Peretasan terhadap Awak Redaksi Narasi Mengarah ke Bentuk Otoritarian Baru
Peretasan terhadap akun media sosial sejumlah awak redaksi Narasi menjadi peristiwa ke-35 yang terjadi pada jurnalis. Aksi ini tidak pernah terungkap pelakunya. Hal ini mencerminkan merosotnya demokrasi kita.

Laman Narasi
JAKARTA, KOMPAS — Peretasan terhadap akun media sosial milik jurnalis dan awak redaksi yang terus berulang dikhawatirkan mengarah ke bentuk otoritarianisme. Aparat penegak hukum didesak untuk proaktif mengusut tuntas pelaku peretasan agar tidak ada kesan impunitas terhadap gangguan yang mengganggu kemerdekaan pers.
Peretasan terhadap kelompok jurnalis kembali terjadi pada 35 awak redaksi dan mantan awak redaksi Narasi. Serangan itu menyasar akun media sosial 35 orang tersebut, baik di Facebook, Instagram, Telegram, maupun Whatsapp. Adapun serangan terjadi sejak Jumat (23/9/2022).
Pemimpin Redaksi Narasi Zen RS dalam unggahan di Twitter pribadinya, @zenrs, Rabu (28/9/2022), mengatakan, sampai Rabu siang masih ada satu anggota kru Narasi yang belum bisa menguasai sepenuhnya akun Whatsapp miliknya. Setiap kali masuk ke akun tersebut, ia tak memperoleh kode sandi sekali pakai atau one time password (OTP) yang biasanya dikirimkan ke pesan singkat. Verifikasi melalui panggilan telepon pun tidak masuk. Padahal, kartu sim dari nomor ponsel yang digunakan sebagai identitas akun Whatsapp dikuasai oleh awak redaksi tersebut.
”Operator menyarankan agar nomor sim card diganti yang baru. Korban menolak sampai ada clearance dan garansi dari operator kalau jaringan sudah sepenuhnya aman,” ujarnya.
Agar bisa mengakses akun Whatsapp, pengguna harus mendaftarkan nomor telepon seluler sebagai identitas akun ke aplikasi. Pengguna kemudian diminta memverifikasi melalui kode OTP yang dikirim oleh sistem Whatsapp melalui pesan singkat atau penggilan telepon.
Baca juga: Siapa Pun Rentan Jadi Peretas Sekaligus Korban ”Bjorka”

Foto kombinasi logo Twitter, Facebook, dan Google.
Zen menuturkan, Telegram dan Facebook menjadi dua aplikasi media sosial yang paling banyak mengalami upaya peretasan. Beberapa kali peretas berhasil masuk ke akun Telegram dan Facebook, tetapi kini sudah bisa dikuasai kembali.
Upaya peretasan, lanjutnya, pertama kali diketahui pada Sabtu (24/9/2022) saat akun Whatsapp milik salah satu produser Narasi, Akbar Wijaya, diretas. Akbar menerima pesan singkat melalui Whatsapp sekitar pukul 15.29 WIB yang berisi sejumlah tautan. Kendati tidak mengklik satu pun tautan dalam pesan singkat tersebut, hampir seketika itu juga atau sekitar 10 detik setelah pesan singkat itu dibaca, ia telah kehilangan kendali atas akun atau nomor Whatsapp miliknya.
Narasi masih terus melakukan penyelidikan terkait usaha-usaha peretasan.
Setelah Akbar, satu per satu upaya peretasan akun media sosial awak redaksi mulai terjadi. Penelusuran pun dilakukan dan ternyata upaya peretasan tersebut sudah berlangsung sehari sebelumnya. ”Pada Jumat sore (23/9/2022), tiga akun Telegram awak redaksi Narasi (dua di antaranya produser dan manajer Mata Najwa) sudah berusaha diretas, salah satu di antaranya berhasil masuk,” kata Zen.
Ia mengatakan, Narasi masih terus melakukan penyelidikan terkait usaha-usaha peretasan. Pihaknya belum bisa memastikan apakah serangan digital ini terkait dengan kerja-kerja jurnalistik. Namun, ada kemungkinan peretasan itu memiliki pola yang sama dan berasal dari pelaku yang sama karena dilakukan secara serentak.
”Mayoritas usaha peretasan berasal dari IP Address (alamat peretas di daring) dan perangkat yang identik. Hasil pemeriksaan internal yang kami lakukan menemukan IP Address tersebut menggunakan salah satu ISP (internet service provider, penyedia layanan internet) lokal,” ujar Zen.
Baca juga: Dari 1.261 Notifikasi Serangan Siber, Hanya 72 Notifikasi yang Direspons
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F02%2F19%2FDP2_1582129006_jpg.jpg)
M Agung Dharmajaya (anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers) bersama Ketua Umum AJI Abdul Manan, Imam Wahyudi (Ketua Dewan Pertimbangan IJTI), dan Gading Yonggar Ditya (Kepala Bidang Advokasi LBH Pers). M Agung Dharmajaya menyampaikan pernyataan terkait RUU Cipta Kerja yang memasukan revisi UU Pers, di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Peretasan terbesar
Wakil Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya menyatakan, pihaknya telah menerima laporan dari beberapa konstituen terkait adanya peretasan terhadap akun digital milik awak redaksi Narasi. Peretasan itu disebut sebagai peristiwa peretasan terbesar yang pernah dialami awak media nasional.
Tindakan peretasan itu, lanjutnya, merupakan perbuatan melawan hukum dan berakibat pada terganggunya upaya kerja jurnalistik serta kemerdekaan pers. Padahal, menjaga kemerdekaan pers adalah tanggung jawab semua pihak, baik perusahaan pers, publik atau masyarakat luas, pemerintah, maupun aparat penegak hukum.
Ia mengingatkan, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi keadilan dan supremasi hukum. Hal ini menjadi unsur sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. Oleh sebab itu, kemerdekaan mengeluarkan pendapat dan pikiran dijamin sebagaimana Pasal 28 UUD 1945.
Oleh sebab itu, kata Agung, Dewan Pers mengecam semua tindakan peretasan dan meminta dengan segera agar pihak yang melakukan peretasan menghentikan aksinya. Dewan Pers juga meminta aparat penegak hukum agar proaktif untuk menyelidiki kejadian peretasan ini dan segera menemukan pelakunya serta mengusutnya hingga tuntas.
”Dewan Pers mengingatkan ada ancaman hukuman terhadap pihak yang mengganggu kerja jurnalistik. Sebab, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara sehingga setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat dan menghalangi kegiatan jurnalistik bisa dikenai pidana,” tutur Agung.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F09%2F27%2F5810e9b5-4bc3-4572-8c95-10cf8807e487_jpg.jpg)
Aksi keprihatinan para jurnalis di Malang yang menolak kekerasan oleh aparat terhadap jurnalis yang tengah bertugas, Jumat (27/9/2019), di Malang, Jawa Timur.
Dalam catatan Komite Keselamatan Jurnalis, peretasan yang dialami oleh awak redaksi Narasi bukanlah serangan digital pertama yang terjadi terhadap jurnalis. Pada Februari 2022, akun Whatsapp, Instagram, Facebook, dan nomor ponsel pribadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim diretas.
Kemudian, pada Oktober 2021, situs media online Project Multatuli terkena serangan distributed denial-of-service (DDoS) yang menyebabkan situsnya tidak dapat dibuka. Adapun sepanjang 2020, situs Tirto, Tempo, dan Magdalene mengalami serangan serupa. Ada pula akun Twitter Konde.co sempat diretas.
”Sampai saat ini, pelaku serangan-serangan tersebut masih belum terungkap,” kata Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung.
Dalam catatan Komite Keselamatan Jurnalis, peretasan yang dialami oleh awak redaksi Narasi bukanlah serangan digital pertama yang terjadi terhadap jurnalis.
Adapun KKJ beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

