Petugas curiga melihat begitu banyak telepon genggam yang dibawa Gilchalan. ”Saya punya teman di beberapa negara, saya harus menyimpan nomor-nomornya,” kata Gilchalan kepada personel Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
Sosok lelaki bertinggi badan lebih kurang 165 sentimeter, dengan tubuh kekar dan dada bidang, berjalan santai menuju konter pelaporan maskapai Qatar Airways di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, suatu petang pada akhir Mei 2021. Suasana di bandara saat itu sepi. Tak banyak penumpang.
Namun, belum sempat pria bernama Ghassem Saberi Gilchalan itu tiba di konter untuk mengambil pas keberangkatan pesawat Qatar Airways dengan rute Jakarta-Doha, Qatar, ia dihentikan beberapa orang. Kepada Gilchalan, mereka memperkenalkan diri sebagai personel Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta dan Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta.
Gilchalan, yang saat itu hanya menggendong ransel, tanpa banyak bicara mengikuti petugas ke sebuah ruangan yang masih berada di Terminal 3 bandara.
Gilchalan, pria 49 tahun dengan kulit putih, rambut cepak berwarna keperakan, dan alis mata tebal. Ia mengenakan kacamata tanpa bingkai. Tato terlihat di lengan kiri dan kanannya. Di ruangan itu, pertanyaan demi pertanyaan petugas dijawabnya dengan santai dalam bahasa Inggris. Ia berbicara dengan intonasi suara rendah.
Petugas juga menemukan uang tunai dalam bentuk 16 mata uang asing dengan nominal setara Rp 140 juta. Tak ketinggalan, ditemukan pula 11 telepon seluler, satu tablet, satu pemutar musik, dua modem, dan beberapa kartu SIM lokal ataupun luar negeri.
Selama empat jam, dia diwawancarai dan barang-barangnya digeledah. Identitasnya pun diperiksa silang oleh petugas. Gilchalan saat itu memegang paspor Bulgaria bernomor 382509836. Namun, di tas ranselnya, petugas juga menemukan dua paspor lagi. Satu paspor Bulgaria yang sudah kedaluwarsa, serta satu paspor Iran yang masih berlaku hingga 2023. Semua atas nama dia.
Bukan hanya itu, petugas juga mendapati Gilchalan membawa sejumlah dokumen berbahasa Persia, beberapa kartu bertuliskan anggota Persatuan Bekas Polis Malaysia dan Skuad 69 PDRM.
Selain itu, petugas juga menemukan uang tunai dalam bentuk 16 mata uang asing dengan nominal setara Rp 140 juta. Tak ketinggalan, ditemukan pula 11 telepon seluler, satu tablet, satu pemutar musik, dua modem, dan beberapa kartu SIM lokal, ataupun luar negeri.
Dari 11 ponsel, tiga di antaranya perangkat yang hanya bisa dipakai untuk melakukan panggilan telepon dan berkirim pesan, di antaranya Nokia 3310 dan 8110. Sisanya telepon pintar seperti iPhone 5, iPhone 6, iPhone 6 Plus, iPhone 11, serta Huawei Y5.
Petugas sempat curiga melihat begitu banyak telepon genggam yang dibawa Gilchalan. ”Saya punya teman di beberapa negara, saya harus menyimpan nomor-nomornya,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandara Soekarno-Hatta Ajun Komisaris Rezha Rahandhi, September lalu, menirukan jawaban Gilchalan saat diinterogasi.
Polisi lalu juga memeriksa keaslian paspor Bulgaria yang dibawa Gilchalan. ”Kedubes Bulgaria melalui keterangan tertulis menyatakan paspor itu palsu, fake. Dia bukan warga negara Bulgaria. Gilchalan juga mengakui itu,” kata Rezha.
Tim Kompas mengonfirmasi informasi terkait Gilchalan sejak Senin (29/11/2021) kepada Kedutaan Besar Iran di Jakarta. Namun, hingga Rabu (8/12/2021), belum ada jawaban atas pertanyaan yang dikirim.
Paspor Iran yang dibawa Gilchalan juga diperiksa keasliannya. Pihak Kedutaan Besar Iran di Jakarta, menurut Rezha, mengakui bahwa Gilchalan merupakan warga negara Iran.
Tim Kompas mengonfirmasi informasi terkait Gilchalan sejak Senin (29/11/2021) kepada Kedutaan Besar Iran di Jakarta. Namun, hingga Rabu (8/12/2021), belum ada jawaban atas pertanyaan yang dikirim.
