Perlu ada birokrasi yang imparsial, profesional, dan berpihak pada kepentingan publik. Reformasi birokrasi termasuk harus dilakukan pada lembaga-lembaga pengawal demokrasi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan biroktasi yang imparsial, profesional, dan berpihak pada kepentingan publik diyakini mampu mencegah Indonesia menuju regresi demokrasi. Reformasi birokrasi utamanya perlu dilakukan kepada lembaga-lembaga pengawal demokrasi.
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi mengatakan, ada perkembangan yang mengkhawatirkan dalam kebijakan negara di bidang penguatan birokrasi. Sebagian kebijakan yang diambil pemerintah dinilai justru melemahkan demokrasi.
Sofian, yang merujuk pada Global State Democracy Indices 2020 yang dikeluarkan oleh International IDEA, hanya dua dari 20 indikator yang nilainya cukup baik. Keduanya adalah pemerintahan terpilih dan hak pilih yang inklusif. Sementara indikator lain, antara lain, masyarakat sipil, kebebasan partai politik, hak dasar, akses keadilan, dan demokrasi lokal.
”Indikator yang masih lemah tidak tersentuh reformasi birokrasi. Di wilayah ini, kontrol oligarki terhadap negara dapat dilihat dan bisa menunjukkan pengaruh kuat oligarki kepada negara,” ujar Sofian dalam webinar bertajuk ”Stagnasi Demokrasi? Pemilu, Partai Politik, dan Relasi Bisnis Pasca Orde Baru”, Rabu (15/12/2021).
Turut hadir sebagai pembicara Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti; Guru Besar Asian Studies University of Melbourne, Australia, Vedi R Hadiz; dan Peneliti Pembangunan Daerah di Badan Riset dan Inovasi Nasional Syarif Hidayat.
Ketua KASN Sofian Effendiy memberikan pengarahan dalam diskusi ”Menjaga Netralitas ASN” di Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Oleh karena itu, Sofian menilai, perlu ada birokrasi yang imparsial, profesional, dan berpihak pada kepentingan publik. Reformasi birokrasi termasuk harus dilakukan pada lembaga-lembaga pengawal demokrasi yang nilai indikatornya masih rendah.
Indonesia, lanjut ia, tidak bisa dikatakan tidak demokratis. Namun kecenderungan menuju regresi demokrasi bisa dicegah jika pemerintah segera memperkuat birokrasi pemerintah yang menjadi pengontrol pemerintah.
Syarif menuturkan, stagnasi demokrasi salah satunya disebabkan munculnya negara banyangan akibat oligarki kapitalis dan oligarki parpol. Ini disebabkan reformasi kelembagaan negara yang tidak diikuti dengan reformasi kapasitas negara.
Reformasi yang lebih menekankan pada pembangunan imajinasi negara membuat aktualisasi negara dalam kehidupan sehari-hari samar. Kondisi ini telah mendorong tumbuh dan berkembangnya negara bayangan.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Peneliti Pembangunan Daerah di Badan Riset dan Inovasi Nasional Syarif Hidayat
Kemunculan negara bayangan, menurut Syarif, mulai muncul pasca-Orde Baru dan cenderung menguat setelah rezim pemilihan kepala daerah langsung. Implikasinya banyak pejabat pemerintah daerah terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Negara bayangan merupakan pertemuan kepentingan dari dua arus kekuatan oligarki partai dan kapitalis," ujarnya.
Vedi mengatakan, demokrasi tidak membunuh oligarki. Yang terjadi, justru oligarki bisa berdampingan dengan demokrasi. Ini ditunjukkan dari jatuhnya rezim Orde Baru membuat oligarki mampu beradaptasi pada sistem demokrasi.
Ramlan menilai, sistem proporsional terbuka yang dipilih Indonesia semestinya mampu membuat sistem kepartaian multipartai sederhana. Selain itu, sistem perwakilan politik yang menempatkan parpol sebagai saluran utama kepentingan konstituen, pemerintahan presidensial yang efektif, serta tidak terjadi pratik jual-beli suara antara calon dan pemilih.
”Namun, yang terjadi, empat aspek itu tidak terwujud,” katanya.