Tantangan Besar Mewujudkan Kesejahteraan sebagai Salah Satu Tujuan Kemerdekaan
Usia kemerdekaan Indonesia telah mencapai 77 tahun. Di tengah tantangan berat, kemerdekaan itu mesti dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat sebagai salah satu tujuan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·6 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pemulung membawa barang yang berhasil ia kumpulkan di permukiman padat di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (24/6/2022). Kenaikan angka kemiskinan di DKI Jakarta terjadi mulai Maret 2022 atau saat pandemi Covid-19 merebak. Sejak itu, persentase angka kemiskinan di Jakarta terus meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemaknaan kemerdekaan mesti merujuk pada tujuan kemerdekaan seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan dimaksud adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan.
Khusus menyangkut aspek memajukan kesejahteraan umum, yang berkaitan erat dengan persoalan ekonomi, masih banyak tantangan berat yang dihadapi dalam mewujudkan tujuan kemerdekaan tersebut. Demikian, antara lain, isu yang mengemuka dalam diskusi kebijakan publik Narasi Institute bertema ”Memaknai Kemerdekaan di Era Tekanan Sosial, Politik, dan Ekonomi” yang digelar secara daring, Jumat (19/8/2022).
Ada tiga pembicara dalam diskusi yang dipandu pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat dan ekonom senior Fadhil Hasan tersebut. Mereka adalah ekonom senior Awalil Rizky, ekonom senior Faisal Basri, dan guru besar ekonomi politik Didin S Damanhuri.
Saat mengantar diskusi, Fadhil Hasan menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rentan. Pengelolaan perekonomian dalam jangka menengah panjang belum optimal dalam konteks keberlanjutan karena masih berbasiskan pada pengelolaan sumber daya alam. ”Jadi, belum mendasarkan pada sebuah perekonomian yang berbasiskan sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE NARASI INSTITUTE
Diskusi kebijakan publik Narasi Institute bertema “Memaknai Kemerdekaan di Era Tekanan Sosial, Politik, dan Ekonomi" yang digelar secara daring, Jumat (19/8/2022). Diskusi yang dipandu pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat dan ekonom senior Fadhil Hasan tersebut menghadirkan ekonom senior Awalil Rizky, ekonom senior Faisal Basri, dan guru besar ekonomi politik Didin S Damanhuri.
Tantangan perekonomian ke depan dinilai masih sangat besar. Pada rentang masa 77 tahun kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan—dalam konteks perekonomian dan kesejahteraan—belum dirasakan oleh seluruh masyarakat. ”Faktor-faktornya itu tentu bukan hanya dalam konteks ekonomi, melainkan juga konteks desain, kelembagaan ekonomi politik kita. (Hal ini) karena setiap perekonomian itu lebih banyak ditentukan oleh kebijakan dan political economy itu sendiri,” kata Fadhil Hasan.
Faisal Basri mengatakan, kemerdekaan dibutuhkan untuk menggerakkan segenap potensi demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Penderitaan selama dijajah tergambar, antara lain, dari tingkat kesejahteraan rakyat seperti terlihat pada produk domestik bruto (PDB) per kapita riil yang tidak meningkat signifikan dari tahun 1815 hingga tahun 1945.
”(Kondisi ini terjadi) karena apa? Penjajahan adalah bentuk eksploitasi yang tidak memedulikan kesejahteraan rakyat, tetapi membuat Belanda sedemikian makmurnya. VOC menjelma menjadi perusahaan terbesar di dunia, yang kapitalisasi pasarnya tertinggi di dunia pada waktu itu,” kata Faisal.
Penjajahan adalah bentuk eksploitasi yang tidak memedulikan kesejahteraan rakyat, tetapi membuat Belanda sedemikian makmurnya. VOC menjelma menjadi perusahaan terbesar di dunia, yang kapitalisasi pasarnya tertinggi di dunia pada waktu itu.
Setelah merdeka, Faisal menuturkan, Indonesia pada tahun 1950-an juga belum mampu membangun karena konflik politik. Baru mulai akhir tahun 1960-an PDB per kapita riil mulai bergerak naik.
”Namun, apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang mulai membangun pada waktu hampir sama, kita mengalami perlambatan sejak 2010 dan flat (datar) sampai sekarang. (Negara) yang naik luar biasa itu Korea, lantas Malaysia yang sekarang mulai kedodoran karena ada masalah politik juga di sana,” tutur Faisal.
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo bertemu Presiden China Xi Jinping dalam lawatannya ke Beijing, China, Selasa (26/7/2022).
China merupakan negara yang juga mencuat perekonomiannya. China menyusul Indonesia tahun 1998, menyusul Thailand pada tahun 2010-2011, dan menyusul Malaysia pada tahun 2020. Saat ini PDB per kapita China berada di posisi nomor dua setelah Korea. ”Most likely, kalau Indonesia begini terus, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan disusul oleh Filipina dan Vietnam,” ujar Faisal.
