Bantah Penelitian ICW, KPK Beberkan Perkara yang Ditangani dengan Pasal Pencucian Uang
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan hasil kajian ICW terkait pemulihan kerugian negara menjadi masukan bagi KPK. Namun, dia menilai metode analisis dalam proses pengambilan kesimpulan riset itu perlu didiskusikan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F26%2F98570f28-27f2-4078-94a4-d8da22fd520d_jpg.jpg)
Bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta, Rabu (26/8/2020). KPK kembali menelusuri peran Nurhadi dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi membantah penelitian Indonesia Corruption Watch yang menyebutkan salah satu alasan besarnya kerugian negara yang belum berhasil dikembalikan karena minimnya terdakwa korupsi yang dijerat dengan tindak pidana pencucian uang. Sepanjang 2021, KPK menyebutkan telah menangani puluhan perkara dengan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu instrumen pemulihan kerugian keuangan negara.
Sebelumnya, berdasarkan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dipaparkan Minggu (22/5/2022), jumlah kerugian negara akibat pidana korupsi yang belum kembali sepanjang 2021 mencapai Rp 61,5 triliun. Dari Rp 62,9 triliun kerugian negara, hukuman uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp 1,4 triliun. Besarnya kerugian negara yang belum berhasil dikembalikan itu salah satunya disebabkan masih minimnya terdakwa korupsi yang dijerat dengan pidana pencucian uang.
ICW menemukan masih ada pandangan bahwa tuntutan uang pengganti dilakukan untuk perkara korupsi yang masuk ranah kerugian keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Di luar itu, misalnya dalam kasus suap dan penerimaan gratifikasi, majelis hakim menolak untuk mengganjar pidana tambahan uang pengganti. Hal ini salah satunya terungkap dalam perkara bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di mana majelis hakim menolak menjatuhkan hukuman uang pengganti.
Aparat penegak hukum juga dinilai belum menggunakan pendekatan perampasan aset hasil kejahatan. Dari jumlah 12 orang yang didakwa dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sembilan di antaranya merupakan perkara yang ditangani kejaksaan dan tiga lainnya oleh KPK.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/5/2022), mengatakan, hasil kajian dan pemantauan ICW itu tentu akan menjadi masukan bagi KPK sebagai bahan evaluasi ke depan. Namun, menurut dia, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih jauh terkait metode analisis dalam proses pengambilan kesimpulan atas penelitian ICW.
Baca juga : ICW Sebut Hanya 2,2 Persen Kerugian Negara Berhasil Dikembalikan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F01%2F924ed689-8950-4436-8740-70ef19dff0dd_jpg.jpg)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/6/2021).
Ali Fikri mengatakan, jika dicermati, kajian ICW mencampuradukkan pembahasan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan pasal-pasal suap dan sejenisnya yang dominan ditangani oleh KPK. Padahal, katanya, perlu digarisbawahi, yang berkaitan dengan kerugian negara hanya Pasal 2 atau 3 UU Tipikor. Lalu, lanjut Ali, dalam tatanan hukum, secara normatif tipologi korupsi pasal suap tidak ada kaitannya dengan kerugian negara.
Adapun perkara yang ditangani KPK berkaitan dengan kasus suap sejumlah 791 dari total 1.231 perkara. Secara normatif, sebesar 64 persen kasus tersebut tidak ada kerugian keuangan negaranya.
”Publik penting memahami, tindak pidana korupsi jangan hanya disederhanakan menyoal kerugian keuangan negara. Dari analisis yang salah kaprah (penelitian ICW) tersebut, kesimpulan prematur yang dihasilkan bisa dipastikan keliru,” ujarnya.
Ali menjelaskan, seharusnya ICW juga membahas lebih jauh mengenai aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya. Berkaitan dengan pidana tambahan lainnya, ada beragam bentuk, seperti pencabutan hak politik, yang beberapa kali diterapkan oleh KPK dan dituntut kepada para terdakwa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F19%2F20211019ags98_1634656779_jpg.jpg)
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri
Tak hanya itu, katanya, pemantauan ICW sepatutnya juga perlu memasukkan pembahasan tentang subsider hukuman yang merupakan hak terpidana. Dengan begitu, bisa jadi, pengembalian kerugian keuangan negara tersebut digantikan dengan hukuman badan. ”Mekanisme tersebut berlaku sah demi hukum,” kata Ali.
Berupaya optimal
Berkaitan dengan pemulihan aset (asset recovery), Ali menuturkan, KPK melalui fungsi yang dijalankan Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi terus berupaya optimal melakukannya. Hal itu dilakukan dengan tiga hal. Pertama, pelacakan aset yang maksimal terhadap harta dan kekayaan yang dimiliki para pelaku korupsi.
Kedua, pengelolaan barang bukti, salah satunya agar aset yang disita dan dirampas tidak mengalami depresiasi nilai saat pelaksanaan lelang. Ketiga, eksekusi yang dijalankan oleh jaksa atas putusan pengadilan di mana melalui UU KPK yang baru, kini fungsi eksekusi menjadi tugas pokok fungsi KPK sehingga jaksa esekutor juga bisa melakukan penyitaan.
