Salah satu pilar demokrasi adalah bagaimana memastikan institusi penegak hukum bekerja lebih adil, tidak diskriminatif, dan melindungi warga negaranya. Perlu komitmen yang serius untuk menjalankannya.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas demokrasi terkait aspek keadilan dan ketegasan hukum masih dianggap buruk oleh sebagian besar masyarakat. Untuk mengatasi hal itu, komitmen dan praktik untuk menegakkan hukum baik guna menjalankan mandat konstitusi maupun perlindungan HAM harus diimplementasikan secara serius.
Litbang Kompas melakukan jajak pendapat melibatkan 522 responden pada 18-20 Agustus 2021 untuk mengetahui penilaian publik terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Responden diambil dari 34 provinsi di Indonesia dengan metode wawancara melalui sambungan telepon. Sampel ditentukan secara acak dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasilnya, 47,6 persen responden menilai demokrasi Indonesia membaik. Namun, 46,4 persen atau selisih 1,2 persen di antaranya menilai sebaliknya. Responden menilai, kualitas demokrasi yang berhubungan dengan aspek keadilan dan ketegasan hukum masih buruk. Sebanyak 51,8 persen responden menilai buruk hal tersebut. Adapun, 43,7 persen responden menganggap kinerja penegakan hukum sudah baik atau sangat baik.
Pengajar hukum Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang P Wiratraman, Senin (13/9/2021), mengatakan, persepsi publik tersebut bisa berkaitan dengan berbagai fenomena kunci yang terjadi belakangan ini. Pertama, melemahnya komitmen pemberantasan korupsi dan munculnya ketidakpercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Publik menilai ada kemunduran penegakan hukum dari lembaga negara.
Selain itu, katanya, juga masih langgengnya impunitas para pelaku yang menyasar pembela HAM hingga penyidik terbaik KPK. Auktor intelektualis pembunuhan aktivis Munir Said Thalib, misalnya, sampai sekarang belum diproses hukum. Adapun, pengungkapan penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan juga tidak tuntas hingga ke aktor utamanya.
”Salah satu pilar demokrasi itu adalah bagaimana memastikan institusi penegak hukum bekerja lebih adil, tidak diskriminatif, dan melindungi warga negaranya. Sementara itu, publik dihadapkan pada situasi yang bertolak belakang, dengan kebebasan sipil yang juga memburuk,” papar Herlambang.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat dihubungi, Senin (13/9/2021), mengatakan, penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum khususnya memang masih diskriminatif. Di sejumlah wilayah, seperti Kinipan, Kalimantan Tengah, ketika ada konflik antara pengusaha dan masyarakat adat, penegakan hukum dirasa sangat diskriminatif. Para pembela wilayah adat justru merasa dikriminalisasi karena mempertahankan hak tanah adat mereka.
”Padahal, orang-orang ini sedang mempertahankan hak mereka atas tanah, atas lingkungan yang bersih dari perusakan. Laporan mereka juga kerap ditunda pemrosesannya hingga berlarut-larut,” kata Asfinawati.
Selain itu, menurut Asfinawati, di wilayah perkotaan, penanganan demonstrasi penolakan regulasi bermasalah seperti Undang-Undang Sapu Jagat Cipta Kerja juga dinilai sangat represif. Ada banyak pendemo ditangkap aparat dengan cara-cara berlebihan. Padahal, seharusnya di negara demokrasi, kritik terhadap pemerintahan dilindungi konstitusi. Dalam konteks penegakan hukum, kepolisian menyumbang banyak catatan yang memperburuk kualitas demokrasi.
”Untuk memperbaiki kerja-kerja kepolisian yang lebih manusiawi dan sesuai konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM), harus ada lembaga pengawas eksternal yang bergigi untuk memperingatkan mereka,” kata Asfinawati.
Herlambang juga menyoroti semakin menyempitnya ruang kebebasan sipil masyarakat akhir-akhir ini. Ruang aman yang seharusnya bisa digunakan untuk menyuarakan kebebasan berekspresi dan berpendapat direpresi sedemikian rupa. Ada praktik peretasan, penyadapan, hingga persekusi aktivis.
Seniman yang menyuarakan kritiknya melalui mural juga dilarang. Terakhir, seorang petani jagung yang membentangkan poster saat rombongan Presiden Joko Widodo berkunjung di Blitar, Jawa Timur, juga ditangkap aparat.
”Ini menunjukkan bahwa (penyempitan) ruang kebebasan sipil itu menarget banyak pihak. Semua orang bisa kena, mulai dari akademisi, jurnalis, seniman, hingga petani tidak luput dari pengekangan hak sipil, terutama kebebasan berekspresi dan berpendapat,” terang Herlambang.
Meskipun demikian, harapan masyarakat terhadap perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia juga masih cukup tinggi. Sebanyak 82,6 persen responden yakin kualitas demokrasi Indonesia akan makin baik. Untuk mencapai harapan itu, menurut Herlambang, harus ada pembenahan signifikan dalam praktik berhukum pemerintah.
Komitmen untuk menegakkan hukum, baik untuk menjalankan mandat konstitusi maupun perlindungan HAM, harus diwujudkan. Penghargaan terhadap negara hukum yang demokratis harus dilakukan dengan cara yang lebih baik.
”Presiden harus bisa memastikan bahwa kerja-kerja penegakan hukum dilakukan untuk melayani mandate konstitusi, bukan melayani kuasa oligarki. Sebab, itu dampaknya akan luas pada pembentukan hukum dan kebijakan. Jika tidak ada pembenahan serius, demokrasi bisa menjadi alat untuk melegalkan kesewenang-wenangan,” kata Herlambang.
Komitmen demokrasi
Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, komitmen pemerintah untuk terus berada di jalur demokrasi sangat tinggi. Demokrasi tetap menjadi pilihan terbaik untuk mencapai cita-cita kehidupan berbangsa.
Banyak aspek demokrasi yang harus dirawat bersamaan. Namun, hasilnya terkadang tidak berbanding lurus antaraspek. Penegakan hukum, misalnya, terkadang tak linier dengan kebebasan bereskpresi. Pada titik tersebut, pemerintah dihadapkan pada prioritas pilihan.
”Pemerintah menghargai kebebasan sipil tetapi yang bertanggung jawab, yang menghasilkan diskursus publik yang sehat. Bukan kebebasan sipil yang membuat keruh publik dengan menebar kebencian, hoaks, rasa takut, atau teror,” kata Jaleswari.
Ke depan, demokrasi tetap akan dijaga secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Lembaga demokrasi harus berjalan sesuai fungsinya. Ruang publik juga harus sehat dan partisipasi publik tetap tinggi. Khusus untuk masalah kebebasan sipil di ruang digital, pemerintah juga telah merespons keluhan dan masukan masyarakat.
Presiden melalui Menko Polhukam telah membentuk tim kajian UU ITE. Hasilnya, sejumlah pasal di UU ITE akan direvisi secara terbatas untuk menghilangkan multitafsir dan kriminalisasi.