Remisi Koruptor Tak Ketat Lagi, Apa Kabar Pemberantasan Korupsi?
Setelah UU KPK direvisi, 57 pegawai KPK diberhentikan, giliran PP No 99/2012 yang menjadi payung hukum pengetatan pemberian remisi bagi koruptor dibatalkan Mahkamah Agung.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar diskusi daring bertajuk ”Pembatalan PP No 99/2012 Karpet Merah Remisi Koruptor” yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch secara daring, Selasa (2/11/2021). Hadir sebagai narasumber lainnya adalah pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; peneliti Bung Hatta AntiCorruption Award, Korneles Materay; dan peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman.
Setelah revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi secara kilat diketok Dewan Perwakilan Rakyat, kini giliran palu Mahkamah Agung yang bergema. MA membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Narapidana yang menjadi payung hukum pengetatan pemberian remisi bagi terpidana korupsi, terorisme, dan narkoba. Tak ayal, kenyataan itu menimbulkan pertanyaan, apakah rentetan keputusan itu merupakan sebuah kebetulan?
Sedikit ke belakang, pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar pada 2018 diikuti banyaknya pengurangan hukuman bagi narapidana koruptor melalui peninjauan kembali (PK). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2020 terdapat 14 terpidana kasus korupsi yang mendapat pengurangan hukuman.
Masih segar di ingatan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 berujung pada pemecatan 57 pegawai lembaga antirasuah. Sesuai amanat UU KPK baru (UU Nomor 19 Tahun 2019), status pegawai KPK dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Namun, 57 pegawai KPK tak diangkat jadi ASN dengan alasan tak lolos tes wawasan kebangsaan.
Dalam konteks korupsi itu korbannya bukan koruptor, melainkan rakyat yang kehilangan hak, semisal untuk mendapatkan fasilitas umum yang baik atau pelayanan kesehatan yang maksimal dari negara.
Kini, PP No 99/ 2012 yang memperberat syarat remisi bagi koruptor malah dibatalkan. Banyak kalangan menilai, putusan itu sama saja dengan memberikan karpet merah bagi koruptor untuk memperoleh remisi.
Penilaian itu salah satunya datang dari Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014, Denny Indrayana. Denny menegaskan, pembatalan PP No 99/2012 tersebut merupakan tahap pamungkas dalam kerangka pelemahan pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi pun dinilai telah berjalan mundur menuju rezim yang prokoruptor.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah (kanan) keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korups, Jakarta, seusai mengikuti persidangan secara daring, Rabu (27/10/2021). Persidangan dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi oleh Nurdin Abdullah digelar di Pengadilan Tipikor Makassar. Agenda persidangan kali ini untuk mendengarkan saksi yang meringankan terdakwa.
”Jadi kita sekarang mempunyai pendekatan pemberantasan korupsi sebagai cara yang biasa-biasa saja. KPK dilumpuhkan, PP No 99/2012 dibatalkan, sebentar lagi remisi akan diobral bagi para koruptor,” kata Denny dalam diskusi daring bertajuk ”Pembatalan PP No 99/2012 Karpet Merah Remisi Koruptor” yang diselenggarakan ICW secara daring, Selasa (2/11/2021).
Denny menuturkan, PP No 99/2012 lahir karena ada perintah langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kala itu, Denny menyampaikan sikap kritis masyarakat terhadap pemberian remisi kepada salah satu narapidana yang disebut sebagai obral remisi. Yudhoyono kemudian memerintahkan untuk menghilangkan obral remisi termasuk kepada napi korupsi.
Menurut Denny, sebenarnya sebelum PP No 99/2012 aturan pemberian remisi sudah tergolong ketat. Pengetatan pemberian remisi sebenarnya sudah pernah diatur dalam PP No 28/2006. Kemudian PP No 99/2012 memperketat lagi syarat pemberian remisi.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014, Denny Indrayana.
Pendiri Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM itu melihat pertimbangan pokok MA dalam putusan 28 P/HUM/2021 seluruhnya mengutip pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi 41/PUU-XIX/2021. Secara ringkas, MA dinilai telah menggunakan konsep keadilan restoratif secara keliru. Demikian pula pertimbangan bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan yang over kapasitas tidak bisa jadi alasan. Sebab, dari total 270.427 napi, hanya ada 4.431 atau 0,0164 persen napi korupsi.
Dijelaskan pula bahwa PP No 99/2021 bukan bertujuan menghilangkan hak napi, melainkan pengetatan pemberian remisi sehingga tak bisa dikatakan diskriminatif. Sebab, pemberian remisi itu terkait hak hukum seseorang yang memang bisa dibatasi. Demikian pula syarat remisi tersebut merupakan bentuk pembedaan berdasarkan jenis kejahatan.
”Jadi, tidak bisa mengatakan ini melanggar hak asasi manusia. Jelas itu argumentasi yang manipulatif. Hak napi bukan hak asasi manusia. Hak napi tidak melekat dalam setiap eksistensi manusia,” ujar Denny.
Terkait dengan PP No 99/2021 yang dikatakan tidak sejalan dengan model pemidanaan keadilan restoratif, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera Bivitri Susanti, menyampaikan bahwa pandangan itu salah kaprah. Pendekatan keadilan restoratif bukan sekadar memberikan solusi sama-sama menang seperti mediasi, bukan pula sekadar sebagai cara agar orang yang dihukum penjara berkurang.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera Bivitri Susanti.
