Konflik yang diwarnai kekerasan bernuansa agama membutuhkan solusi yang komprehensif. Bukan jargon toleransi semu.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Berulangnya konflik horizontal yang diwarnai kekerasan agama menuntut semua pihak memikirkan dan mengimplementasikan solusi yang komprehensif. Solusi yang menguatkan kohesi masyarakat bisa menjadi solusi jangka panjang, bukan pseudo toleransi atau toleransi semu.
Ketua Dewan Pengawas Majelis Buddhayana Indonesia Sudhamek, Minggu (8/5/2022), mengatakan, solusi jangka pendek atas konflik warga yang diwarnai kekerasan agama di Desa Mareje, Kecematan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah dicapai. Kondisi telah kembali kondusif. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan bahkan Kapolda NTB Inspektur Jenderal Joko Poerwanto telah turun tangan langsung.
Namun, menurut dia, masalah konflik horizontal yang diwarnai kekerasan agama telah kerap terjadi. Oleh karena itu, butuh solusi yang komprehensif yang dilakukan bersama-sama masyarakat, tokoh agama, pemerintah, bahkan kalangan perguruan tinggi. Untuk itu, jargon toleransi tidak harus hadir sebagai sesuatu yang nyata dan menjadi kepentingan bersama.
Hal senada disampaikan Ismail Hasani dari Setara Institute. Menurut dia, proses hukum untuk memberi efek jera memang perlu dilakukan. Akan tetapi, perlu ada solusi yang menyelesaikan akar masalah. ”Pseudo toleransi serta seremoni yang selama ini dipromosikan negara sebagai solusi hanya akan menyimpan bara di kemudian hari,” ujarnya.
Sudhamek mengatakan, solusi jangka panjang yang perlu dilakukan adalah adanya aktivitas bersama yang bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Dengan aktivitas bersama yang menjawab kepentingan bersama itu, rasa saling percaya akan lebih mudah terwujud. Kegiatan bersama yang paling menjawab kebutuhan bersama adalah kegiatan ekonomi. Syaratnya, kegiatan ekonomi harus inklusif dan berkelanjutan.
”Misalnya, memproduksi sesuatu untuk komoditas ekspor,” kata Sudhamek.
Proses ini kemudian berujung pada kerja sama semua pihak mulai dari produksi sampai distribusi. Untuk itu, memang banyak pihak yang harus terlibat. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang sifatnya afirmatif, yaitu kebijakan yang punya keberpihakan. Pengusaha juga perlu membantu, baik pengusaha lokal maupun nasional.
”Demikian juga FKUB, sampai kampus, jadi kita tidak hanya bikin triple helix, tapi juga sampai quadruple bahkan penta helix, karena kita butuh pendekatan yang benar-benar tepat,” kata Sudhamek.
Ismail Hasani melihatnya dari sudut pandang yang serupa, tetapi tak sama. Ia mengatakan, selama ini orientasi kerukunan selalu menjadi arus utama solusi. Masalahnya, pijakannya adalah penundukan bagi yang minor. Padahal, semestinya paradigmanya adalah penjaminan atas keberagaman etnisitas dan jaminan kebebasan.
”Konsekuensinya, negara harus adil dan bertolak dari adanya fakta pelanggaran hukum. Sementara di atas nonhukum, dialog yang berkualitas berbasis hak menjadi kebutuhan,” tambahnya.
Masalahnya, Ismail melihat bahwa akar permasalah ada di politisasi identitas yang menguat pada aktor politik dan juga masyarakat. Situasi ini membuat solusi yang sebenarnya dan berkualitas tidak ditempuh. Pendekatan keamanan untuk menunjukkan performa kerukunan semu dan seremonial lebih mudah dilakukan dan selalu dijadikan solusi.
Ismail mengatakan, pendekatan yang komprehensif diperlukan. Namun, ia pesimistis dengan pendekatan ekonomi. Pendekatan ekonomi seperti dalam program deradikalisasi tidak pernah terbukti manjur, seperti Laskar Kayamaya di Ambon, GAM di Aceh, dan NII di Jabar. Pendekatan ekonomi hanya menyelesaikan persoalan di level elite. ”Kalau solusi ekonomi dibarengi solusi komprehensif lain baru efektif,” katanya.