BRIN Tawarkan Pengawasan Intelijen yang Integratif
Berbagai masalah masih membayangi pengawasan intelijen, termasuk kapasitas dan kepentingan politik pengawas.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta Selatan, Senin (18/4/2022).
JAKARTA,KOMPAS — Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN menawarkan pengawasan integratif untuk mengatasi berbagai problem pengawasan intelijen yang ada saat ini. Pengawasan integratif mengombinasikan sistem pengawasan, kapasitas institusional dan legal, serta sistem clearance informasi.
Diandra M Mengko, peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Rabu (29/6/2022), menyampaikan hasil studi BRIN ini dalam diskusi daring bertajuk ”Mengintegrasikan Pengawasan Intelijen Indonesia” yang digelar BRIN. Juga hadir sebagai pembahas Ikrar Nusa Bhakti, Duta Besar RI untuk Republik Tunisia 2017-2022; dan Susaningtyas Kertopati, anggota DPR periode 1999-2004 dan 2009-2014.
Diandra mengatakan, ada beberapa perbedaan dalam model pengawasan integratif dibandingkan dengan pengawasan yang saat ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Di UU Intelijen, kerja pengawasan cenderung terfragmentasi berdasarkan mandat setiap aktor. Sementara dalam pengawasan integratif, mandat setiap aktor ditata ulang berdasarkan tinjauan aktivitas pengawasan, yaitu identifikasi, deteksi, investigasi, dan evaluasi.
BRIN mengajukan hasil studinya tentang pengawasan intelijen yang bersifat integratif, Rabu (29/6/2022).
Model yang ada saat ini, menurut Diandra, juga membuat aktor pengawas belum mendapat dukungan institusional dan legal yang memadai. ”Dalam model pengawasan integratif, disediakan berbagai kerangka infrastruktur yang diperlukan aktor pengawas,” kata Diandra.
Saat ini, BRIN juga melihat masih ada masalah terkait dengan sistem clearance rahasia intelijen. Dalam UU No 17/2011, pengaturan tata kelola rahasia intelijen masih bersifat parsial dan terbatas. Dalam pengawasan integratif, ada skema clearance bagi aktor pengawas yang cukup rigid. Dengan demikian, dapat mendukung setiap aktor pengawasnya.
Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, akses untuk mendapat informasi intelijen masih menjadi sesuatu yang baru bagi Indonesia. Ia mengatakan, perlu ada klasifikasi yang lebih jelas terkait dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan intelijen.
”Penyalahgunaan intelijen yang apa yang terjadi. Misalnya eksesif atau politisasi itu bagaimana,” kata Ikrar.
KOMPAS/TRIAS KUNCAHYONO
Ikrar Nusa Bakti
Ikrar mengatakan, perlu dibahas komposisi sipil dan militer dalam BIN, TNI, Polri, dan kejaksaan. Dengan demikian, ada keseimbangan juga dalam pembahasan. Menurut Ikrar, perlu juga ada klasifikasi dari pembukaan catatan intelijen, misalnya ada batas waktu sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 1998 atau 1965, misalnya, dari sudut pandang intelijen bisa diakses publik.
Susaningtyas Kertopati mengatakan, sebenarnya berbagai aturan telah menempatkan Indonesia dalam pengawasan di kerangka negara demokratis. Namun, Susaningtyas mengatakan, memang masih ada beberapa dugaan permasalahan. Ia mengatakan, memang ada problem pengawasan di negara-negara yang mengalami proses transisi demokrasi.
Susaningtyas mengatakan, memang masih ada beberapa masalah dalam pengawasan sebagaimana disampaikan kajian BRIN. Yang pertama adalah konflik kepentingan ketika aktor-aktor pengawas berasal dari lembaga politik yang tentunya memiliki kepentingan politik. Akibatnya, risiko politisasi atau pengabaian terhadap dugaan penyalahgunaan intelijen sulit dihindari.
Kedua, terkait dengan regulasi, di mana belum ada regulasi yang kuat, rigid, dan akuntabel serta operasional dalam pengawasan intelijen. Susaningtyas juga mengakui faktor ketiga, yaitu kapasitas aktor pengawas, khususnya DPR, bukan perkara mudah.