Tanamkan Nilai Nasionalisme dari Lima Tahun Awal Kemerdekaan
Tahun 1945 sampai 1950 merupakan periode yang sangat penting dan menentukan hidup-matinya Indonesia. Dalam waktu lima tahun tersebut, seluruh rakyat Indonesia berjuang dengan kondisi negara yang mulai dari nol.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
IPPHOS
Upacara peringatan lima tahun Proklamasi Kemerdekaan RI bertempat di halaman Istana Merdeka, 17 Agustus 1950.
JAKARTA, KOMPAS — Lima tahun awal sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menjadi periode penting dalam sejarah yang perlu diingat. Ada begitu banyak kisah sejarah dalam periode ini yang bisa diajarkan kepada generasi muda untuk menanamkan semangat nasionalisme.
Sejarawan serta peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam, mengungkapkan, tahun 1945 sampai 1950 merupakan periode yang sangat penting dan menentukan hidup-matinya Indonesia. Dalam waktu lima tahun tersebut, seluruh rakyat Indonesia berjuang dengan kondisi negara yang mulai dari nol.
”Kita tidak punya apa-apa, tetapi kita masih mampu mendirikan negara, masih mampu bertahan dari serangan Belanda. Bertahan dari kekacauan-kekacauan yang terjadi, termasuk di ibu kota,” kata Asvi dalam bincang buku berjudul 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia Terbentuk karya James Luhulima yang diselenggarakan oleh Penerbit Buku Kompas, Selasa (23/8/2022).
Selain Asvi dan James, hadir juga sebagai pembicara sejarawan Rushdy Hoesein; mantan Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)CPFLuhulima; serta sejarawan dan pengajar di SMA Kanisius Jakarta,Rechardus Deaz Prabowo.
Asvi mengungkapkan, salah satu peristiwa bersejarah yang patut diingat dalam periode ini adalah pemindahan ibu kota sampai dua kali, yakni ke Yogyakarta pada Januari 1946 dan ke Bukittinggi pada Desember 1948.
Dia menyoroti pemindahan ibu kota pertama pada Januari 1946. Saat itu, Presiden Soekarno terpaksa meninggalkan Jakarta karena kondisi yang sangat tidak aman. Bahkan, Soekarno harus tidur di tempat temannya supaya aman, tidak diculik, atau dibunuh. Kondisi Jakarta yang tak aman menyebabkan ibu kota harus dipindahkan dan Yogyakarta bersedia menjadi ibu kota.
Selain pemindahan ibu kota, Asvi juga menyoroti metode perjuangan pada periode tersebut. Ada yang ingin melakukan perjuangan setelah kemerdekaan diperoleh seratus persen seperti yang dipimpin Tan Malaka dengan persatuan perjuangannya, tetapi di sisi lain ada kelompok, terutama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang berupaya melakukan perundingan. Sjahrir memiliki pemikiran, hanya dengan berunding, wilayah Indonesia yang merupakan bekas Hindia Belanda berangsur-angsur dapat diperoleh secara keseluruhan.
Nasionalisme
Asvi berharap sejarah pada periode lima tahun tersebut diajarkan kepada siswa untuk menanamkan nasionalisme. ”Kita sudah berjuang pada saat itu mati-matian. Dan kemerdekaan itu tidak diperoleh atau dipertahankan dengan mudah. Jadi, ini sangat penting, yang seharusnya ditanamkan pada siswa,” tuturnya.
Rushdy Hoesein menceritakan bagaimana perjalanan menuju pembentukan kesatuan negara sebagai Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk setelah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda, kecuali Nugini Belanda pada 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Diskusi tentang pidato Bung Karno di Perpusnas RI, Rabu (15/5/2019). Hadir sebagai pembicara, sejarawan Rushdy Hoesein; mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Proklamator Bung Karno, Suyatno (tengah); dan penulis Roso Daras (kiri).
Negara ini merupakan perserikatan antara Republik Indonesia dan negara-negara yang dibentuk Belanda di Nusantara dari 1946 hingga 1949. Rushdy menyebutkan, Federasi RIS lahir sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam KMB, yakni Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Federal (BFO), dan Belanda.
Kesepakatan tersebut disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). RIS resmi dibubarkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1950 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-5 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rechardus Deaz Prabowo mengatakan, periode 1945-1950 memiliki banyak kisah sejarah yang belum banyak diangkat untuk diteliti dan diceritakan kepada generasi muda. Padahal, tahun 1950 menjadi titik tolak dari bersatunya negara-negara bagian dalam RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, masih terbuka ruang-ruang bagi historiografi periode ini di masa depan.
Sementara itu, James Luhulima mengingatkan, sejarah harus disusun sebagai cerita yang merupakan satu kesatuan dan ditempatkan dalam perspektif yang benar. ”Sejarah yang hanya menghafal tahun-tahun dan cerita-cerita yang terpotong-potong akan rentan diselipkan cerita-cerita yang tidak sesuai fakta. Dan, orang tidak mendapatkan gambaran cerita yang seutuhnya,” kata James.
TANGKAPAN LAYAR
Penulis buku 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia Terbentuk, James Luhulima.
Dalam bukunya ini, James juga menceritakan peran kakeknya, Martinus Putuhena, dalam membawa Negara Indonesia Timur ke dalam Republik Indonesia. Martinus merupakan putra Maluku yang menempuh pendidikan di THS (De Techniche Hoogeschool te Bandung) yang saat ini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) sehingga mengenal Soekarno.
Martinus diangkat menjadi Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Sjahrir I, II, dan III. Pada 10 Mei 1950, Martinus ditunjuk menjadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. Jabatan itu dipegangnya hingga Negara Indonesia Timur bergabung dengan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.