Kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah membuat pemda harus putar otak mengelola anggarannya. Belum lagi aturan teknis penggunaan anggaran yang selalu terlambat.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Wali Kota Bogor yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya (dua dari kiri) bersama Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti (tengah) didampingi Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri), peneliti Litbang Kompas Mahatma Chrysna (dua dari kanan), dan Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Haryo Damardono menjadi pembicara dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022). H
Utak-atik kebijakan oleh pemerintah pusat sering kali membuat pemerintah daerah kelabakan dalam mengurus anggaran daerah. Apalagi ditambah problem aturan teknis yang selalu terlambat terbit setiap tahun sehingga menghambat penyerapan anggaran. Selama problem-problem ini terus berulang, akan sulit pembangunan dan pelayanan publik di daerah berjalan optimal.
Perubahan kebijakan anggaran, salah satunya, berkaitan dengan dana khusus kelurahan yang dihentikan pencairannya sejak 2020. Lurah Pangmilang, Singkawang, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Franhalidisius mengatakan, sebelum dana khusus itu dihentikan, kelurahan bisa menerima anggaran hingga Rp 380 juta setiap tahun. Namun, kini yang diterima hanya Rp 100 juta.
Akibatnya, akselerasi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas sarana-prasarana menjadi tidak optimal. Pemerintah kelurahan kesulitan memperbaiki infrastruktur jalan kelurahan yang rusak. Begitu pula memperluas jangkauan air bersih bagi warga. ”Jika ada dana kelurahan, mungkin disamakan saja seperti dana desa,” ujar Franhalidisius saat ditemui, akhir Mei lalu.
Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie mengatakan, dana kelurahan penting untuk membangun daerah. Tanpa dana kelurahan, otomatis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbebani. Padahal, APBD Singkawang sudah terbebani akibat dana alokasi umum (DAU) yang menurun sekitar Rp 100 miliar dari sebelumnya Rp 500 miliar.
Tjhai Chui Mie, Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat terpilih sedang bertemu dengan masyarakat di salah satu warung kopi pada Jumat (17/2).
”Infrastruktur dalam kota, misalnya, ada salah satu jalan selama tiga tahun tidak selesai karena ada realokasi anggaran. Belum lagi anggaran di pendidikan, ada perbaikan untuk sekolah dan bidang-bidang lainnya. Jika ada dana kelurahan, sangat membantu pembangunan kota, misalnya pembangunan saluran-saluran sehingga tidak terjadi banjir dan infrastrukur lain di kelurahan,” ujar Tjhai Chui Mie.
Dalam acara Kompas Collaboration Forum yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Jumat (10/6/2022), Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor, Bima Arya, mengungkapkan, pemerintah kota (pemkot) sangat terbantu ketika pemerintah pusat memutuskan setiap kelurahan menerima dana kelurahan pada 2019. Namun, ketika dana kelurahan itu dihentikan, praktis pemkot harus cari akal mencari anggaran di APBD untuk menutup kebutuhan anggaran kelurahan yang sebelumnya dibiayai dari dana kelurahan.
”Kami harus putar otak untuk biaya operasional lurah, RT/RW siaga. Banyak harapan pembangunan di kelurahan, tidak saja infrastruktur, tetapi pelayanan publik dan lain-lain, tetapi malah (dana kelurahan) distop,” kata Bima.
Selain soal dana kelurahan, perubahan kebijakan anggaran dari pusat yang membingungkan daerah terkait rekrutmen tenaga honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Pasalnya, pemerintah daerah menerima informasi bahwa gaji PPPK akan dibiayai dari pusat, tetapi yang terjadi kemudian justru harus dibiayai dari APBD. Akibatnya, daerah kembali harus mengutak-atik anggaran untuk membiayai gaji PPPK.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Wali Kota Bogor yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya (kiri) bersama Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti menjadi pembicara dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
”Kenapa kabupaten/kota menolak, karena berubah dari perjanjian awal. Perjanjian awal, Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) mengatakan gaji PPPK ditanggung APBN. Sampai detik ini, tidak ada ditanggung APBN. APBD yang bayar sehingga kami menolak semua PPPK itu karena APBD kami tidak kuat,” ujar Wali Kota Jambi Syarif Fasha yang juga hadir dalam acara diskusi.
