Usulan Jaksa Agung Dinilai Tak Tepat, Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Tetap Harus Dipidana
Jaksa Agung menyatakan bahwa perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian. Hal itu justru dikhawatirkan memicu orang untuk korupsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis (27/1/2022).
JAKARTA, KOMPAS —Pernyataan Jaksa Agung bahwa perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian dinilai tidak tepat. Selain karena tidak memberikan efek jera, hal itu justru dapat memicu orang untuk melakukan korupsi.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam rapat kerja Komisi III dengan Jaksa Agung, Kamis (27/1/2022), mengatakan, Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran kejaksaan agar perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta diselesaikan dengan cara mengembalikan kerugian negara tersebut. Hal itu, lanjutnya, sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Pernyataan senada disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh saat rapat kerja Komisi III bersama Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Senin (24/1/2022). Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengusulkan agar keadilan restoratif (restorative justice) diusulkan diperluas, tidak hanya digunakan untuk kasus-kasus pidana ringan, tetapi juga perkara besar yang menarik perhatian masyarakat, termasuk korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, ketika dihubungi, Jumat (28/1/2022), mengatakan, pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Jaksa Agung tidak bisa membedakan kejahatan umum dengan kejahatan yang berdampak sistemik, seperti korupsi. Sebab, korupsi yang dilakukan oleh orang dengan jabatan dan kewenangan tertentu seolah disamaratakan dengan pidana biasa.
SHARON PATRICIA
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
”Presiden saja sampai membentuk tim saber pungli untuk mengatasi korupsi-korupsi kecil agar dapat diproses hukum, tetapi Jaksa Agung justru menyatakan sebaliknya. Ini bukan lagi inkonsistensi, tetapi dia tidak memahami idealnya penghukuman bagi pelaku korupsi,” kata Kurnia.
Pernyataan Jaksa Agung itu juga dinilai tidak didasarkan pada argumentasi hukum yang konkret. Sebab, pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Sampai saat ini, Pasal 4 tersebut masih berlaku dan tidak bisa disimpangi oleh regulasi setingkat peraturan Jaksa Agung.
Presiden saja sampai membentuk tim saber pungli untuk mengatasi korupsi-korupsi kecil agar dapat diproses hukum, tetapi Jaksa Agung justru menyatakan sebaliknya. Ini bukan lagi inkonsistensi, tetapi dia tidak memahami idealnya penghukuman bagi pelaku korupsi.
Sementara itu, lanjut Kurnia, korupsi skala kecil terjadi masif di Indonesia. Oleh karena itu, upaya restoratif bagi korban yang dilakukan melalui pemulihan kerugian harus dilakukan beriringan dengan proses pidana yang diterapkan bagi pelaku tindak pidana. Di sisi lain, yang patut dicermati adalah meski korupsi dengan jumlah puluhan juta digolongkan sebagai korupsi kecil, biasanya korupsi semacam itu diikuti dengan kejahatan atau tindak pidana lain.
”Dengan pernyataan Jaksa Agung tersebut justru akan mendorong orang untuk melakukan korupsi karena menyiratkan kesan tidak memberikan efek jera. Padahal, mengembalikan uang hasil korupsi bukan berarti tindak pidananya dihapuskan,” ujar Kurnia.
LITBANG KOMPAS/RFC
Grafis Penegakan Hukum
Hal senada diungkapkan pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, berdasarkan undang-undang, pernyataan Jaksa Agung tersebut bukan merupakan ranah atau kewenangan kejaksaan sebagai penuntut umum. Kejaksaan bisa mengambil sikap tersebut ketika menghadapi kasus perdata, bukan pidana.
Sementara dalam tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, jaksa hanya dapat menghentikan proses hukum ketika bukti perkara kurang. Jaksa dapat mengembalikan perkara tersebut ke penyidik atau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
”Tetapi, tidak bisa menghentikan perkara hanya karena pelaku membayar atau mengembalikan kerugian. Tidak bisa dilakukan seperti itu karena perbuatan pidananya sudah ada. Dalam korupsi, itu sudah diatur di Pasal 4 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” kata Fickar.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Menurut Fickar, pernyataan atau kebijakan Jaksa Agung itu justru memberikan kesempatan bagi orang untuk melakukan kejahatan korupsi. Padahal, jika seseorang mengembalikan kerugian atau hasil kejahatannya, hal itu tidak bisa menjadi alasan penghentian perkara.
”Pengembalian kerugian itu bisamemengaruhi pengurangan jumlah hukuman, tapi tetap pelakunya harus dihukum atas tindak pidananya itu,” ujar Fickar.
Terkait pernyataan Jaksa Agung di raker dengan Komisi III DPR tersebut, Kompasmenghubungi Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak. Namun, pertanyaan yang dikirim tidak direspons.