Indeks Reformasi Birokrasi Dikejar Semata untuk Peningkatan Tunjangan
Reformasi birokrasi dinilai masih tidak efektif. Pemerintah perlu belajar dari pengalaman masyarakat dalam memberdayakan diri dan mengangkat kesejahteraan bersama.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instansi pemerintah kerap kali semata mengejar peningkatan indeks reformasi birokrasi agar tunjangan kinerja pegawai di instansi bisa meningkat. Namun, dampaknya justru nihil pada program prioritas yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Abdullah Azwar Anas mengatakan, sejumlah instansi pemerintah kerap berharap agar indeks reformasi birokrasi di instansinya ditingkatkan. Tujuannya agar tunjangan kinerja pegawai di instansi tersebut bisa bertambah.
”Setiap hari orang mengejar angka, tetapi dampaknya nihil dari program prioritas yang Presiden tetapkan,” ujar Azwar dalam Gelar Wicara bertajuk ”Reformasi Birokrasi Tematik”, di Yogyakarta, Jumat (21/10/2022).
Presiden menetapkan reformasi birokrasi untuk mengakselerasi tercapainya setidaknya tiga program pemerintah, yakni penganggulangan kemiskinan, peningkatan investasi, dan digitalisasi administrasi pemerintahan.
Sementara itu, mantan Wakil Menpan dan RB Eko Prasojo melihat, reformasi birokrasi masih sebatas pemenuhan administratif. Alhasil, reformasi birokrasi selama ini tidak berorientasi pada pemanfaatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
”Reformasi birokrasi dilakukan secara seadanya, sesempatnya, dan tidak menjadi prioritas. Padahal, ini jadi prioritas pembangunan nasional,” ujar Eko yang juga akademisi Universitas Indonesia ini.
Gagasan reformasi birokrasi sebenarnya sudah muncul sejak dua tahun lalu guna meningkatkan pembangunan. Namun, rencana tersebut kerap tak sesuai dengan kapasitas pembangunan yang ingin dicapai.
Eko mengatakan, selama ini pemerintah masih berfokus pada kenaikan indeks reformasi birokrasi. Mereka melakukannya supaya tunjangan kinerjanya meningkat, bukan menaikkan efektivitas pembangunan.
Meski reformasi birokrasi belum berjalan sesuai harapan, setidaknya salah satu pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, telah berupaya melakukannya. Alhasil, wilayah tersebut menjadi percontohan bagi daerah lain dalam reformasi birokrasi penganggulangan kemiskinan.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Suyanto Waspo, sebelumnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi terjebak pada sejumlah masalah. Masalah-masalah itu terdiri atas anggaran, abai data, dan ego sektoral di antara dinas dan badan pemerintah.
”Itu penyakit kami di Banyuwangi, mungkin juga berlaku di kabupaten dan kota di seluruh Indonesia,” ujar Suyanto.
Dalam birokrasi, guna membiasakan para pegawai pemerintahan disiplin, harus dipaksa melakukan suatu hal dalam berutinitas.
Sebagai contoh, rapat hanya dilakukan maksimum satu jam. Awalnya, pemimpin rapat akan membawa pemutus sinyal ponsel agar seluruh peserta fokus membahas suatu isu. Namun, lama-kelamaan kebiasaan itu tumbuh dari kesadaran setiap peserta.
Upaya Pemkab Banyuwangi pun diklaim dapat menekan angka kemiskinan, salah satu agenda reformasi birokrasi pemerintah. Suyanto menyebut, strateginya adalah menambah penghasilan masyarakat miskin, mengurangi pengeluarannya, dan meningkatkan efektivitas lembaga.
”Manfaatkan birokrasi, jangan dilibatkan di politik,” ujar Suyanto.
Peneliti senior Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Bambang Hudayana, menilai, pemerintah juga perlu lebih banyak belajar dari pengalaman masyarakat. Fokusnya pada memberdayakan diri dan mengangkat kesejahteraan bersama.
Pemerintah dapat melakukan beragam cara, seperti mengembangkan metode, peralatan, dan komitmen agar program berorientasi pada penciptaan lapangan kerja. ”Pendekatan pro poor berisiko meningkatkan anggaran negara, tetapi efeknya belum tentu signifikan mengurangi kemiskinan,” kata Bambang.