Mutasi Pejabat Internal Daerah Tetap Harus Mendapatkan Izin Mendagri
"Untuk mutasi pejabat internal daerah, seperti pengisian jabatan tinggi pratama dan administrator, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus mendapat izin tertulis dari Mendagri," kata Kapuspen Kemendagri Benni Irwan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para aparatur sipil negara (ASN) mengikuti upacara Hari Ulang Tahun Ke-47 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (29/11/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri menegaskan, penjabat, pelaksana tugas, dan penjabat sementara kepala daerah tetap harus mendapatkan izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri dalam melakukan mutasi pejabat internal daerah. Kendati begitu, potensi politisasi birokrasi untuk pemenangan pemilu dan pilkada harus dicegah dengan pembentukan mekanisme mutasi yang transparan dan akuntabel.
Sebelumnya, Mendagri mengeluarkan SE Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022. Dalam SE itu disebutkan, dalam rangka efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam aspek kepegawaian perangkat daerah, Mendagri memberikan persetujuan tertulis kepada pelaksana tugas, penjabat, dan penjabat sementara gubernur/bupati/wali kota untuk dua hal.
Pertama, mereka diberikan persetujuan untuk melakukan pemberhentian, pemberhentian sementara, penjatuhan sanksi, dan atau tindakan hukum lainnya kepada pejabat atau aparatur sipil negara di lingkungan pemda provinsi atau kabupaten atau kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, persetujuan mutasi antardaerah dan atau antarinstansi pemerintah sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan, melalui keterangan tertulis, Minggu (18/9/2022), mengatakan, Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ itu hanya memberikan persetujuan amat terbatas kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), dan penjabat sementara (Pjs) dalam mengelola pembinaan kepegawaian di daerah. Pemberian persetujuan ini dilakukan untuk kecepatan dan kelancaran birokrasi pembinaan kepegawaian. Kewenangan ini juga sangat jauh berbeda dengan kewenangan kepala daerah definitif.
Ada dua pokok yang diatur dalam SE yang ditandatangani 14 September 2022 itu. Pertama, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman disiplin bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang tersangkut korupsi dan pelanggaran disiplin berat. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS bahwa kepala daerah harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi aparatur sipil negara (ASN) yang tersangkut korupsi.
Ia mencontohkan, apabila ada seorang ASN yang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, kepala daerah akan melakukan pemberhentian sementara. Namun, hal ini tidak bisa langsung dilakukan karena harus izin Mendagri terlebih dahulu. Sedangkan amanat PP No 94/2021, pegawai yang bersangkutan harus segera diberhentikan sementara.
”Sehingga dengan izin yang tersebut dalam SE, ASN yang melakukan pelanggaran dapat segera diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan di hadapan aparatur sipil negara yang akan pensiun dan pensiunan dalam Program Wirausaha ASN dan Pensiunan di Sentul International Convention Center, Bogor, Rabu (16/1/2019).
Kedua, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah yang akan melepas dan menerima ASN yang mengusulkan pindah status kepegawaian antardaerah (mutasi antardaerah) ataupun antarinstansi (mutasi antarinstansi). Dengan demikian, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis sebagaimana diatur sebelumnya. Upaya ini dilakukan agar proses pindah status kepegawaian tersebut berjalan lebih efektif dan efisien.
Sebagai contoh, ketika Pj bupati akan melepas ASN di daerahnya pindah ke kabupaten lain maka kedua kepala daerah, baik yang melepas maupun menerima, harus mendapatkan izin Mendagri lebih dulu sebelum menandatangani surat melepas dan menerima pegawai tersebut. Padahal, pada tahap selanjutnya, mutasi antardaerah akan tetap diproses Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri dan Badan Kepegawaian Negara. Maka, untuk mempercepat proses pelayanan mutasi, penandatanganan izin melepas dan izin menerima tersebut diberikan.
Benny menegaskan, pada dasarnya SE tersebut hanya memberikan persetujuan amat terbatas, hanya terkait dua urusan tersebut. Dengan demikian, pemberian izin itu tidak membuat kewenangan Pj, Plt, dan Pjs sama seperti dengan kepala daerah definitif. Setelah proses pembinaan kepegawaian tersebut dilaksanakan, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus melaporkan kepada Mendagri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak kebijakan tersebut diambil.
”Untuk mutasi pejabat internal daerah seperti pengisian jabatan tinggi pratama dan administrator, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus mendapatkan izin tertulis dari Mendagri. Kalau tidak dapat izin dari Mendagri, maka kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh daerah,” tuturnya.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan, meskipun izin yang diberikan terbatas, pemberian persetujuan itu tetap berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik dalam rangka pemenangan Pemilu dan Pilkada 2024. Penjabat bisa memindahkan ASN dari instansi lain sesuai kebutuhan demi pemenangan kelompok tertentu. Terlebih problem netralitas birokasi masih menjadi persoalan dalam pemilu dan pilkada sebelumnya.
Maka, kata dia, keberadaan SE tersebut bisa menjadi alat justifikasi bagi penjabat untuk memolitisasi kepegawaian demi kepentingan politik. ”Sedangkan SE ini tidak mengatur batasan dan mekanisme kontrol terhadap tindakan yang dilakukan penjabat. Memang seharusnya tidak diatur melalui SE, melainkan regulasi yang lebih sistematis, seperti peraturan pemerintah,” tuturnya.
Hal-hal yang perlu diatur lebih jelas, menurut Fadli, di antaranya mekanisme yang bisa memastikan mutasi antardaerah dan mutasi antarinstansi dilakukan sesuai mekanisme yang transparan serta akuntabel. Oleh sebab itu, tetap perlu ada kontrol vertikal oleh lembaga di atasnya, termasuk Komisi Aparatur Sipil Negara untuk mencegah politisasi dilakukan oleh penjabat kepala daerah.
DOKUMENTASI KASN
Data pelanggaran netralitas aparatur sipil negara 2020-2021
Dengan terbitnya SE itu, lanjut Fadli, Mendagri sebetulnya mengakui ada kebutuhan pengaturan yang lebih teknis dan detail terkait kewenangan, kontrol, dan batasan dari tugas penjabat kepala daerah. Hal itulah yang semestinya diatur dalam PP. Keluarnya SE ini justru menunjukkan ketidakseriusan dalam menjalankan pemerintahan, khususnya terkait penjabat kepala daerah.
”Untuk suatu kebijakan yang berdampak serius, seharusnya tidak diatur dengan menggunakan SE. Sebab, SE itu bukan regulasi yang mengikat, apalagi untuk mengatur kepegawaian di daerah,” ujarnya.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto mengatakan, dalam hal mutasi atau promosi, KASN melakukan pengawasan untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran sistem merit. KASN memastikan kalau akan melakukan mutasi ke jabatan lain, minimal pejabat tersebut sudah menduduki jabatan selama satu tahun dan harus dilakukan uji kompetensi. Pembebastugasan (non-job) hanya bisa dilakukan kalau ASN melakukan pelanggaran atau kinerjanyanya buruk.
”Terkait dengan pelanggaran harus ada pemeriksaan terlebih dahulu, sedangkan terkait kinerja harus ada evaluasi. Jadi, tidak perlu khawatir ada penyalahgunaan kewenangan karena masih ada KASN yang mengawal proses dalam manajemen ASN,” ujarnya.