Umat beragama tidak perlu mengingkari adanya pemahaman yang berbeda dalam wawasan beragama. Namun, perbedaan itu terkadang mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan sebagai pembenaran bagi lahirnya konflik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf menyerukan kepada para pemimpin agama dunia untuk meninjau ulang wawasan keagamaan di lingkungan agama masing-masing. Selama ini pertentangan di antara kelompok agama yang berbeda kerap dijadikan pembenar dalam memunculkan hubungan antagonis antarumat beragama. Para pemimpin umat beragama perlu mengambil tanggung jawab untuk mencari jalan keluar agar seluruh umat bisa hidup berdampingan secara damai.
Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya dalam salah satu sidang pada G20 Religion Forum atau R20 di Nusa Dua, Bali, Rabu (2/11/2022), mengatakan, umat beragama tidak perlu mengingkari adanya pemahaman yang berbeda dalam wawasan beragama. Namun, perbedaan itu terkadang mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan sebagai pembenaran bagi lahirnya konflik dan pertentangan. Kondisi ini bisa mendorong hubungan yang semakin memburuk di antara kelompok agama yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama agar potensi konflik yang bersumber pada pemahaman dan wawasan keagamaan berbeda segera berakhir. Salah satunya dengan mengidentifikasi dan menyepakati nilai-nilai apa saja yang dipegang sebagai nilai bersama di antara agama-agama berbeda. Hal ini akan menjadi rujukan dasar dan alasan untuk bekerja sama karena telah memiliki nilai-nilai yang disepakati bersama.
Meski demikian, menurut Gus Yahya, umat beragama paham dan tidak perlu mengingkari bahwa masih ada unsur-unsur dalam sistem nilai setiap agama yang bisa digunakan sebagai pembenar dalam menciptakan hubungan antagonis di antara umat berbeda agama. Sebab, selalu ada nilai-nilai bersama antaragama yang bisa disepakati untuk bisa meneruskan hidup dengan saling berdamping secara damai tanpa terus-menerus dibayang-bayangi oleh potensi konflik.
”Maka, bila perlu, komunitas antaragama perlu mengupayakan suatu peninjauan ulang terhadap wawasan keagaaman di lingkungan agama masing-masing. Apabila di dalam wawasan keagamaan itu masih terdapat unsur-unsur yang bisa menghalangi koeksistensi damai di antara kelompok agama yang berbeda, kita harus memiliki keberanian untuk memikirkan interpretasi-interpretasi baru terhadap wawasan keagamaan ini agar hidup berdampingan secara damai lebih memungkinkan bagi kita semua,” ujarnya.
Menurut Gus Yahya, para pemimpin umat beragama perlu mengambil tanggung jawab untuk mencari jalan keluar dari keadaan ini. Mereka perlu melakukan upaya-upaya untuk mengurai keadaan saling mengunci karena hal inilah yang terus-menerus menjadi abu dalam sekam sehingga di mana pun dan kapan pun muncul dorongan untuk ada pertentangan di antara kelompok agama berbeda.
Ia mencontohkan, Gereja Katolik telah berhasil mendorong penghargaan atas keragaman. Mereka kini lebih mampu menerima kehidupan bersama tanpa pertentangan melalui Konsil Vatikan II.
Komunitas Yahudi pada 2016 juga telah menyelenggarakan suatu forum di antara para rabi yang menghasilkan dokumen sangat inspiratif dalam hal menjamin hubungan lebih harmonis di antara umat beragama. Dokumen yang disebut sebagai dokumen Teshuvot tersebut dengan jujur dan berani melihat ke dalam wawasan Yudaisme untuk mendorong agar paham ini dikembangkan dengan lebih menerima atas kesetaraan antara umat dan harmoni di antara kelompok berbeda.
Sementara di dalam negeri, Gus Yahya mencontohkan, konferensi nasional ulama di Jawa Barat yang digelar NU pada 2019 telah menyepakati wawasan yang merupakan rekontekstualisasi dari pemahaman ajaran Islam. Para ulama sepakat bahwa kategori non-Muslim, kafir, dan infidel tidak lagi relevan dalam konteks negara modern karena setiap warga negara harus setara di depan hukum.
”Perbedaan latar belakang agama tidak boleh dijadikan pembenaran bagi diskriminasi,” ujarnya.
Gus Yahya meyakini, apabila agama-agama di dunia telah mencapai titik ini, agama memiliki posisi yang kuat untuk masuk dalam struktur global, baik politik maupun ekonomi, bersamaan dengan nilai-nilai moralnya.
Paus Fransiskus melalui pidato tertulis yang dibacakan oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Uskup Agung Piero Pioppo mengatakan, dunia semakin ditandai dengan pengabaian Tuhan dan pelanggaran yang dilakukan atas nama Tuhan.
Oleh karena itu, seluruh umat beragama harus menegaskan bahwa ekstremisme, radikalisme, terorisme, dan semua dorongan lain yang menciptakan kebencian, permusuhan, kekerasan, serta perang, apa pun motivasi atau tujuannya, tidak berkaitan dengan semangat otentik agama dan harus ditolak dengan cara paling tegas.
Sebaliknya, tanggung jawab sebagai individu yang beriman dan pemimpin komunitas untuk mendorong jalan dialog timbal balik, cinta, dan rekonsiliasi yang mengarah pada perdamaian sesuai dengan rencana Tuhan.
”Dalam hal ini, agama sama sekali bukan penyebab berbagai krisis yang kita hadapi saat ini, melainkan menjadi bagian dari solusi,” ujar Paus Fransiskus.