Main Hakim Sendiri Mendominasi Kekerasan Kolektif Sepanjang 2021
Sepanjang 2021 terjadi 1.221 kekerasan kolektif. Dari sejumlah kekerasan tersebut, tim CSIS menemukan 40,7 persen adalah main hakim sendiri. Menjelang tahun politik, kekerasan kolektif ini perlu diantisipasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Tim Collective Violence Early Warning (CVEW) Centre for Strategic and International Studies (CSIS) meluncurkan basis data mengenai kekerasan kolektif di Indonesia pada tahun 2021, Rabu (8/6/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2021, Indonesia mengalami 1.221 insiden kekerasan kolektif. Frekuensi insiden ditemukan terus meningkat sepanjang tahun. Potensi meningkatnya kembali kekerasan kolektif jelang tahun politik perlu diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan.
Catatan mengenai kekerasan kolektif di Indonesia pada tahun 2021 ini diluncurkan oleh tim Collective Violence Early Warning (CVEW) dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (8/6/2022). Tim peneliti CSIS mengumpulkan data melalui pemberitaan dari 75 media daring di Indonesia. Pemantauan tersebut diharapkan dapat menjadi peringatan dini untuk memitigasi risiko terjadinya kekejaman massal.
Hasilnya, sepanjang tahun 2021 ditemukan 1.221 insiden kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif yang dimaksud adalah penggunaan atau ancaman kekuatan fisik yang disengaja dan dilakukan oleh atau terhadap sekelompok orang. Termasuk di antaranya adalah konflik etnis, terorisme, separatisme, konflik akibat pemilihan dan jabatan, main hakim sendiri, konflik sumber daya alam, konflik akibat perbedaan suku agama ras dan antar-golongan (SARA), kekerasan seksual, hingga konflik akibat tata kelola pemerintahan.
Dari data tim CVEW ditemukan bahwa frekuensi kekerasan kolektif terus meningkat sepanjang tahun. Di kuartal pertama, hanya terjadi 206 insiden. Adapun di kuartal keempat atau menjelang tutup tahun, kekerasan justru melonjak 70 persen menjadi 370 insiden. Adapun lonjakan tertinggi terjadi pada bulan Agustus sebanyak 151 kasus dan Oktober sebanyak 162 kasus. Pengumpulan data direncanakan akan berlanjut hingga tahun pemilu 2024.
”Lonjakan pada bulan Agustus disebabkan oleh peningkatan kekerasan karena isu vigilante atau main hakim sendiri dan bulan Oktober karena peningkatan kekerasan berbasis identitas,” ujar Kepala Departemen Hubungan Internasional CSIS Lina Alexandra.
Tempat hiburan malam Double O di Distrik Sorong Timur, Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (26/1/2021). Tempat hiburan tersebut dibakar pada Senin yang menewaskan 17 orang yang merupakan buntut dari konflik antardua kelompok.
Secara geografis, wilayah yang paling banyak mengalami insiden kekerasan kolektif pada tahun 2021 adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, Sumatra Selatan, dan Jakarta. Namun, jika dilihat dari jumlah kekerasan, provinsi dengan jumlah korban kekerasan kolektif terbanyak adalah Papua dengan 176 korban jiwa.
Lina menjelaskan, isu main hakim sendiri juga mendominasi sebagian besar kekerasan kolektif yang terjadi pada tahun 2021. Sebanyak 40,7 persen kekerasan kolektif terjadi karena isu main hakim sendiri. Tipe kekerasan tersebut mengakibatkan 636 korban jiwa.
”Jika dilihat dari aktor pelaku kekerasan kolektif ini paling banyak adalah aktor nonnegara, yaitu 74,09 persen. Mereka di antaranya adalah anggota geng, himpunan mahasiswa, dan perusahaan swasta,” kata Lina.
Sebanyak 40,7 persen kekerasan kolektif terjadi karena isu main hakim sendiri. Tipe kekerasan tersebut mengakibatkan 636 korban jiwa.
Pencegah kekerasan
Peneliti CVEW, Alif Satria, menambahkan, dari jumlah kekerasan kolektif yang terjadi, hanya 23,5 persen atau sebanyak 288 yang mendapatkan intervensi atau upaya untuk menghentikan kekerasan. Sebanyak 81,2 persen diintervensi oleh aktor negara, yaitu kepolisian. Hal ini khususnya oleh kepolisian resor. Sebanyak 16,3 persen diintervensi oleh aktor nonnegara, yakni warga biasa.
”Warga biasa ternyata adalah aktor yang cukup aktif dalam mencegah terjadinya korban dalam kekerasan kolektif. Aktor nonnegara di sini ternyata bukan organisasi masyarakat sipil atau satuan pengamanan (satpam) lingkungan,” kata Alif.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan, basis data kekerasan kolektif yang dilakukan oleh CSIS ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para pemangku kepentingan, termasuk kepolisian. Sebagai pengawas internal keamanan dalam negeri, tugas polisi adalah melayani dan melindungi masyarakat. Polisi tidak hanya bertugas menangani konflik, tetapi juga mencegah agar konflik tidak meluas.
”Kompolnas juga sering menyampaikan bahwa polisi harus dekat dengan masyarakat. Jangan hanya fokus kepada penegakan hukum, tetapi juga tindakan preventif dan preemtif. Program pencegahan tak kalah penting dilakukan oleh anggota Polri,” kata Poengky.
Pantauan Kemendagri, peristiwa konflik sosial memang cenderung meningkat selama tiga tahun terakhir, yaitu 2019-2021.
Kepala Sub Direktorat Penanganan Konflik Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Anug Kurniawan menjelaskan, dari pantauan Kemendagri, peristiwa konflik sosial memang cenderung meningkat selama tiga tahun terakhir yaitu 2019-2021. Pada tahun 2019, tercatat sebanyak 31 peristiwa konflik, tahun 2020 sebanyak 71 konflik dan tahun 2021 sebanyak 138 konflik.
Konflik sosial yang dipantau oleh Kemendagri adalah konflik sosial yang diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Konflik sosial didefinisikan sebagai perseteruan dan atau benturan antarkelompok masyarakat yang dapat menimbulkan konflik sosial dan mengakibatkan terganggunya stabilitas dan pembangunan nasional. Termasuk di antaranya adalah konflik akibat politik, ekonomi, sosial dan budaya; perseteruan antarumat beragama dan atau lintas umat beragama, suku, dan etnis; sengketa batas wilayah; sengketa sumber daya alam; sera distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang di masyarakat.
”Kemendagri melakukan intervensi dalam bentuk pencegahan melalui sistem informasi penanganan konflik sosial (SIPKS),” kata Anug.
Pasukan Polri dan TNI melaksanakan simulasi sistem pengamanan kota (sispamkota) menghadapi kontijensi konflik sosial di Wilayah Solo di area parkir De Tjolomadoe, Kabupaten Karangnayar, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
Peneliti Studi Kemanusiaan dan Pembangunan Universitas West Sydney, Zulfan Tadjoeddin, mengatakan, kekerasan kolektif sebagai dampak dari pemilihan umum memang sudah sepantasnya diantisipasi. Pantauan dari CSIS diharapkan dapat menjadi mitigasi ke depan untuk mencegah konflik bermunculan. Meski demikian, kekerasan kolektif menunjukkan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik. Walaupun ada letupan-letupan konflik, skalanya masih terbilang kecil dan bisa diatasi.