Selain Satgas 53, Pengawas Eksternal Kejaksaan Perlu Diperkuat
Meski memiliki prestasi cukup baik, kerja Kejaksaan dinilai tetap perlu diawasi. Sebab, jaksa yang tersangkut korupsi sebagai bagian dari mafia peradilan, seperti kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari, juga masih ada.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih adanya dugaan penyelewengan wewenang oleh oknum di kejaksaan perlu ditindaklanjuti dengan memperkuat mekanisme pengawasan internal, termasuk oleh Satuan Tugas 53. Namun, lembaga pengawas eksternal kejaksaan, yakni Komisi Kejaksaan, juga perlu diperkuat, baik untuk landasan hukum maupun fungsinya.
Beberapa hari yang lalu, terdapat dugaan permintaan uang sebesar Rp 30 juta dari seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung untuk meringankan hukuman seseorang. Perkara tersebut mencuat ketika seorang jurnalis media daring melakukan konfirmasi terhadap jaksa tersebut, yang didapatkan justru intimidasi atau ancaman.
Terhadap perkara intimidasi tersebut, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, telah dilakukan pertemuan dan disepakati bahwa hal itu adalah kesalahpahaman. Sementara terkait dengan dugaan permintaan uang tersebut, lanjut Leonard, Jaksa Agung Muda Pengawasan telah memerintahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung untuk melakukan klarifikasi atas dugaan permintaan ataupun penerimaan uang dengan memanggil pihak-pihak terkait.
Pada pertengahan Oktober lalu, di Kejaksaan Negeri Mojokerto, terdapat laporan pengaduan masyarakat tentang adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat kejaksaan di sana. Dalam keterangan tertulis, Tim Satuan Tugas 53 (Satgas 53) Kejagung telah mengamankan oknum pejabat struktural tersebut untuk kemudian diperiksa bidang pengawasan Kejagung. Namun, ketika ditanya mengenai perkembangan pemeriksaan terhadap oknum pejabat tersebut, Rabu (27/10/2021), Leonard tidak menjawab pertanyaan Kompas.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, di satu sisi, kejaksaan saat ini memiliki prestasi yang cukup baik dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat perkara korupsi. Namun, jaksa yang tersangkut kasus korupsi sebagai bagian dari mafia peradilan, seperti kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari, juga masih ada.
Terkait kerja kejaksaan, dalam sistem peradilan pidana, kemungkinan penyelewengan ada pada proses penuntutan dan eksekusi, termasuk eksekusi terhadap barang sitaan. Sebab, di situ terbuka ruang untuk terjadi tawar-menawar.
”Salah satu budaya buruk dalam sistem peradilan di Indonesia berupa adanya praktik mafia peradilan yang menyangkut hakim, advokat, juga jaksa. Kultur tersebut tidak mudah diubah begitu saja karena sudah bertahun-tahun seperti itu. Dan mafia peradilan, itu tampak jelas pada kasus yang menyangkut Pinangki,” kata Zaenur.
Kejaksaan saat ini memiliki prestasi yang cukup baik dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat perkara korupsi. Namun, jaksa yang tersangkut kasus korupsi sebagai bagian dari mafia peradilan, seperti kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari, juga masih ada.
Bercermin pada hasil Survei Nasional Kompas pada Oktober 2021 pun menunjukkan penurunan apresiasi publik terhadap kinerja bidang hukum. Dalam survei terbaru, apresiasi masyarakat terhadap kerja-kerja pemerintah di bidang hukum turun di angka 60,6 persen dari survei sebelumnya (April 2021) setinggi 65,6 persen. Pada aspek yang bersifat laten, pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum menjadi hal yang dinilai publik paling lemah kinerjanya.
Menurut Zaenur, dari sisi struktur, kejaksaan dipandang tidak memiliki struktur yang dapat melakukan perimbangan kewenangan secara efektif sehingga pengawasannya lemah. Secara internal, kejaksaan hanya bertumpu pada bidang pengawasan. Dari sisi eksternal, terdapat Komisi Kejaksaan yang terbatas kewenangannya karena dibentuk hanya berdasarkan peraturan presiden.
Upaya internal kejaksaan dengan membentuk Satgas 53 patut diapresiasi karena dapat meningkatkan pengawasan dari sisi internal. Namun, tim semacam itu hanya bersifat temporer. Sementara, whistle blowing system di dalam kejaksaan juga belum bisa dipastikan berjalan efektif.
Secara internal, kejaksaan hanya bertumpu pada bidang pengawasan. Dari sisi eksternal, terdapat Komisi Kejaksaan yang terbatas kewenangannya karena dibentuk hanya berdasarkan peraturan presiden.
Oleh karena itu, lanjut Zaenur, selain upaya pengawasan oleh internal, yang semestinya dilakukan adalah memperkuat fungsi dan kedudukan Komjak dengan mendasarkannya bukan pada perpres, melainkan undang-undang. Kedudukan dan fungsi Komjak juga dapat dimasukkan dalam revisi UU Kejaksaan yang kini tengah digodok.
Secara terpisah, Ketua Komjak Barita Simanjuntak mengatakan, Satgas 53 dibentuk untuk menindaklanjuti harapan Presiden saat Rapat Kerja Nasional Kejaksaan 2020 yang mengatakan bahwa kejaksaan adalah wajah penegakan hukum di Indonesia. Satgas 53 memiliki beberapa fungsi, yakni fungsi intelijen untuk deteksi dini, fungsi keterbukaan terhadap laporan masyarakat, serta fungsi pengawasan untuk menindak.
"Satgas 53 ini bisa menjadi whistle blowing system meski masih harus disempurnakan sistemnya sehingga jaksa yang melaporkan perbuatan tercela atau penyelewengan itu tidak khawatir akan terjadi sesuatu pada dirinya. Kami juga sudah membicarakan bahwa meski sistem ini internal, namun Komjak bisa masuk," kata Barita.
Menurut Barita, pengaduan masyarakat yang masuk ke Komjak memang dapat dijadikan rujukan untuk melakukan evaluasi terhadap kejaksaan. Namun, baik buruknya kinerja kejaksaan tidak bisa didasarkan dari jumlah pengaduan yang masuk. Sebab, dari pengaduan itu masih harus dilihat apakah isi pengaduan terkait kewenangan jaksa yang berdampak sistemik atau tidak. Di sisi lain, pengaduan masyarakat ke Komjak saat ini cenderung turun karena salah satunya disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Namun, Barita memastikan bahwa saat ini bidang pengawasan di internal kejaksaan sangat responsif terhadap pengaduan masyarakat yang disampaikan melalui Komjak. Pengaduan tersebut tidak hanya sekadar dijawab, tetapi juga diteliti. Demikian pula pembentukan Satgas 53 dinilai merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki internal kejaksaan.