Terkait penanganan pandemi Covid-19, Syarif menyebut, APBD juga tertekan karena daerah harus menombok uang honor bagi tenaga kesehatan, alat pelindung diri, serta obat-obatan yang dibutuhkan rumah sakit umum daerah. Padahal, semula dijanjikan akan diganti pemerintah pusat.
Petunjuk teknis terlambat
Tak hanya kebijakan yang berubah-ubah, pemda sering kali kesulitan mengoptimalkan belanja daerah akibat terlambat terbitnya petunjuk teknis penggunaan DAU dan dana alokasi khusus (DAK). Hal ini disebut terjadi setiap tahun. Petunjuk teknis baru keluar Mei hingga Juni tahun anggaran berjalan meski DAU dan DAK sudah jauh lebih awal diterima kas daerah. Akibatnya, DAU dan DAK di kas daerah tidak bisa segera digunakan oleh pemda.
”Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) dari dulu sampai sekarang itu lambat. Jadi, kami minta dipercepat,” ujar Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar yang hadir saat diskusi.
DOKUMENTASI KEMENDAGRI
Persentase realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten/kota tahun anggaran 2020-2021
Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Adriyanto mengatakan, memang ada sejumlah problem dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. Namun, pemerintah terus berupaya untuk mencari jalan keluar dari problem yang ada.
Terkait penggajian PPPK, menurut dia, dalam penyusunan DAU, pemerintah pusat sebenarnya sudah pula memasukkan kebutuhan untuk penggajian PPPK. Pada 2020, misalnya, ada sekitar Rp 18 triliun dari DAU untuk PPPK. Yang jadi problem, ia kerap menerima keluhan dari pemda bahwa pemda harus menyediakan tunjangan bagi PPPK. ”Hal ini tentunya menimbulkan beban dari APBD,” tambahnya.
Selain gaji PPPK yang menurut dia sudah masuk dalam perhitungan DAU, dana kelurahan pun disebutnya demikian.
”Saya ingin pastikan bahwa kebutuhan pemda dalam mendukung kebutuhan masyarakat, termasuk pelayanan publik di kelurahan, ini sudah tergambar di alokasi DAU-nya. Jadi, kita tidak membuat DAU yang terpisah, tetapi di DAU itu sudah terakomodasi, tergambar, kebutuhan-kebutuhan daerah, termasuk kebutuhan kelurahan,” tutur Adriyanto.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Jalan Trans Papua dengan hutan yang rusak oleh penebangan di Kabupaten Jayawijaya, Papua, Jumat (12/11/2021).
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad pun mengkritik kebijakan anggaran pusat yang berubah-ubah. Menurut dia, hal ini justru membingungkan daerah. Pusat seharusnya memberikan asistensi kepada daerah sebelum mengubah kebijakan anggaran sehingga daerah tidak kelabakan dalam menyiasatinya. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, anggaran daerah juga tertekan sehingga tidak semudah itu menyesuaikan jika terdapat perubahan kebijakan anggaran yang tiba-tiba.
Tauhid pun memberikan masukan kepada pemerintah daerah agar mempersiapkan dana fleksibilitas di anggarannya. Misal, dari 100 persen anggaran, 90 persen merupakan anggaran yang sudah pasti dan 10 persennya lagi untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang datang mendadak. Ini untuk mengantisipasi adanya kondisi yang mendesak, seperti pertumbuhan inflasi.
”Sehingga yang direncanakan, katakan 90 persen, tetapi tidak boleh berkurang. Jadi, kalau ada pertumbuhan inflasi dan lain-lain, bisa diantisipasi. Pusat juga harus mengerti beban daerah, tidak bisa asal berubah-ubah kebijakan. Makanya, harus ada capaian target multiyear sehingga semua terukur,” kata Tauhid.
Selain itu, ia menganjurkan kepada pemerintah pusat agar petunjuk teknis penggunaan anggaran diterbitkan setidaknya setiap lima tahun. Dengan demikian, tidak perlu banyak perubahan tiap tahun. Daerah juga bisa lebih mudah menyesuaikan dengan anggarannya. (BOW/PDS/HRS/JAL/COK/ESA/ITA/AIN)