Menjadi prajurit TNI bukan hanya menuntut ketangguhan dalam berlatih agar siap menghadapi pertempuran. Dengan kesejahteraan yang masih terbatas, mereka dan keluarga juga menghadapi ujian kesabaran.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Salah satu prajurit TNI AD di ruma dinasnya di Rumah Susun Kompleks Prajurit TNI AD di Cililitan, Jakarta Timur, Selasa (6/9/2022). Terdapat lima tower dalam kompleks rumah susun prajurit TNI AD
Alih-alih mencari pekerjaan yang menjanjikan penghasilan lebih baik, Kopral Dua Muhammad Husni (35) tetap memilih sebagai prajurit TNI Angkatan Udara. Meskipun harus hidup dalam kondisi yang terbatas dan beban tugas yang lumayan berat, ia tetap memilih seragam loreng yang melekat di tubuhnya.
Dengan wajah semringah ia memandangi seragam yang dipundaknya tertempel tanda pangkat menyerupai huruf V berwarna merah. Saat itu ingatannya melayang lagi hingga tiga dekade lalu, saat kedua orangtuanya menanyakan cita-cita apa yang ingin diraih kelak. “Saya mau jadi tentara. Entah itu Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, yang penting pakai baju loreng,” ujar prajurit Batalyon 461 Komando Pasukan Gerak Cepat TNI AU (Kopasgat TNI AU), pertengahan September lalu.
Seperti banyak prajurit lainnya yang belum memperoleh rumah dinas, Husni sampai saat ini masih mengontrak rumah di Pasar Rebo, Jakarta Timur, bersama istri dan kedua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. Jika memperoleh rumah dinas, tentunya Husni tak perlu lagi mengeluarkan biaya sewa rumah kontrakan Rp 1,5 juta per bulan yang menghabiskan 30 persen gajinya.
Sisa gaji yang ada, diakui Husni, tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, seperti membayar tagihan listrik. Untuk memperoleh pendapatan tambahan, istrinya kemudian menggunakan sebagian ruangan rumah kontrakan yang ditempatinya sebagai warung untuk jajakan makanan kecil.
Warung yang dijalankan istrinya itu, bisa mendatangkan omzet Rp 100.000 per hari dengan keuntungan bersih Rp 30.000-Rp 40.000. “Lumayan keuntungannya bisa buat jajan anak di sekolah,” ujar Husni.
Dukungan istrinya itu diakui Husni lumayan membantu ekonomi keluarga, karena sebagai prajurit ia dilarang berbisnis. Hal itu diatur dalam Pasal 2 Huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kopda Niki Lauda Marines bersama keluarganya tinggal di rumah dinas TNI AL di Desa Ciangsana, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/9/2022).
Lika-liku rumah dinas
Kopral Dua Niki Lauda Marines, tamtama di TNI Angkatan Laut ini sejak kanak-kanak juga bercita-cita mengikuti jejak ayahnya sebagai prajurit. Pemenuhan kesejahteraan prajurit yang masih terbatas ia hadapi sebagai tantangan. Sejak 2009 ditugaskan di Dinas Penerangan TNI AL, Jakarta, baru tiga tahun belakangan ini Niki menikmati haknya menempati rumah dinas.
Saat lajang, Niki mengaku menempati asrama prajurit. Setelah menikah pada 2015, ia harus meninggalkan asrama itu. Karena belum tersedia rumah dinas yang kosong, Niki terpaksa mengontrak rumah dengan biaya sewa Rp 1 juta per bulan, menghabiskan hampir 25 persen dari gajinya.
Untuk memperoleh giliran menempati rumah dinas, tak hanya kesabaran yang diandalkan Niki. Ia pun menghadapi lika-likunya. Tepatnya 2019, Niki mendapatkan informasi dari rekannya tentang adanya penghuni rumah dinas yang pensiun dan akan pindah. Segera Niki menghubungi sang prajurit tersebut dan menawarkan diri untuk menempati rumah dinas tersebut.
Gayung bersambut. Setelah membayar Rp 30 juta kepada penghuni semula sebagai biaya pemeliharaan yang sudah dikeluarkan, Niki dan keluarganya dapat menempati rumah dinas di Rumah Dinas Jabatan Mabes TNI AL, Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu.
Untuk memperoleh giliran menempati rumah dinas, tak hanya kesabaran yang diandalkan Niki. Ia pun menghadapi lika-likunya.
Meski mengeluarkan biaya tak sedikit, ia mengaku bersyukur. "Sekarang lebih nyaman di rumah dinas, sangat membantu karena jadi bisa menabung sedikit-sedikit. Kalau dulu di kontrakan, kan, masih mikir membayar uang kontrak tiap bulan," ujar Niki.
Jiwa patriotisme pula yang membuat Kopral Dua Haris Aditya (35) bertahan sebagai prajurit TNI AD, meskipun baru lima tahun kemudian, pada 2018, ia bisa menempati salah satu unit rumah dinas di Rumah Susun Komplek Prajurit AD (Rusun KPAD) Kodam Jaya, Cililitan, Jakarta. Selama lima tahun itu, Haris menempati rumah kontrakan.
"Dengan menempati rumah dinas, saya tak lagi membayar rumah kontrakan lagi. Dana yang ada bisa disisihkan untuk pendidikan anak-anak," kata ayah tiga anak ini.
Loyalitas Haris terhadap TNI pun kian tebal setelah ia terlibat dalam pasukan perdamaian ke Kongo, Afrika. Pengalaman itu membuat ia memahami dampak gerakan separatisme dan perang antarsuku yang bisa mengancam pertahanan negara.
Kopral Dua Haris Aditya bercengkerama dengan keluarganya di rumah susun prajurit TNI AD di Cililitan, Jakarta Timur, Selasa (6/9/2022). Terdapat lima tower dalam kompleks rumah susun prajurit TNI AD ini.
Panggilan jiwa
Jika bukan karena panggilan jiwa, Asisten Personalia TNI AU Marsekal Muda Elianto Susetio mengungkapkan, rasanya sulit menekuni profesi sebagai prajurit. Sebagai perwira, ia pun mengaku melalui masa-masa sulit bertugas di berbagai daerah dengan fasilitas yang minim.
Dengan segala keterbatasan yang ada, diakui Elianto, ada saja prajurit yang tergiur imbalan sejumlah uang meski melakukan tindakan yang melanggar hukum. Setahun ini setidaknya ada 400 prajurit TNI AU yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan tindakan melanggar hukum.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurrachman juga tak menampik ada saja prajurit yang terperosok ke tindak pidana. Namun ia mengingatkan bahwa prajurit sebagai abdi negara harus kembali pada Sapta Marga prajurit, yang di antaranya menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit, dan berbakti pada negara dan bangsa.
Namun, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengingatkan agar Kementerian Pertahanan juga serius memenuhi kesejahteraan prajurit TNI, seperti rumah dinas. Program yang kurang prioritas seperti rekrutmen komponen cadangan yang memakan anggaran Rp 1 triliun per tahun, bisa dikesampingkan. “Jika anggaran itu dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, profesionalitas TNI juga akan meningkat,” ujarnya.