Kejar Suara Anak Muda, Parpol Perlu Sasar Isu dan Kebutuhan Mereka
Hasil survei terbaru ”Kompas” menunjukkan porsi responden dari generasi Z (di bawah 24 tahun) yang belum menentukan pilihan pada parpol masih 48,1 persen, tertinggi dibandingkan dengan generasi Y, X, dan ”baby boomers”.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik harus terus mengelola dan menggeluti isu-isu anak muda dan tantangan yang mereka hadapi hari-hari ini. Dengan demikian, partai politik memiliki kesadaran penuh terhadap kebutuhan anak muda, tidak hanya saat mendekati pemilu, tetapi juga terlibat dengan kepentingan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Dari hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2021, angka pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) mencapai 40,8 persen. Selain itu, ada kecenderungan anak-anak muda ternyata lebih memilih partai-partai politik mapan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hasil survei menunjukkan, porsi responden dari generasi Z (di bawah 24 tahun) yang belum menentukan pilihan pada partai politik masih 48,1 persen, tertinggi dibandingkan dengan generasi Y (24-39 tahun), X (40-55), dan baby boomers (56-74).
Padahal, porsi pemilih generasi Y dan Z cukup besar. Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan pemilih berusia maksimal 30 tahun saja 60,3 juta jiwa atau 31,7 persen dari total pemilih tetap Pemilu 2019 (Kompas, 22/10/2021).
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, ada kondisi baru yang mesti dicermati oleh parpol dalam mengenali kebutuhan anak-anak muda. Pertama, mereka lebih sadar (aware) dengan kebutuhan diri mereka sendiri, masa depan mereka, dan bagaimana hal itu sepenuhnya mesti dicapai.
”Kebutuhan diri sendiri dan masa depan itu meliputi identitas, pekerjaan dan kepastian masa depan, hingga hal-hal yang sehari-hari mereka hadapi, seperti sambungan internet, perkembangan teknologi informasi, dan media sosial,” ucapnya, Jumat (22/10/2021).
Menurut Aditya, anak-anak muda memiliki isu-isu yang spesifik dan khas mereka. Dalam hal penyediaan internet dan perlindungan data pribadi, misalnya, anak-anak muda menaruh perhatian besar. Sebab, masa depan menjadikan internet sebagai infrastruktur baru peradaban. Hal ini berkaitan erat dengan kepentingan anak-anak muda untuk memastikan masa depan mereka.
”Isu-isu ini harus dikemas oleh parpol dan bagaimana pandangan parpol itu dinarasikan kepada anak-anak muda sehingga mereka menangkap visi-misi parpol dalam melihat masa depan,” katanya.
Mengenai kepastian masa depan, ini akan berkait dengan pekerjaan. Karena itu, menurut Aditya, harus pula dilihat karakteristik anak muda yang tidak semuanya ingin menjadi pekerja kantoran. Mereka juga tidak semuanya menginginkan pekerjaan penuh waktu. Oleh karena itu, parpol juga sebaiknya memilah-milah segmentasi anak muda dan mendekati mereka sesuai dengan persoalan yang mereka geluti sehari-hari.
Pilihan parpol untuk masuk melalui budaya, menurut Aditya, juga patut dicoba. Budaya K-Pop dari Korea Selatan, misalnya, menjadi fenomena kekinian di tengah anak muda. Bagaimana, misalnya, upaya untuk merangkul anak-anak muda ini menggunakan instrumen yang senada atau setidaknya mengadopsi kecenderungan pola perilaku anak-anak muda ini dalam merespons K-Pop yang mereka gemari.
”Budaya memang lebih mudah dicerna, dan ini juga bisa menjadi sarana menarasikan ide-ide dan visi-misi parpol. Namun, tentu ini memerlukan kreativitas parpol dan pemahaman mereka terhadap karakter anak-anak muda,” kata Aditya.
Wacana-wacana besar yang kental dengan ideologi, lanjut Aditya, tidak bisa serta-merta ditanamkan ke dalam benak anak-anak muda. Selain tidak terkait langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari, isu itu juga merupakan isu berat. Narasi mengenai isu-isu tersebut harus dilakukan dalam praktik-praktik terapan sehingga anak-anak muda lebih dapat menerimanya.
Tidak sekadar elektoral
Kekhasan anak-anak muda, terutama generasi Y dan Z, disadari oleh parpol-parpol. Kondisi ini juga berusaha didekati dengan strategi dan cara-cara politik yang berbeda.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, partainya tidak sekadar menganggap anak muda sebagai obyek atau sasaran raihan suara dalam pemilu. Lebih dari sekadar meraih keuntungan elektoral, partainya ingin anak-anak muda itu terlibat dalam kehidupan dan organisasi kepartaian.
”Kami ingin anak-anak muda itu terlibat langsung, tidak hanya menjadi obyek raihan suara, tetapi bagaimana mereka masuk dalam organisasi dan mau berproses dalam pendidikan politik kepartaian. Artinya, pelibatan langsung mereka itu penting,” kata Arif.
PDI-P, misalnya, membentuk berbagai komunitas juang di tengah masyarakat yang sifatnya tematik, seperti di bidang penanggulangan bencana, pengelolaan lingkungan hidup, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Komunitas juang itu, lanjut Arif, sebagian besar digerakkan oleh anak-anak muda. Komunitas juang itu berafiliasi langsung ataupun tidak langsung dengan partai. Dengan demikian, anak-anak muda itu sekaligus turut terlibat dalam peran-peran nyata kepartaian di lapangan.
Selain itu, dari sisi organisasi, semua pengurus anak ranting dan ranting hingga cabang PDI-P, sekitar 80 persen diklaim telah diisi oleh anak muda yang usianya di bawah 35 tahun. Pelibatan langsung anak-anak muda ini, baik melalui organisasi maupun komunitas-komunitas di masyarakat, diharapkan juga sebagai sarana pendidikan politik. ”Bagi kami, bukan semata kepentingan elektoral, tetapi bagaimana menyiapkan anak-anak muda generasi bangsa ini selanjutnya,” kata anggota Komisi II DPR itu.
Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha mengatakan, anak-anak muda tidak hanya memiliki isu-isu yang khas, tetapi juga lebih kritis dan menguasai banyak informasi. Anak-anak muda tidak terlalu tertarik dengan janji-janji yang tanpa kepastian, dan mereka bertindak dengan cepat.
”Kekhususan karakter anak muda ini memang kami pahami dan pendekatan-pendekatan lama sudah tidak bisa digunakan. PPP dulu, misalnya, sering melakukan kampanye akbar di lapangan, mengundang banyak orang. Sekarang, hal-hal semacam itu tidak bisa lagi dilakukan, karena mereka tidak akan tertarik. Hal itu diubah melalui medsos,” ujarnya.
Bagi PPP, ikon-ikon anak muda juga lebih ditonjolkan, termasuk dengan lambang dan logo PPP yang dibuat lebih segar, sehingga lebih sesuai dengan generasi lebih muda. ”Kami harus berubah, karena kalau tidak berubah, ini akan menjadi kerugian bagi PPP di masa depan,” ujarnya.
Adapun di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Wakil Sekjen PKB Syaiful Huda mengklaim anak-anak muda disambut baik. Mereka juga banyak diberdayakan dalam kepengurusan partai, termasuk di jajaran dewan pengurus wilayah (DPW) PKB yang ada di Tanah Air. ”Di DPW PKB Jawa Barat, misalnya, semua pengurus anak cabang dan cabang usianya di bawah 35 tahun. Bahkan, untuk posisi sekretaris paling tinggi 30 tahun,” ujarnya.