KKJ, lanjut Erick, menilai, peretasan tersebut mengancam kebebasan pers yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Serangan-serangan seperti ini dan kegagalan aparat penegak hukum untuk menemukan pelaku ataupun mencegahnya berulang merupakan bentuk pembungkaman kebebasan pers.
Ia menilai, serangan-serangan ini selalu terjadi saat jurnalis atau media menunjukkan sikap kritis terhadap tindakan atau kebijakan pihak yang berkuasa. Jika terus dibiarkan, serangan seperti ini tentu akan membuat jurnalis ataupun media berpikir dua kali saat melaporkan berita yang kritis atau sensitif. ”Ini juga akan mengurangi akses masyarakat terhadap informasi yang penting dan meminta akuntabilitas terhadap pihak yang berkuasa,” katanya.
Maka dari itu, KKJ pun mendesak agar pemerintah secara terbuka menyatakan dan mengakui bahwa serangan, ancaman, pelecehan, serta intimidasi terhadap masyarakat sipil, termasuk jurnalis dan kantor media, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Aparat penegak hukum harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan segera secara efektif, menyeluruh, dan independen terhadap kasus peretasan ini serta mengadili pelaku dengan seadil-adilnya. Mereka pun meminta semua pihak untuk menghormati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Pengajar di Fakultas Hukum UGM Herlambang Wiratraman
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang Wiratraman, menilai, serangan terhadap jurnalis dan awak media merupakan hal yang tidak mengejutkan. Sebab, kejadian ini terjadi saat situasi demokrasi di Indonesia terus-menerus merosot, yang ditandai dengan melemahnya ruang kebebasan sipil.
Ia menilai, serangan-serangan peretasan tidak pernah mendapatkan pertanggungjawaban yang serius dari aparat penegak hukum. Hal tersebut memunculkan kesan ada semacam impunitas terhadap pelaku-pelaku peretasan. Padahal, aktivitas tersebut merugikan perlindungan hak dasar warga negara yang dilindungi konstitusi.
”Artinya, dari waktu ke waktu sekadar mengonfirmasi situasi kemunduran demokrasi atau situasi yang lebih memperlihatkan bentuk otoritarian baru. Peretasan serta tidak adanya penegakan hukum yang serius ini menjadi model-model pengelolaan negara otoritarian baru,” ucap Herlambang.
Ia mengaku tidak bisa berspekulasi mengenai kelompok yang melakukan peretasan. Namun, ia menduga pelaku tersebut menggunakan instrumen kekuasaan yang dimiliki oleh pemilik otoritas, baik otoritas penggunaan alat maupun otoritas yang memiliki kuasa pengawasan atas alat peretasan tersebut. Apalagi, serangan dilakukan kepada media yang kritis menyuarakan kepentingan publik.
”Kalau kita refleksikan, pelakunya jelas bukan individual, bukan satu dua orang karena perlu alat yang tidak murah. Kalau pelakunya tidak tersentuh hukum, berarti bukan sekadar orang biasa,” ucap Herlambang.