Dia menyebutkan, Indonesia mesti memanfaatkan kemerdekaan untuk mengentaskan orang miskin. ”(Ada) orang miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin. Tiga kelompok ini jumlahnya 52,8 persen di tengah-tengah kita sudah merdeka 77 tahun. Jadi, sebetulnya apa yang terjadi?” katanya.
Tiga defisit
Menurut Faisal, Indonesia mengalami tiga defisit, yakni defisit di sisi pangan, manufaktur, dan minyak. Di sisi pangan, Indonesia lebih banyak mengimpor pangan dibandingkan mengekspor pangan. Gejala dini industrialisasi menyebabkan Indonesia mengimpor produk manufaktur lebih banyak dibandingkan mengekspor produk manufaktur.
”Minyak kita sudah defisit kira-kira 600.000 barel per hari. Kalikan saja 100 dollar AS, Anda bisa bayangkan berapa devisa yang kita butuhkan gara-gara lifting, produksi minyak kita, turun terus dan tahun depan ditargetkan di bawah 700.000 barel per hari. Jadi, kita mengalami triple deficit di era kemerdekaan,” kata Faisal.
Di era penjajahan, Faisal menambahkan, Nusantara mengalami surplus pangan dan bahkan menjadi eksportir ternama komoditas karet. Pada tahun 1937, negeri ini juga merupakan eksportir terbesar gula setelah Kuba. ”Sekarang kita importir gula terbesar di dunia. Sekarang pabrik gula paling banyak menyedot tebu dari petani asing daripada menyedot tebu dari petani Indonesia,” ujarnya.
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Para petani tebu dan karyawan Pabrik Gula Pangka membawa masing-masing satu tebu dalam perarakan Tebu Temanten. Mereka adalah orang-orang yang setia berikhtiar di jalan gula.
Awalil Rizky menuturkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2022 sebesar 5,44 persen, sementara dalam satu semester I-2022 sebesar 5,23 persen. ”Pertumbuhan ekonomi kayaknya oke, tinggi. Tetapi, kalau disederhanakan, pertumbuhan ekonomi itu sebetulnya biasa saja, kembali ke lintasannya, (yakni) ke limaan (sekitar 5 persen),” katanya.
Menurut Awalil, dengan melihat kontraksi atau pertumbuhan minus 2,07 persen pada tahun 2020 dan perekonomian pada tahun 2021 yang tumbuh 3,69 persen, kondisi saat ini memang membaik, tetapi belum mengembalikan kesempatan yang hilang selama dua tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, terakhir kali pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6 persen terjadi satu dekade lalu, yakni ketika perekonomian tumbuh 6,03 persen pada tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya turun hingga 4,88 persen pada tahun 2015 sebelum kemudian naik hingga 5,17 persen pada tahun 2018 dan kembali menurun menjadi 5,02 persen pada tahun 2019.
Selain masalah kesejahteraan, menurut Didin S Damanhuri, hal yang juga penting adalah penegakan hukum. Rule of law sebagai pilar demokrasi yang sangat penting jangan sampai rapuh. Penegakan hukum harus tajam ke atas, tajam ke bawah, tajam ke semua pihak. ”Jadi, seluruh masyarakat, sesuai dengan konstitusi, sama posisinya di hadapan hukum,” katanya.
Kemampuan di tengah tantangan
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan, di tengah tantangan yang berat, Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global. Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan pandemi Covid-19.
”(Indonesia) termasuk lima besar negara dengan vaksinasi terbanyak di dunia, dengan 432 juta dosis vaksin telah disuntikkan,” ujar Presiden Jokowi saat berpidato pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka HUT Ke-77 Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta, Selasa (16/8/2022).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Presiden Joko Widodo menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
Pada kesempatan tersebut, Presiden menuturkan, inflasi berhasil dikendalikan di kisaran 4,9 persen atau jauh di bawah rata-rata inflasi ASEAN yang berada di sekitar 7 persen. Inflasi Indonesia juga jauh di bawah inflasi negara-negara maju yang berada di sekitar 9 persen.
”Bahkan, sampai pertengahan tahun 2022, APBN juga surplus Rp 106 triliun. Oleh karena itu, pemerintah mampu memberikan subsidi BBM, elpiji, dan listrik sebesar Rp 502 triliun pada tahun 2022 ini agar harga BBM di masyarakat tidak melambung tinggi,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Selain itu, Presiden Jokowi menambahkan, ekonomi berhasil tumbuh positif di angka 5,44 persen pada triwulan II-2022. Neraca perdagangan juga surplus selama 27 bulan berturut-turut dan pada semester I-2022 surplusnya sekitar Rp 364 triliun.
”Capaian tersebut patut kita syukuri. Fundamental ekonomi Indonesia tetap sangat baik di tengah perekonomian dunia yang sedang bergolak. Di satu sisi, kita memang harus tetap waspada dan harus tetap hati-hati. Namun, di sisi lain, agenda-agenda besar bangsa harus kita lanjutkan untuk meraih Indonesia Maju,” kata Presiden.