Selama 2016 hingga September 2021, PPATK membuat 2.606 laporan hasil analisis dan 240 laporan hasil pemeriksaan, tetapi hanya 30 persen yang ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Petugas kepolisian mengawal ketat pemindahan uang Rp 52,3 miliar hasil sitaan dari sebuah bank dalam kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta menuju gudang penyimpanan, Senin (15/3/2021). Uang tersebut diduga berasal dari eksportir yang mendapat izin ekspor benur di KKP Tahun Anggaran 2020. Uang tersebut selanjutnya disimpan di gudang penyimpaan barang sitaan KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan serta laporan hasil analisis yang diberikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan kepada aparat penegak hukum masih rendah. Oleh sebab itu, Dewan Perwakilan Rakyat meminta PPATK memperkuat kerja sama dengan seluruh instansi penegak hukum guna meningkatkan hasil analisis dan pemeriksaan agar temuan dalam LHP dan LHA lebih efektif.
Kepala Pusat PPATK Dian Ediana Rae saat Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR, Rabu (29/9/2021), mengatakan, PPATK mendukung pengungkapan perkara dan penegakan hukum. Oleh sebab itu, pihaknya selalu membuat hasil analisis dan hasil pemeriksaan terhadap transaksi-transaksi mencurigakan yang berpotensi menyebabkan kerugian negara.
Selama kurun waktu 2016 hingga September 2021, PPATK membuat 2.606 laporan hasil analisis (LHA) dan 240 laporan hasil pemeriksaan (LHP). LHA dan LHP itu diserahkan kepada aparat penegak hukum, tetapi tidak semuanya ditindaklanjuti. Oleh sebab itu, pihaknya terus melakukan koordinasi dan meminta aparat penegak hukum bisa menindaklanjuti semua laporan dari PPATK.
”Persentase (tindak lanjut laporan) masih di bawah 30 persen, dengan berbagai alasan, terkait dengan masalah anggaran dan kapasitas,” katanya.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae
Dian mendorong, setiap tindak pidana terkait ekonomi mesti dijerat dengan tindak pidana pencucian uang. Sebab keduanya mesti dilakukan secara paralel agar dapat mengungkap seluruh hasil kejahatan yang dilakukan seseorang.
Oleh sebab itu, PPATK meminta agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Uang Kartal bisa masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2022. Kedua RUU ini dinilai sangat mendesak, terutama dalam mengatasi permasalahan ekonomi dan hukum di Indonesia.
”Kedua RUU ini dapat menjadi landasan hukum ampuh dalam menekan kerugian negara dari permasalahan ekonomi bayangan,” ujar Dian.
PPATK meminta agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Uang Kartal bisa masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2022. Kedua RUU ini dinilai sangat mendesak, terutama dalam mengatasi permasalahan ekonomi dan hukum di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, besarnya aktivitas ekonomi bayangan diperkirakan 8,3 persen hingga 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika PDB Indonesia pada triwulan II-2021 mencapai Rp 4.175 triliun, potensi ekonomi bayangan mencapai Rp 417,5 triliun. Besarnya ekonomi bayangan itu bisa mengakibatkan perekonomian Indonesia tumbuh di bawah potensi riil.
”Kami cenderung menggunakan perkiraan dari lembaga internasional yang menghitung potensi ekonomi bayangan mencapai 30 persen hingga 40 persen dari PDB,” tutur Dian.
Tim Satgas Hak Tagih Piutang Negara BLBI menyita aset tanah di kawasan perumahan Karawaci, Tangerang, Jumat (27/8/2021).
Selain mengatasi masalah ekonomi bayangan, lanjutnya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana juga bisa menyelamatkan aset-aset dalam berbagai kasus hukum, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan kasus-kasus serupa yang penanganannya memerlukan waktu yang cukup lama.
”Kami berharap dengan ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi bayangan yang bersifat sistemik melalui perampasan aset dengan pendekatan yang lebih berfokus pada pembuktian aset daripada pembuktian kesalahan pelaku kejahatan,” ucap Dian.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari meminta agar PPATK memiliki solusi jangka pendek agar kerja-kerja PPATK dalam pengembalian uang negara optimal. Sebab jika menanti pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Uang Kartal masih membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh mengatakan, Komisi III DPR meminta PPATK memperkuat kerja sama dengan seluruh institusi penegak hukum guna meningkatkan pemanfaatan hasil analisis dan pemeriksaan PPATK. Ini perlu dilakukan agar upaya penegakan hukum dan pemulihan aset negara lebih efektif.
Komisi III DPR juga meminta detail matriks LHP dan LHA yang sedang dan belum ditindaklanjuti oleh institusi penegak hukum agar menjadi bahan pengawasan.
Selain itu, Komisi III DPR juga meminta detail matriks LHP dan LHA yang sedang dan belum ditindaklanjuti oleh institusi penegak hukum agar menjadi bahan pengawasan. ”Komisi III DPR mendesak PPATK untuk memperkuat kerja sama dengan seluruh panitia seleksi calon pimpinan lembaga atau pejabat publik dalam menindaklanjuti informasi yang disampaikan oleh PPATK,” ujar Pangeran.