Berdasarkan data KPK, tercatat pada tahun 2020, KPK berhasil melakukan asset recovery sebesar Rp 294.778.133.050. Kemudian, pada tahun 2021 naik lebih dari 41 persen dengan nilai total Rp 416.941.569.376. Lalu, pada tahun 2022 berjalan, data per 31 Maret, mencapai Rp 183.157.346.649.
”Perhitungan asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, dan rampasan,” ujar Ali.

Ketua KPK Firli Bahuri mempresentasikan aset terpidana kasus korupsi yang berhasil disita KPK di Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Dia juga mengatakan, berkaitan dengan penerapan pasal TPPU, sebagai salah satu instrumen untuk mengoptimalkan asset recovery, KPK mencatat telah menangani 44 perkara. Tahun 2021 sendiri mencapai enam perkara.
KPK berharap, kajian-kajian tentang pemberantasan korupsi dapat disusun dengan komperehensif dan berbasis data dan fakta yang akurat sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, hasil kajian dapat memberikan manfaat bagi perbaikan upaya pemberantasan korupsi ke depan, di mana perbaikan tersebut bisa lebih luas, tidak hanya bagi KPK, tetapi juga bagi aparat penegak hukum lainnya, yang juga punya kewenangan melakukan penanganan tindak pidana korupsi.
”Analisis yang tidak komprehensif ini tentu sangat disayangkan karena bisa membelokkan informasi bagi masyarakat maupun para pemerhati dan akademisi yang konsen terhadap perkembangan ilmu hukum,” tutur Ali.
Baca juga : Kasasi Ditolak, Eks Sekretaris MA Nurhadi Tak Harus Bayar Uang Pengganti Rp 83 M
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F29%2F17d6952a-c171-4e22-97e5-c778d2a94346_jpg.jpg)
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana
Secara terpisah, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan prihatin dengan tanggapan Ali Fikri. Sebab, menurut dia, Ali terlihat belum membaca secara utuh laporan tersebut dan langsung mengomentarinya. ”Jadi, tidak salah jika kemudian pernyataannya justru keliru dan melebar ke mana-mana,” ujarnya.
Kurnia menegaskan, berdasarkan data yang didapatkan ICW melalui pencarian menggunakan sumber primer (Sistem Informasi Penelusuran Perkara dan Direktori Putusan) serta sumber sekunder, yakni pemberitaan daring, selama tahun 2021, KPK hanya menangani perkara korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara Rp 802 miliar. Sementara sisanya ditangani Kejaksaan Agung yang mencapai Rp 62 triliun.
”Bukankah hal itu menunjukkan bahwa KPK minim menangani perkara dalam lingkup kerugian keuangan negara? Tentu kami memahami kerugian keuangan negara berbeda dengan tindak pidana suap sebagaimana disampaikan Saudara Ali. Maka dari itu, data itu kami batasi pada penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” katanya.
Terkait dengan pencabutan hak politik, lanjut Kurnia, ICW menemukan ada sejumlah terdakwa yang tidak dituntut dengan pidana tambahan tersebut, di antaranya Bupati Malang Rendra Kresna, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Bupati Labuhan Batubara Kharruddin Syah, Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial, dan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman. Untuk itu, ia mempertanyakan, mengapa mereka tidak dituntut agar hak politiknya dicabut.
”Akan tetapi, jika saja Saudara Ali mau membaca laporan ICW secara lengkap, ia bisa memahami bahwa desakan kami untuk meningkatkan pencabutan hak politik bukan ditujukan kepada KPK, melainkan Kejaksaan,” katanya.

Selain itu, ICW juga tidak pernah mengatakan pidana penjara pengganti tidak sah secara hukum. Poin yang disampaikan ICW adalah rendahnya tuntutan pidana penjara pengganti penuntut umum, salah satunya KPK. Dari sini terlihat, ujar Kurnia, KPK kembali keliru dalam memahami laporan yang disampaikan ICW. Misalnya, dalam kasus dengan terdakwa bekas Ketua DPRD Muara Enim Aries HB, KPK menuntut pembayaran uang pengganti sebesar Rp 3 miliar, tetapi pidana penjara penggantinya hanya 1 tahun.
Dalam perkara lain lagi, untuk terdakwa atas nama Melia Boentaran, tuntutan uang penggantinya mencapai Rp 110 miliar. Akan tetapi, KPK hanya mengenakan pidana penjara pengganti selama 2 tahun penjara.
”Bukankah instrumen pidana penjara pengganti mestinya dapat dimaksimalkan sebagai hukuman tambahan jika kemudian uang pengganti tidak dilunasi? Kami juga mengulas sejumlah tuntutan bermasalah KPK, salah satunya terhadap bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Kami mencatat KPK hanya menuntut 5 tahun penjara. Bisakah Saudara Ali jelaskan mengapa tuntutannya sangat rendah?” ucap Kurnia.
Dia juga mengatakan, ICW berharap KPK tidak prematur mengomentari laporan yang disampaikan ICW. Ada baiknya, laporan itu dibaca terlebih dahulu agar dapat memahami substansinya. ”Jangan kemudian langsung membantah dengan argumentasi-argumentasi yang sebenarnya jauh berbeda dengan persoalan utama,” katanya.