Gilchalan lantas ditahan dengan sangkaan penggunaan paspor palsu. Dia lalu disidang di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Pada pertengahan September, Gilchalan divonis 2 tahun penjara serta denda Rp 100 juta. Upaya bandingnya ditolak pada November lalu.
Sudah masuk ”radar”
Sekalipun baru tertangkap akhir Mei, data perlintasan imigrasi menunjukkan, Gilchalan sudah 30 kali masuk-keluar Indonesia pada 2012-2021 menggunakan paspor Iran dan Bulgaria. Paspor Iran digunakan pada 2012 dan 2019 hanya untuk perjalanan dari dan ke negaranya.
Sementara paspor Bulgaria digunakan masuk Indonesia sepanjang 2013 hingga 2018 dan 2021 dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Australia. Sumber Kompas di penegak hukum menuturkan, aktivitas mencurigakan Gilchalan sudah masuk ”radar” mereka sejak 2020.
Sejak saat itu, mereka mengumpulkan informasi tentang Gilchalan dan juga bekerja sama dengan maskapai dan otoritas bandara untuk melacak jika Gilchalan kembali masuk ke Indonesia. Berkat kerja sama itu, kesempatan untuk menangkap Gilchalan bisa dieksekusi dengan baik.
Hasil ekstraksi yang dilakukan penegak hukum terhadap 11 ponsel Gilchalan menambah kecurigaan aparat. Di sana tidak hanya ditemukan kontak telepon. Ada 400 gigabita (GB) data yang terunduh dari ponsel-ponsel tersebut.
Di antaranya ditemukan foto tiga pejabat militer dan pertahanan Indonesia. Ada pula hasil pindai 56 paspor dari Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Italia, Polandia, Denmark, Ceko, Bulgaria, dan Belarus. Kemudian juga Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Meksiko, Iran, Uzbekistan, serta Pakistan. Ada juga beberapa pasfoto berlatar biru yang sama dengan foto di sebagian paspor. Namun, beberapa di antaranya berbeda bentuk wajah, model rambut, dan pakaian yang dikenakan.
Selain itu, terdapat foto tanker Iran, MT Horse, yang nakhodanya menjalani proses pidana di Indonesia terkait pelanggaran alur pelayaran di perairan Kalimantan saat mentransfer minyak secara ilegal ke tanker berbendera Panama, MT Freya, Januari 2021. Nakhoda kapal yang juga warga Iran, Mehdi Monghasemjahromi, serta tanker bermuatan 1,8 juta barel minyak mentah itu ditahan otoritas Indonesia di Batam.
Hasil ekstraksi ponsel juga menunjukkan tangkapan layar percakapan Gilchalan dengan seseorang di Batam, Kepulauan Riau, terkait dengan tanker MT Horse.
Dugaan aktivitas intelijen
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto mengatakan, sejumlah bukti seperti paspor palsu, belasan ponsel, foto pejabat, pindaian puluhan paspor, dan komunikasi dengan pihak-pihak berkaitan dengan tanker MT Horse mengindikasikan bagian dari operasi intelijen. Bagi seorang wisatawan, koleksi belasan ponsel tergolong tak wajar. Namun, bagi seorang agen intelijen, itu hal biasa dalam beroperasi.
Perangkat itu digunakan untuk berkomunikasi dan mencari informasi terkait operasi yang sedang dilakukan. Keberadaan ponsel-ponsel ”jadul” yang tidak terhubung dengan internet tetap diperlukan karena sulit dilacak. ”Ada ponsel yang khusus digunakan menerima panggilan, melakukan panggilan, dan khusus untuk orang-orang tertentu,” ujarnya.
Pakar intelijen kepolisian Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai menuturkan, banyaknya paspor dan foto paspor di ponsel Gilchalan menunjukkan bahwa dia bukan sosok biasa. ”Jadi, dari sini saja sudah kelihatan ini bukan kriminal biasa karena dia sudah jauh-jauh mempersiapkan cover, baik secara formal untuk menyamar dari segi pekerjaan, identitas. Dan keterangan yang dia berikan menurut saya itu juga cover story,” katanya.
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian mengatakan, belum ada kasus terkait dugaan operasi intelijen oleh Gilchalan yang ditangani Direktorat Tindak Pidana Umum ataupun Bareskrim Polri. Namun, ia mengakui informasi soal Gilchalan sudah sempat didiskusikan. ”Baru sebatas diskusi. Belum kelihatan unsur pidana,” katanya.
Baca selanjutnya : Permohonan Deportasi yang Berulang