Mendidik Pejuang-pejuang Baru Pemberantasan Terorisme
Strategi pemolisian komunitas diadopsi di berbagai negara. Upaya kolaboratif dapat meredam upaya organisasi teroris memengaruhi publik. Namun langkah itu harus diiringi upaya meningkatkan kepercayaan publik pada aparat.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Hampir dua dekade berdiri, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri tak pernah muncul ke hadapan publik. Pasukan korps berlambang burung hantu itu selalu tampil dengan seragam serba hitam, helm, dan penutup wajah serta menggendong senjata laras panjang. Kerja-kerja ”bawah tanah” diutamakan untuk mencari dan memetakan jejaring kelompok teror.
Namun, ada yang berbeda memasuki tahun 2022. Polisi antiteror mulai menampilkan kerjanya dalam bentuk lain, yakni mendidik auktor-auktor baru di hulu pemberantasan terorisme. ”Era sudah berubah. Kami tidak bisa sekadar menangkap pelaku teror saja, tetapi juga harus mencegah penyebaran paham radikal yang berkembang di masyarakat,” kata Kepala Subdit Kontra Ideologi Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Ponco Ardani seusai menyelenggarakan Workshop Kebangsaan di Jakarta, Kamis (13/1/2022) sore.
Pelatihan tersebut diikuti 109 peserta, terdiri dari 62 anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) serta 47 penyuluh agama di wilayah Jakarta Timur. Selama sekitar tiga jam, mereka mendapatkan sejumlah materi, mulai dari analisis kerawanan Ibu Kota dalam konteks penyebaran paham radikal, bagaimana seseorang bisa teradikalisasi, hingga moderasi beragama. Selain Ponco, materi tersebut disampaikan mantan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Inspektur Jenderal (Purn) Hamli, dan Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Jakarta Timur Zulkarnain.
Kepada peserta pelatihan, Ponco menjelaskan, hingga saat ini Ibu Kota masih menjadi pusat dinamika kegiatan kelompok teror dan penyebaran nilai intoleran ke masyarakat.
Sepanjang 2017-2021, tercatat ada 176 tersangka tindak pidana terorisme yang ditangkap. Mereka terafiliasi dengan berbagai kelompok teror, antara lain Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam Indonesia (NII). Peran mereka pun beraneka ragam, mulai dari pelaku bom bunuh diri, bom kendali jarak jauh, hingga penembakan.
Di Jakarta, ada 116 eks narapidana terorisme (napiter) yang diawasi Satuan Tugas Wilayah dan Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88. Sebagian dari mereka berpotensi kembali ke kelompok teror. Dari lima kotamadya, daerah dengan jumlah eks napiter terbanyak adalah Jakarta Timur.
Selain itu, sejumlah rumah ibadah dan lembaga pendidikan di Jakarta Timur juga terindikasi menyebarkan paham radikalisme. ”Potensi radikalisasi di wilayah ini besar sehingga ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” kata Ponco.
Hamli mengatakan, paham radikal saat ini telah menyebar ke berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk sektor pendidikan, bahkan di tingkat pendidikan anak usia dini.
Hal itu sejalan dengan dinamika terorisme yang terungkap dari berbagai penangkapan tersangka yang dilakukan beberapa waktu terakhir. Kelompok teror yang ada di Indonesia menggunakan strategi yang kian mendekat ke masyarakat. Sering kali aktivitas mereka pun menggunakan selubung yang sulit dibedakan dengan warga kebanyakan.
Dalam situasi tersebut, kata Ponco, peran Bhabinkamtibmas dan penyuluh agama amat diperlukan untuk mencegah penyebaran paham radikal. Setelah mengikuti pelatihan, para ujung tombak aparat dalam berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat itu diharapkan bisa menyebarkan informasi yang tepat serta menjadi teladan sikap toleransi di tengah warga. Praktiknya bisa dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakat setempat.
Meski beberapa peserta sempat terpejam di tengah pelatihan, sebagian besar aktif mencatat data yang disampaikan para pembicara. Antusiasme kian terasa saat Hamli memutarkan video pengakuan salah satu ”pengantin” bom bunuh diri pada 2009.
Video direkam di kawasan hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang menjadi sasaran aksi tersebut. Remaja laki-laki yang ada di video mengatakan, pengeboman dua hotel itu merupakan harga yang harus dibayar untuk hidup bahagia setelah mati.
”Video ini kami dapatkan dari jejaring teroris yang tertangkap, sedangkan orang yang ada di video tewas dalam aksinya,” ujar Hamli.
Selain itu, ditampilkan pula video seorang anak yang menyampaikan keinginannya mati dengan meledakkan bom. Meski masih berusia sekitar lima tahun, anak di video sudah memiliki pemahaman bahwa kematian dalam aksi pengeboman adalah perjuangan tertinggi yang membuat kematian bisa dilalui tanpa rasa sakit.
Menyaksikan video tersebut, para peserta seketika tersentak. Beberapa dari mereka mengelus dada atau menggeleng-gelengkan kepala sambil mengucap permohonan ampun kepada Tuhan.
Antusiasme kian terasa ketika peserta berkesempatan untuk bertanya atau menyampaikan pendapat.
Ahmad Saifullah, penyuluh agama dari Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, mengungkapkan, saat ini kecenderungan sikap intoleran memang berkembang di masyakarat. Menurut dia, muncul banyak lembaga pendidikan yang eksklusif. Mereka cenderung tertutup dan memisahkan diri dari masyarakat.
Aiptu Abdul Rasyid, anggota Bhabinkamtimbas dari Kelurahan Balekambang, Jakarta Timur, pun berusaha menggali lebih lanjut dari para narasumber mengenai lokasi dan pihak-pihak yang disebut terindikasi menganut paham radikalisme.
Secara terpisah, peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Alif Satria, mengapresiasi upaya Densus 88 untuk melibatkan Bhabinkamtibmas dan penyuluh agama untuk mendeteksi dini serta mencegah penyebaran paham radikal di tengah masyarakat. Hal ini diperlukan karena cara penyebaran paham radikal di tingkat akar rumput sering kali berbeda di setiap daerah. Cara menangkalnya pun harus disesuaikan dengan norma dan kearifan lokal yang berlaku. ”Pihak yang paling tahu akan kekhasan ini adalah aparat di tingkat akar rumput, seperti Bhabinkamtibmas dan penyuluh agama,” katanya.
Strategi pemolisian komunitas (community policing) juga telah digunakan di berbagai negara. Salah satunya Inggris, yang mencegah radikalisasi masyarakat dengan melibatkan tokoh agama di akar rumput melalui program Counter Terrorism Strategy (Contest). Upaya kolaboratif dapat mengurangi pengaruh organisasi teroris yang mengakarkan diri ke semua lapisan masyarakat secara signifikan.
Meski demikian, langkah tersebut harus diiringi dengan upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat pada aparat. Apalagi, beberapa waktu terakhir kinerja dan profesionalitas Polri, termasuk Densus 88, tengah menjadi sorotan masyarakat.
”Jika tidak ada trust antara masyarakat dan aparat pemerintah, upaya pencegahan dan deteksi dini bisa dipandang sebagai upaya memata-matai umat beragama tertentu,” ujar Alif.