Sebaliknya, keadilan restoratif menitikberatkan pada korban. Oleh karena itu, ketika MA menyatakan PP No 99/2021 tidak sejalan dengan keadilan restoratif, maka hal itu merupakan kesalahan yang sangat mendasar karena merupakan kesalahan konseptual dalam memahami keadilan restoratif.
”Dalam konteks korupsi itu korbannya bukan koruptor, melainkan rakyat yang kehilangan hak, semisal untuk mendapatkan fasilitas umum yang baik atau pelayanan kesehatan yang maksimal dari negara,” tuturnya.
Demikian pula argumentasi bahwa PP No 99/2021 dipandang diskriminatif karena membedakan perlakuan bagi para terpidana dinilai tak mendasar. Menurut Bivitri, dalam konteks ini, yang dibicarakan adalah korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang berbeda dari kejahatan umum. Maka, konsep diskriminasi tidak terjadi karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berbeda.
Argumentasi bahwa kondisi lapas yang over kapasitas juga dipandang tak tepat. Sebab, hampir 50 persen napi di Indonesia adalah napi narkotika. Pengurangan napi di lapas semestinya dilakukan dengan reformasi di bidang hukum yang terkait narkotika.
Kompas/Hendra A Setyawan
Polemik di internal Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pemecatan 75 pegawai KPK menimbulkan reaksi di masyarakat yang diekspresikan melalui coretan di dinding, seperti terlihat di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (13/10/2021). Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang biasanya menempati posisi dua besar kini turun ke posisi keempat dengan perolehan 65 persen, di bawah TNI, Presiden, dan Polri.
”Ada dua hal yang masih bisa dilakukan. Pertama kita masih bisa membuat peraturan pemerintah lagi meski saya pesimis sekali dengan pemerintahan sekarang. Di level undang-undang, yakni RUU pemasyarakatan tidak terikat oleh putusan MA, bukan putusan MK. Maka, di RUU Pemasyarakatan kita harus kuatkan dan abaikan pertimbangan dari MA,” ujarnya.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menambahkan, PP No 99/2012 telah diuji beberapa kali. Setidaknya pada 2013 dan 2015, dalam putusannya, MA menyatakan, korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda. Hal ini bertentangan dengan putusan MA pada 2021 yang menyatakan bahwa perlakuan berbeda bagi terpidana korupsi untuk mendapat remisi merupakan diskriminasi.
Padahal, menurut Zaenur, saat ini vonis pidana bagi koruptor di Indonesia terhitung rendah, yakni hanya 3,5 tahun di tingkat pengadilan tinggi. Belum lagi dari sisi pemulihan aset, angkanya tidak sampai 10 persen dari harta hasil kejahatan yang telah dilakukan.
”Kalau pidana badan sudah rendah, lalu perampasan aset tidak berhasil, dan masih diikuti dengan kemungkinan mereka mendapatkan diskon, maka bisa dibayangkan, barangkali mereka menjalani pidana tidak sampai tiga perempat dari vonis yang dijatuhkan majelis hakim,” katanya.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman.
Menurut Zaenur, syarat bahwa terpidana korupsi harus menjadi saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dan sudah harus membayar uang pengganti dan denda untuk dapat menerima remisi dipandang logis. Dengan demikian, pelaku lain yang terlibat dapat diungkap dan kerugian negara dapat diminimalisasi.
Terkait dengan pendapat MA bahwa remisi merupakan kewenangan sepenuhnya dari lembaga pemasyarakatan, hal itu juga dinilai tidak tepat. Sebab, dalam pertimbangan MA dan MK dinyatakan, remisi dapat diberikan sebagai apresiasi tambahan kepada pelaku yang bekerja sama. Itu berarti masih dimungkinkan adanya intervensi dari pihak luar.
”Memang MA ini pasca-pensiunnya Hakim Agung Artidjo makin ramah terhadap soal-soal seperti ini. Sudah sangat banyak PK para terpidana korupsi yang dikabulkan. Saya tidak tahu ada gejala apa, sepertinya lembaga-lembaga penegak hukum baik KPK, MA, kejaksaan, kepolisian, ada banyak masalah dalam keberpihakannya dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya Zaenur.
Setali tiga uang, peneliti Bung Hatta AntiCorruption Award, Korneles Materay, berpandangan bahwa dengan putusan MA tersebut, maka tidak ada lagi efek gentar bagi koruptor dalam sistem pidana di Indonesia. Mereka bisa jadi akan memperhitungkan bahwa melakukan korupsi akan tetap lebih untung dibandingkan biaya yang dikeluarkan.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar peneliti Bung Hatta AntiCorruption Award, Korneles Materay.
”Putusan MA ini berkah luar biasa bagi koruptor. Bahkan tidak hanya bagi terpidana korupsi, tetapi juga berimplikasi pada merekayang sedang menyusun rencana untuk menggarong uang rakyat,” kata Korneles.
Implikasi berikutnya, lanjut Korneles, akan sulit bagi generasi berikutnya untuk mau memberantas korupsi. Sebab, instrumen yang digunakan untuk memberantas justru telah dibuka bagi koruptor.
Hal itu dinilainya sebagai hasil dari desain pelemahan yang menyeluruh dari koruptor, mulai dari jalur peraturan, jalur hukum, juga melalui jalur di luar hukum, termasuk dengan menyerang para aktivis antikorupsi. Dalam situasi seperti ini, tidak berlebihan jika pemberantasan korupsi dikatakan berada di titik nadir, sementara karpet merah dibentangkan bagi koruptor.