentuknya. Dulu, misalnya, hanya dikenal peretasan sebagai salah satu serangan digital. Saat ini, ada serangan berupa spyware atau perangkat yang dirancang mengawasi, melacak, dan mengambil data kegiatan pengguna.
Selain itu, ada pula serangan dalam bentuk doxing atau penyebaran informasi pribadi secara publik, pengambilalihan akun Whatsapp, dan food bombing atau pengiriman banyak makanan dari layanan pesan antar sehingga target harus membayarnya.
”Semua bentuk serangan digital itu diperkirakan tetap ada pada tahun ini hingga menjelang pemilu. Bahkan, itu berpotensi menjadi alat yang dipakai kandidat politik untuk menjatuhkan satu sama lain. Terlebih, sekarang mudah melakukannya,” ucap Farhanah.
Semua bentuk serangan digital itu diperkirakan tetap ada pada tahun ini hingga menjelang pemilu. Bahkan, itu berpotensi menjadi alat yang dipakai kandidat politik untuk menjatuhkan satu sama lain. Terlebih, sekarang mudah melakukannya.
Pernyataan Farhanah sejalan dengan laporan SAFEnet tentang pelanggaran hak-hak digital selama Juli-September 2022. Menurut laporan itu, terdapat 165 insiden keamanan digital, termasuk insiden besar, yaitu serangan terhadap jurnalis dan pekerja media Narasi TV pada September 2022. Serangan digital berupa peretasan akun Whatsapp, Telegram, dan Instagram terjadi pada 30 anggota staf Narasi TV dan 7 mantan anggota staf Narasi TV. Namun, Farhanah tak merinci asal-usul penyebab Narasi TV diretas.
Adapun ancaman demokrasi digital lain ialah gangguan dalam menggunakan hak pilih. Menurut Program Officer Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Usep Hasan Sadikin, Pemilu 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menjadi bukti bahwa gangguan tersebut nyata. Gangguan itu berupa diskriminasi regulasi, intimidasi terhadap pemilih, penyebaran disinformasi, dan pengusikan hak pilih.
Penyebaran disinfomasi, misalnya, menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait aturan pemungutan suara. Salah satu kasus disinformasi yang terjadi pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 adalah pemilih pindahan dapat memberikan hak suara hanya dengan membawa KTP elektronik tanpa membawa formulir pindah memilih (Formulir A5). Padahal, tak ada aturan dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atau putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan KTP elektronik digunakan sebagai syarat memilih bagi pemilih pindahan.
Gangguan dalam penggunaan hak pilih berupa diskriminasi regulasi, intimidasi terhadap pemilih, penyebaran disinformasi, dan pengusikan hak pilih.
Dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2019 Pasal 8 Ayat (5) disebutkan, apabila akan memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) lain, pemilih wajib melapor kepada panitia pemungutan suara tempat asal memilih untuk mendapatkan formulir Model A.5-KPU dengan menunjukkan KTP elektronik atau identitas lain dan/atau salinan bukti telah terdaftar sebagai pemilih di dalam daftar pemilih tetap di TPS tempat asal memilih.
Kendati demikian, Usep mengatakan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar demokrasi tetap terjaga menjelang Pemilu 2024. Masyarakat perlu menyadari lebih dahulu tentang seberapa penting hak politiknya. Setelah itu, masyarakat memperkuat soliditas agar terbangun ketahanan kelompok di bidang demokrasi.
Usep menambahkan, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Tak hanya dengan menjadi pemilih maupun menjadi kandidat yang akan dipilih, tetapi juga sebagai penyelenggara. Misalnya, masyarakat terlibat dengan menjadi bagian dari badan ad hoc penyelenggara Pemilu 2024, baik menjadi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) maupun Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Selain itu, kata Usep, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu perlu berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait transparansi peserta pemilu nantinya. Tujuannya agar pembukaan data peserta pemilu ke publik tidak bertentangan dengan ketentuan berlaku.
Asisten Staf Khusus Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika Bhredipta Socarana menyampaikan, ini merupakan waktu yang tepat bagi pihaknya dan penyelenggara pemilu untuk berkoordinasi, terutama untuk mengetahui cara pengaturan tepat untuk menyesuaikan aturan pemilu dengan UU PDP. Kemenkominfo tengah menunggu aturan turunan UU PDP sambil menyosialisasikan undang-undang tersebut ke berbagai kementerian dan lembaga.
Bhredipta menyebutkan, masih ada waktu juga bagi pemerintah untuk berkomunikasi dengan platform terkait pengelolaan data pribadi. ”Pemerintah akan meminta platform untuk transparan terkait pengelolaan data. Kami hanya bisa meminta, tetapi ujungnya tindak lanjut dari platform. Kami akan ngobrol dengan mereka,” ujarnya.