Sektor pendidikan masih jadi ladang korupsi dari tahun ke tahun. Kajian ICW yang dirilis pada Senin ini, dari 2016 hingga 2021, ada 240 kasus di sektor pendidikan, yang seharusnya menjadi ajang pendidikan antikorupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan ada persoalan serius dalam pengelolaan anggaran pendidikan, baik di sekolah, pemerintah daerah, maupun di pemerintah pusat. Ini bukan hanya diakibatkan mental pelaku yang koruptif, melainkan juga gap yang besar antara tenaga pengawas dan obyek yang diawasi.
Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis pada Senin (22/11/2021), dari 2016 hingga 2021 terdapat 240 kasus korupsi di sektor pendidikan yang ditangani aparat penegak hukum (APH), dengan total kerugian mencapai Rp 1,605 triliun. Pada 2019, kasus yang ditangani APH sebanyak 23 kasus. Lalu, pada 2021 melonjak menjadi 30 kasus.
Dari 240 kasus yang ada, ICW juga memetakan kembali berdasarkan program atau penggunaannya. Didapatkan, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi program yang paling sering dikorupsi, yakni 52 kasus. Sisanya, pembangunan infrastruktur (40 kasus), pengadaan barang dan jasa non-infrastruktur (35 kasus), dana alokasi khusus (34 kasus), hibah/bantuan sosial (14 kasus), gaji/insentif guru (14 kasus), dan dana BOP (11 kasus).
Adapun, jika dilihat berdasarkan sebaran instansinya, kasus korupsi paling besar terjadi di dinas pendidikan (125 kasus), sekolah (75 kasus), perguruan tinggi (20 kasus), dan kementerian/kantor wilayah (9 kasus). Pelaku yang menjadi tersangka pun beragam, di antaranya aparatur sipil negara (ASN) di dinas pendidikan (160 orang), ASN di instansi lain (84 orang), kepala dinas pendidikan (44 orang), kepala sekolah/wakil kepala sekolah (91 orang), dan guru (36 orang).
Sementara itu, ada juga empat kasus korupsi yang terjadi di tengah pandemi Covid-19, yakni korupsi Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama (Kemenag) untuk penanganan Covid-19 di pesantren dan lembaga pendidikan agama Islam di Kabupaten Pekalongan (Jawa Tengah), Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan), Kabupaten Wajo (Sulsel), dan Kota Pasuruan (Jawa Timur).
Peneliti ICW, Dewi Anggraeni, melalui keterangan tertulis, Senin, mengatakan, penyalahgunaan BOP Kemenag itu diduga kuat juga terjadi di daerah lain. Sebab, dari penelusuran ICW dan jaringan di Aceh dan Medan, ditemukan bahwa bantuan disalurkan pada kepada lembaga yang tidak memenuhi syarat atau fiktif, lembaga penerima tidak menggunakan BOP Kemenag sesuai peruntukan serta pemotongan bantuan dari jumlah yang seharusnya diterima.
”Ini sungguh mengkhawatirkan karena korupsi pendidikan tak mengenal batas nilai kemanusiaan. Korupsi bahkan tetap berlanjut di tengah pandemi Covid-19 dan terkait BOP untuk penanganan Covid-19,” ujar Dewi.
Menurut dia, data tersebut menunjukkan fakta bahwa korupsi pendidikan juga marak terjadi di sekolah. ”Di tempat peserta didik menuntut ilmu yang seharusnya mengajarkan sekaligus mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan justru terjadi korupsi yang bertolak belakang dengan pendidikan,” ucap Dewi.
Dari kajian ini, menurut Dewi, peningkatan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan penting segera dilakukan. Dalam ruang lingkup yang paling kecil, kewajiban transparansi harus dipertegas dalam pengelolaan dana BOS.
Peningkatan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan penting segera dilakukan. Dalam ruang lingkup yang paling kecil, kewajiban transparansi harus dipertegas dalam pengelolaan dana BOS.
