Jika ada warga yang dirugikan dengan pencatutan nama oleh parpol, KPU menyebut hal itu menjadi urusan yang bersangkutan dengan parpol.
Oleh
IQBAL BASYARI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ratusan bendera partai politik terpasang di pinggir jalan di kawasan Karangrejo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sabtu (8/2/2014).
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum atau KPU tidak mau mengungkapkan partai politik yang diduga mencatut nama penyelenggara pemilu untuk memenuhi persyaratan keanggotaan partai politik calon peserta Pemilu 2024. Dengan sikap KPU itu, masyarakat yang dirugikan karena dicatut namanya oleh parpol bisa saja membawanya ke ranah pidana untuk menimbulkan efek jera.
Anggota KPU, Idham Holik, saat konferensi pers di Kantor KPU, Jakarta, hari Jumat (5/8/2022), mengatakan, laporan soal dugaan pencatutan nama penyelenggara pemilu akan diproses oleh tim verifikator administrasi selama tahap verifikasi administrasi pada 2 Agustus hingga 14 September. Dalam rentang waktu tersebut, KPU akan meminta klarifikasi terhadap orang yang dicatut namanya dan partai politik yang diduga mencatut nama itu.
Seperti diberitakan sebelumnya, KPU menerima laporan dari sejumlah KPU provinsi bahwa ada 98 penyelenggara pemilu di daerah (komisioner dan anggota sekretariat KPU provinsi serta kabupaten/kota) yang dicatut namanya dalam daftar keanggotaan parpol. Daftar keanggotaan parpol ini salah satu syarat parpol untuk bisa menjadi peserta Pemilu 2024. Padahal, mereka tak pernah memiliki atau mengajukan diri menjadi anggota parpol. Selain itu, penyelenggara pemilu dilarang menjadi anggota parpol.
Setelah klarifikasi kedua belah pihak, menurut Idham, hasilnya akan disampaikan ke parpol. Jika betul nama tersebut dicatut, parpol hanya akan diminta menggantinya dengan nama anggota yang baru. Namun, KPU tak akan membuka nama parpol yang mencatut. ”Dalam proses pendaftaran parpol, kami hanya menjalankan fungsi administratif. Apabila ada warga negara yang merasa dirugikan, itu urusan individual yang bersangkutan dengan parpol,” ujarnya.
Hingga Jumat malam, dari 12 parpol yang mendaftar ke KPU sebagai parpol calon peserta Pemilu 2024, sebanyak sembilan parpol di antaranya pendaftarannya dinyatakan diterima dan kini tengah menjalani proses verifikasi administrasi. Kesembilan parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Bulan Bintang, Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), Partai Kebangkitan Nusantara, serta Partai Keadilan dan Persatuan.
Menurut pengajar politik Universitas Sam Ratulangi, Manado, Ferry Daud Liando, hukum pemilu saat ini masih terbatas pada administratif sehingga sulit memberikan efek jera. Untuk memberikan efek jera, masyarakat yang namanya dicatut parpol bisa saja membawa kasus itu ke ranah pidana, terlebih dengan sikap KPU yang tak mau mengungkapkan nama-nama parpol yang mencatut. Ranah pidana bisa diambil karena pencatutan nama merupakan bentuk penyalahgunaan dokumen kependudukan. Apalagi saat mengunggah data keanggotaan, parpol harus mengunggah salinan KTP elektronik ke dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).
”Nama-nama parpol dibuka ke publik pun tidak banyak berdampak karena parpol sekarang banyak yang tidak tahu malu. Bisa saja mereka berdalih ada kesalahan input data,” katanya.
Menurut Ferry, terus berulangnya pencatutan nama oleh parpol untuk memenuhi syarat keanggotaan parpol di setiap kali pemilu disebabkan, antara lain, jumlah parpol yang terlalu banyak sehingga sulit mencari anggota baru. Selain itu, bisa jadi masyarakat tidak percaya parpol sehingga mereka tidak tertarik menjadi anggota. ”Data pribadi, termasuk KTP-el, mudah tersebar di mana pun sehingga tidak sulit parpol mendapatkan untuk diunggah ke Sipol,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sri Sunarsih (57) mengecek nomor induk kependudukannya di laman infopemilu.kpu.go.id milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Rasionalisasi anggaran
Terkait dengan anggaran pemilu untuk tahun ini yang belum semuanya dicairkan ke KPU, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD kembali menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menyediakan semua biaya yang dibutuhkan untuk menyukseskan Pemilu 2024.
Namun, pencairan anggaran, seperti diingatkan oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata, harus terlebih dulu memenuhi prosedur yang berlaku, yakni pembaruan atau revisi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
Informasi yang diperoleh Kompas, KPU belum merevisi DIPA setelah usulan tambahan anggaran untuk tahun ini, sebesar Rp 1,24 triliun, disetujui Kemenkeu. Problem lainnya, dalam DIPA, KPU sebelumnya telah teralokasi anggaran untuk tahapan pemilu sebesar Rp 464 miliar, tetapi hingga 29 Juli 2022 realisasinya baru Rp 73,26 miliar atau sekitar 15,3 persen. Padahal, tinggal tersisa lima bulan hingga batas akhir penyerapan anggaran di akhir tahun.
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Selain diminta merevisi DIPA, pemerintah juga meminta kepada penyelenggara pemilu untuk merasionalisasi anggaran yang sifatnya tidak pokok. Misalnya, pembangunan kantor, kenaikan honor, kenaikan jumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan sebagainya.
”Ketua KPU mengatakan akan melakukan langkah-langkah penyesuaian. Dengan kesepakatan itu, nanti akan bisa diproses secepatnya,” ujarnya.
Peneliti Indonesia Budget Centre (IBC), Roy Salam, mengingatkan, semangat dari penyelenggaraan pemilu serentak salah satunya untuk mengefisienkan anggaran pemilu. Apalagi di tengah situasi kondisi fiskal dan krisis ekonomi global yang membayangi negara saat ini, penyelenggara pemilu harus bisa menyusun anggaran secara efisien dan optimal.
Selain itu, ia mendorong agar KPU, juga Bawaslu, membuka kebutuhan anggaran kepada publik. Jadi, publik bisa menguji apakah usulan anggaran yang diajukan telah memenuhi prinsip urgensi kebutuhan dan skala prioritas. Hal ini sekaligus penting untuk mengikis tudingan bahwa KPU aji mumpung dalam menyusun anggaran Pemilu 2024.