Dislokasi Politik Lokal Akibatkan Rendahnya Serapan Anggaran
Hingga pertengahan Desember 2021, rata-rata belanja daerah baru 73,23 persen. Bahkan, tak sedikit pemda justru ”menganggurkan” anggaran daerahnya dalam bentuk deposito dan tabungan di bank.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Pembangunan infrastruktur dilakukan di sejumlah tempat di Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (24/11/2021). Menjelang akhir tahun, serapan anggaran di Kota Medan masih 46,22 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Visi misi dan perencanaan antara pemerintah daerah dan pusat dinilai tidak sinkron selama 2021. Salah satu dampaknya adalah rendahnya serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia per 17 Desember 2021 tercatat rata-rata sebesar 73,23 persen atau Rp 928,25 triliun. Tito meminta pemda terus menggenjot realisasi pendapatan dan belanja pada sisa akhir tahun 2021. Adapun pada akhir Desember 2020, realisasi belanja pemda mencapai 82,69 persen.
Masih rendahnya serapan APBD oleh pemerintah daerah dinilai oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman terjadi karena tidak sinkronnya visi, misi, dan perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Ia mengungkapkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mencoba menyinkronkan perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, pada praktiknya, hal itu sangat sulit terjadi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman
”Kenapa ini terjadi? Kami melihatnya sebagai dislokasi politik lokal antara visi misi politik pemimpin daerah, baik itu bupati dan wali kota dengan gubernurnya maupun antara bupati, wali kota, dan gubernur dengan visi misi presiden di pemerintah pusat,” kata Herman dalam diskusi media bertajuk ”Otonomi Daerah pada Masa Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (23/12/2021).
Menurut Herman, pemda masih belum memiliki fokus dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam dua tahun menghadapi pandemi, pemerintah pusat sudah mengarahkan fokusnya pada penanggulangan Covid-19, pemulihan ekonomi, dan jaring pengaman sosial. Namun, pemerintah pusat masih mengeluhkan rendahnya serapan anggaran.
Hal itu menunjukkan daerah sulit mengarahkan fokusnya pada penanganan pandemi Covid-19. Pemda memiliki program yang sangat banyak, tetapi tidak didukung oleh perencanaan yang fokus dan penganggaran yang berkualitas.
Pendekatan disinsentif yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah masih belum optimal. Ketika pemerintah pusat kecewa dengan pemda, tidak ada hukuman yang mereka keluarkan.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memantau vaksinasi di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (11/12/2021). Kendari adalah satu-satunya daerah dari 17 kabupaten/kota di Sultra yang mencapai target 70 persen. Tito berharap semua daerah melakukan percepatan vaksinasi dalam tiga pekan ke depan.
Herman mengatakan, manajemen data dalam penanganan pandemi selama 2021 juga masih buruk. Hal tersebut terlihat dari rendahnya serapan untuk perlindungan sosial atau bantuan sosial yang berasal dari APBD.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per 5 November 2021, jumlah anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp 186,64 triliun. Namun, realisasinya hanya Rp 132,49 triliun atau sekitar 72,4 persen. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 95,7 persen.
Menurut Herman, hal itu terjadi karena data kelompok rentan atau yang layak mendapatkan bansos antara pemerintah pusat dan daerah berbeda-beda. Alhasil, berimplikasi anggaran yang dikeluarkan oleh pemda untuk bansos masih rendah.
Ketika serapan anggaran daerah masih rendah, simpanan kas daerah di perbankan justru tinggi. Tito menyampaikan, berdasarkan data yang diperolehnya dari Bank Indonesia, simpanan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di bank per 30 November 2021 sekitar Rp 203,95 triliun. Sebanyak Rp 144,96 triliun berupa giro yang artinya akan dibelanjakan. Sisanya, sebesar Rp 54,38 triliun dalam bentuk deposito dan Rp 4,6 triliun dalam bentuk tabungan.
DOKUMENTASI PRIBADI
Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan mengunjungi salah satu posko di Tapanuli Utara, Sabtu (18/4/2020).
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Nikson Nababan mengungkapkan, adanya simpanan kas daerah di perbankan terjadi karena keterlambatan dalam penyusunan rencana anggaran biaya. Selain itu, sejumlah daerah mengalami keterlambatan dalam proses tender. Akibatnya, sejumlah pekerjaan baru dilaksanakan pada bulan depan.
Menurut Nikson, persoalan itu menyebabkan dana mengendap di bank. Karena itu, ia berharap agar tidak ada lagi proses tender yang membuat pekerjaan menjadi tertunda. ”Kalau diubah penunjukan oleh daerah, serapan anggaran akan cepat. Namun, tetap sesuai prosedur dan kualifikasi yang disepakati pemerintah daerah dan pusat,” kata Nikson.
Selain itu, kata Nikson, e-katalog agar segera dibuka pada Januari 2022 sehingga pemda dapat segera belanja. Sebab, selama ini e-katalog baru bisa diakses pada pertengahan tahun.
Ia mengakui, ada visi misi dan perencanaan di sejumlah daerah yang tidak sinkron dengan pemerintah pusat. Namun, hal itu tidak berpengaruh besar terhadap rendahnya serapan anggaran.