”Meski kewajiban mengumumkan laporan telah ada dalam petunjuk teknis dana BOS, perlu ada penegasan berupa pengecekan dan bahkan sanksi bagi sekolah yang tidak terbuka dalam pengelolaan dana BOS-nya,” tutur Dewi.
Selain itu, ia pun mengingatkan, peran komite sekolah dalam perencanaan dan pengawasan dana BOS juga sangat dibutuhkan. ”Ini untuk memperkecil celah penyimpangan di sekolah,” katanya.
Fenomena ”gunung es”
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang mengamini kajian ICW. Sebab, potensi korupsi itu pula yang ia dapatkan di lapangan.
”Selain itu, ada yang belum teman-teman (CW) lihat di pendidikan dasar menengah karena memang kita sadari bahwa korupsi sebagai fenomena gunung es, yang kelihatan masih sedikit. Potensi-potensi korupsi itu juga pada pengelolaan di tingkat pusat sampai daerah,” ujar Chatarina.
Chatarina berpandangan, kasus korupsi di sektor pendidikan tinggi karena bantuan dana transfer daerah juga sangat besar. ”Jadi, kenapa ada korupsi itu, karena memang di mana ada anggaran, di mana ada gula, di situ ada semut,” ujarnya.
Ia pun sependapat dengan temuan ICW bahwa dana BOS paling besar dikorupsi. Selain itu, potensi korupsi juga besar di pengadaan barang dan jasa serta pembangunan fisik.
Namun, Catharina mengaku, bukan hal yang mudah untuk menangkal potensi korupsi tersebut. Sebab, ada gap yang besar antara jumlah tenaga di inspektorat dan jumlah sekolah. Saat ini, jumlah SD negeri dan SMP negeri 169.378 sekolah, kemudian jumlah SD dan SMP swasta mencapai 138.277. Adapun jumlah personel di Itjen Kemendikbudristek sebanyak 344 orang.
”Bayangkan tenaga kami di itjen sangat sedikit untuk mengawasi sedemikian banyak dan sedemikian luasnya Indonesia. Tentu saja pengawasan yang optimal tidak dapat dilakukan pada saat ini dengan keterbatasan sumber daya,” kata Chatarina.
Bayangkan tenaga kami di itjen sangat sedikit untuk mengawasi sedemikian banyak dan sedemikian luasnya Indonesia. Tentu saja pengawasan yang optimal tidak dapat dilakukan pada saat ini dengan keterbatasan sumber daya.
Untuk itu, kini ia tengah fokus membangun sistem pencegahan korupsi terkait sistem pengawasan BOS berbasis teknologi informasi. Sebagai proyek percontohan (pilot project), sistem baru dibangun di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Namun, sistem itu belum bisa dibangun di banyak area karena keterbatasan dana.
”Kami 2020 sampai 2021 terkena refocusing dana terus sehingga kemarin tidak bisa dikabulkan, kemarin usul (perluasan sistem) tidak dapat (anggaran) sehingga kami memperkecil cakupan di tiga provinsi itu,” ucap Chatarina.
Celah korupsi
Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian menegaskan, cerah korupsi selalu ada karena setiap orang cenderung memiliki perilaku korup, apalagi ditambah sistem buruk. Untuk itu, salah satu solusinya, menurut dia, perlu diusahakan agar kepala sekolah bukan jabatan politis. Artinya, mereka bukan orang titipan dari kepala daerah yang baru memenangi kontestasi pilkada.
”Kerap kali, kan, kepala sekolah jadi tim sukses dan dijadikan alat untuk mengembalikan dana kampanye. Jadi, kita harus buat sedemikan rupa, kepemimpinan di sekolah juga harus berubah,” kata Hetifah.
Selain itu, lanjut Hetifah, penting juga transparansi data pokok pendidikan berbasis teknologi. Data yang valid ini penting agar tidak ada lagi laporan-laporan anggaran atau pembangunan sekolah yang fiktif.