Pengesahan pembentukan tiga provinsi baru di Papua akan tetap digelar dalam Rapat Paripurna DPR, hari ini. Konflik sosial berpotensi pecah antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra pemekaran.
Oleh
IQBAL BASYARI, FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
HUMAS POLDA PAPUA
Unjuk rasa penolakan pemekaran Papua oleh masyarakat di Distrik Deikai, Kabupaten Yahukimo, Papua, Selasa (15/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dan DPR diingatkan untuk tidak memaksakan pemekaran Provinsi Papua. Pemekaran bisa memicu konflik sosial, terutama antara kelompok masyarakat yang menolak pemekaran dan yang menerima. Untuk mencegah konflik pecah, aparat keamanan dikerahkan di sejumlah wilayah yang rawan di Papua menjelang pengesahan tiga rancangan undang-undang pembentukan provinsi baru di Papua, Kamis (30/6/2022) ini.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay yang mewakili Solidaritas Organisasi Sipil untuk Tanah Papua mengatakan, sikap pemerintah dan DPR yang terus mendorong pemekaran Papua tanpa melihat kondisi masyarakat Papua yang terbelah, antara kelompok yang pro dan kontra pemekaran, dikhawatirkan akan memicu konflik sosial di antara kedua kelompok itu.
”Kami meminta Presiden Joko Widodo segera membatalkan kebijakan DOB (daerah otonom baru) di Papua yang telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat demi meredam konflik. Tokoh masyarakat Papua juga dilarang terlibat aktif dalam menciptakan potensi konflik akibat perbedaan sikap tentang DOB,” ucap Emanuel, Rabu (29/6).
Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan akan dimintakan persetujuan pengesahan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, hari ini. Ketiga RUU tersebut baru mulai dibahas pemerintah bersama Komisi II DPR pada Rabu (22/6). Artinya, hanya dalam sepekan, ketiga RUU itu dituntaskan pembahasannya.
Pembakaran sejumlah ruko oleh massa yang menolak pemekaran wilayah Papua di Distrik Deikai, Kabupaten Yahukimo, Selasa (15/3/2022).
Penentuan ibu kota
Potensi konflik juga muncul terkait penentuan ibu kota Provinsi Papua Tengah. Delapan bupati yang wilayahnya masuk provinsi tersebut sempat bersilang pendapat. Bupati Mimika dan Bupati Puncak menginginkan ibu kota berada di Timika, sedangkan enam bupati lain sependapat dengan usulan Komisi II DPR yang menginginkan ibu kota berada di Nabire. Komisi II sempat meminta delapan bupati tersebut bermusyawarah. Namun, karena kesepakatan tak tercapai, ibu kota diputuskan tetap di Nabire.
Selain itu, potensi konflik bisa muncul terkait keputusan dimasukkannya Kabupaten Pegunungan Bintang ke dalam Provinsi Papua Pegunungan. Sejumlah tokoh adat sempat menolak hal ini dan meminta kabupaten itu tetap dalam Provinsi Papua, tetapi kemudian tetap diputuskan sesuai rencana awal, bergabung dengan Provinsi Papua Pegunungan.
”Hingga saat ini situasi di Mimika dan Pegunungan Bintang masih kondusif. Kami terus berupaya melaksanakan pendekatan persuasif dengan berbagai tokoh di kedua daerah ini,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Papua Komisaris Besar Faisal Ramadhani.
Meskipun situasi disebut masih kondusif, ada sekitar 1.000 personel gabungan Polri dan TNI disiagakan untuk mengantisipasi gangguan keamanan di daerah tersebut.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pihak terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengklaim telah mendengarkan berbagai kelompok kepentingan dalam pembentukan tiga RUU DOB di Papua. Sebagian besar diklaim setuju dengan pemekaran, tetapi suara yang tidak setuju tetap didengar. Bahkan, Komisi II DPR sempat datang ke Papua untuk mendengarkan masukan-masukan dari kepala daerah dan tokoh adat Papua.
Konsolidasi
Adanya sebagian kelompok yang berbeda pendapat dengan keputusan akhir yang dihasilkan pemerintah dan DPR, lanjut Saan, harus diselesaikan pemerintah dengan melakukan konsolidasi. Pemerintah bersama kepala daerah dan tokoh adat yang sempat berbeda pendapat mesti dipertemukan agar semua pihak menerima keputusan yang dihasilkan dalam undang-undang.
Selain itu, Majelis Rakyat Papua juga sebaiknya melakukan konsolidasi karena sebagian menyatakan sikap mendukung pemekaran Papua.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Komarudin Watubun, pun membantah jika pemerintah dan DPR memaksakan pemekaran Papua. Pasalnya, ada banyak kelompok yang mendukung pemekaran. Selain itu, proses pembahasan pemekaran diklaim sudah dimulai sejak 2002. ”Pemekaran untuk meningkatkan dan mempercepat pembangunan, terutama bagi orang asli Papua agar bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain,” katanya.
Presiden Joko Widodo menerima Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat di Istana Kepresidenan Bogor, pada Jumat, 20 Mei 2022. Pertemuan dengan Presiden Jokowi itu membahas soal daerah otonomi baru (DOB) di Papua.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengingatkan, potensi konflik pasca-pengesahan tiga RUU DOB Papua juga harus diantisipasi. Misalnya, problem penetapan ibu kota Papua Tengah yang sempat memunculkan dua pendapat harus dikawal agar semua kepala daerah yang menolak Nabire dijadikan ibu kota bisa menerima keputusan tersebut. Pemerintah pusat harus segera mengajak dialog dua kepala daerah yang mengusulkan Mimika sebagai ibu kota provinsi tersebut agar tidak memunculkan ibu kota ”kembar”.
Selain itu, beberapa potensi konflik lain yang perlu diantisipasi adalah terkait batas wilayah, penyerahan aset, bantuan keuangan dari provinsi induk ke DOB, serta pembagian dana otonomi khusus.