DPR Tagih Peraturan Teknis Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Hingga Penjabat Gubernur Aceh dilantik, Rabu ini, peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah belum juga diterbitkan. Polemik pada gelombang pertama pelantikan penjabat dikhawatirkan bisa kembali terulang.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Rapat koordinasi penjabat kepala daerah di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (16/6/2022). Kemendagri tengah menyiapkan aturan teknis pemilihan penjabat kepala daerah untuk gelombang selanjutnya yang dimulai pada Juli 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menagih komitmen Kementerian Dalam Negeri untuk segera menerbitkan peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah. Penundaan penerbitan peraturan teknis dikhawatirkan membuat kecurigaan publik atas proses penunjukan yang transparan dan akuntabel kian berlarut.
”Menurut saya, penerbitan peraturan teknis lebih cepat lebih baik. Sebab, konsepnya sudah dibuat cukup lama dan saya pun sudah diminta masukan secara informal sekitar tiga bulan lalu,” ujar anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Legislator dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu menilai, penundaan penerbitan peraturan teknis dikhawatirkan bisa membuat publik terus mempertanyakan pilihan pemerintah dalam menunjuk penjabat kepala daerah. Polemik yang pernah terjadi pada gelombang pertama pelantikan penjabat kepala daerah pun bisa kembali terulang. Padahal, peraturan teknis itu merupakan perintah yang tertulis dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan harus dilaksanakan oleh pemerintah.
Pada pertengahan Juni lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut sedang menyiapkan aturan teknis pemilihan penjabat kepala daerah untuk gelombang berikutnya. Namun, hingga Rabu ini, saat Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Mendagri Achmad Marzuki dilantik sebagai Penjabat Gubernur Aceh, di Aceh, peraturan teknis yang akan dibuat dalam Peraturan Mendagri belum juga diterbitkan. Achmad Marzuki merupakan purnawirawan TNI.
Beberapa poin yang diatur dalam peraturan teknis itu antara lain pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pengusulan calon penjabat kepala daerah. Selain itu, demi menghormati masyarakat sipil, hanya akan diajukan calon dari pejabat sipil.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus.
Sudah tak relevan
Menurut Guspardi, peraturan teknis itu harus sesegera mungkin diterbitkan karena Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 sudah tidak relevan. Aturan yang biasanya digunakan dalam pengisian penjabat kepala daerah tersebut biasanya hanya digunakan untuk mengisi kekosongan kepala daerah akibat cuti karena mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah. Masa jabatannya pun terbatas hanya sekitar tiga bulan hingga enam bulan, sementara penjabat kepala daerah kali ini bisa menjabat satu tahun dan bisa diperpanjang. Bahkan, ada daerah yang kekosongan kepala daerah hingga tiga tahun.
”Agar sesuai dengan perintah MK, maka harus dibuat petunjuk teknis dalam penunjukan. Aturan yang lama tidak sesuai dengan kondisi teknis sekarang karena masa jabatannya panjang,” ujarnya.
Guspardi menilai, usulan mekanisme penunjukan kepala daerah yang dikemukakan Mendagri sudah baik karena melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam menentukan penjabat gubernur, DPRD provinsi dan Kemendagri masing-masing mengusulkan tiga nama. Sementara dalam penunjukan bupati/wali kota, usulan tiga nama berasal dari DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan Kemendagri.
Agar sesuai dengan perintah MK, maka harus dibuat petunjuk teknis dalam penunjukan. Aturan yang lama tidak sesuai dengan kondisi teknis sekarang karena masa jabatannya panjang. (Guspardi Gaus)
Tim Penilai Akhir (TPA) selanjutnya mengerucutkan usulan tersebut menjadi tiga nama untuk dipilih Presiden atau Kemendagri. ”Usulan yang lebih representatif tentu berasal dari daerah, bukan dari Kemendagri,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengucapkan selamat kepada lima penjabat gubernur seusai pelantikan di Kantor Kementrian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022).
Dalam catatan Kemendagri, setiap bulan sepanjang 2022 ada kepala daerah yang masa jabatannya berakhir. Pada Juli ini, ada 11 kepala daerah yang berakhir, termasuk Gubernur Aceh yang dilantik Rabu ini oleh Tito di Aceh. Adapun 10 kepala daerah lainnya yang berakhir masa jabatannya datang dari kalangan bupati/wali kota di Aceh, di antaranya Wali Kota Banda Aceh (7/7/2022), Bupati Aceh Besar (10/7/2022), Wali Kota Lhokseumawe (12/7/2022), Bupati Aceh Utara (12/7/2022), dan Bupati Aceh Timur (13/7/2022).
Dalam keterangan tertulis, Tito mengatakan dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu Kepala Daerah, Kemendagri telah mendapat berbagai masukan sejumlah pihak, baik dari DPR Aceh maupun kementerian/lembaga lainnya, untuk menghasilkan calon penjabat gubernur. Hasil masukan itu kemudian diajukan kepada Presiden Joko Widodo yang kemudian dilakukan sidang TPA dipimpin presiden dan diikuti sejumlah menteri dan pimpinan lembaga.
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar menilai, penunjukan Achmad yang berlatar belakang militer untuk menduduki jabatan sipil merupakan langkah yang tidak tepat. Hal ini dinilai tidak berdasarkan pada prinsip sistem merit yang menghendaki penempatan posisi pada jabatan publik yang harus diisi berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerjanya.
”Yang lebih mengecewakan, ternyata dalam prosesnya nama Achmad Marzuki menjadi satu dari tiga nama calon penjabat yang diusulkan DPR Aceh ke Kemendagri. Di samping itu, Kemendagri juga lebih memilih nama Achmad Marzuki, sebagai PJ (penjabat) Gubernur Aceh tanpa memperhatikan aspek politis dan historis yang panjang,” ujarnya.
Masyarakat sipil yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengadukan dugaan malaadministrasi dalam proses penentuan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri ke Ombudsman RI di Jakarta, Jumat (3/6/2022).
Pilihan ini, kata Rivanlee, melukai hati masyarakat Aceh mengingat sejarah panjang konflik dan pelanggaran HAM di provinsi tersebut. Penunjukan ini juga berlawanan dengan pernyataan Tito pada Juni lalu yang menyatakan tidak akan menunjuk TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah. Apalagi, penunjukannya tidak mengacu pada peraturan teknis karena hingga saat ini belum selesai dibuat.
Kami melihat bahwa Kemendagri masih melakukan tindakan tidak patuh administratif dalam hal penunjukan penjabat kepala daerah. (Rivanlee Anandar)
”Kami melihat bahwa Kemendagri masih melakukan tindakan tidak patuh administratif dalam hal penunjukan penjabat kepala daerah. Mengingat masih banyak daerah yang akan membutuhkan penjabat kepala daerah, dikhawatirkan penunjukan yang tidak transparan dan akuntabel, lalu masih terus diagungkannya latar belakang militer untuk mengisi jabatan sipil akan menjadi preseden dan terus terjadi berikutnya,” tuturnya.