Tak Ada Lagi Alasan Tidak Melaporkan LHKPN
Dalam konteks pemberantasan korupsi, pelaporan aset dan kekayaan penyelenggara negara sangat krusial. Pelaporan ini untuk melihat apakah ada penerimaan kekayaan yang diperoleh secara tak wajar oleh penyelenggara negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyiapkan berbagai mekanisme yang memudahkan penyelenggara negara untuk menyampaikan laporan hasil kekayaan penyelenggara negara. Semua penyelenggara negara pun seharusnya tidak boleh lagi beralasan untuk tidak menyampaikan laporan kekayaannya secara terbuka. Sebagai penyelenggara negara sudah menjadi konsekuensi mereka untuk hidup bak di dalam akuarium, transparan dan terbuka terhadap pengawasan publik.
Sayangnya keterbukaan itu rupanya baru sebatas jargon. Dalam diskusi daring mengenai laporan hasil kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), Selasa (7/9/2021), Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan ada 239 anggota DPR yang belum menyampaikan LHKPN. Dari kewajiban laporan 569, sebutnya, yang sudah melaporkan ada 330 orang dan 239 orang lainnya belum melaporkan. Artinya, tingkat persentse laporan baru 58 persen.
Kondisi ini tentu memilukan karena sebagai wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat, semestinya anggota DPR mendukung program negara dalam pemberantasan korupsi. Salah satu indikasi dukungan itu ialah dengan mendeklarasikan secara terbuka aset dan kekayaan mereka sebagai pejabat publik. Selama mereka menjabat sebagai penyelenggara negara, transparansi terkait dengan aset dan kekayaan adalah suatu hal mendasar. Di tengah situasi pemberantasan korupsi yang maju-mundur, kepatuhan yang rendah dari wakil rakyat ini membuat miris.
Baca juga : Perlu Sanksi Tegas untuk Tingkatkan Efektivitas LHKPN
Namun, apakah benar sulit melaporkan LHKPN secara tertib? Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, pengisian fomulir laporan itu sejatinya tidak terlalu rumit. Namun, itu akan sangat bergantung pula pada seberapa banyak aset yang dimiliki. ”Sulit atau tidaknya itu tergantung bagaimana kita melihatnya. Asalkan data tentang aset kita itu disiapkan sejak awal, sebelum jatuh tempo 31 Maret, tentu bisa juga diselesaikan tepat waktu,” ucapnya, Kamis (9/9/2021) di Jakarta.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, pengisian fomulir laporan itu sejatinya tidak terlalu rumit. Namun, itu akan sangat bergantung pula pada seberapa banyak aset yang dimiliki.
Taufik mengaku tidak kesulitan mengisi LHKPN setiap tahun. Kerepotan hanya ditemui saat mencatatkan aset tertentu yang diperolehnya selama rentang waktu tertentu atau bertahun-tahun, karena nilainya tidak mudah untuk ditaksir. Soal penilaian ini memang memerlukan waktu, karena ada aset-aset tertentu yang semestinya nilainya bisa terus naik atau justru turun per tahunnya. Namun, hal ini semestinya bisa dilewati sepanjang setiap anggota DPR menyadari batas waktu pengisian LHKPN, yakni 31 Maret, setiap tahun.
”Sepanjang kita sadar ada batas waktu sampai 31 Maret, dan walau agak sulit melakukan appraisal pada aset tertentu, saya pikir itu tetap bisa diisi. Kita semua kan pasti tahu ada batas waktu yang sudah diinformasikan oleh institusi, dan karenanya akan lebih baik jika laporan itu disiapkan sejak awal,” ungkapnya.
Baca juga : 95 Persen Laporan Harta Kekayaan Para Pejabat Tidak Akurat
Mengenai rekannya sesama anggota DPR lainnya yang belum menyampaikan LHKPN, Taufik menyebut itu urusan kesadaran setiap orang selaku pejabat atau penyelenggara negara.
”Ini kan soal transparansi dan akuntabilitas. Kita harus hidup kalau sebagai pejabat itu seperti hidup di dalam akuarium. Jadi orang bisa melihat aktivitas kita, penghasilan dan kekayaan kita, baik itu pertambahan atau penguranganya. Itu sudah menjadi konsekuensi dari orang yang memegang amanah sebagai penyelenggara negara. Jadi harus kembali kepada kesadaran kita untuk memulai peran sebagai penyelenggara negara yang akuntabel dan transparan,” katanya.
Setengah bergurau ia menyebutkan, bagi anggota DPR yang asetnya banyak memang akan lebih rumit dalam mengisi laporan itu. Tetapi kalau asetnya itu-itu saja, kemungkinan akan lebih mudah bagi mereka.
Soal kepatuhan anggotanya menyampaikan LHKPN, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pimpinan telah mengingatkan anggota dan fraksi-fraksi. ”Kita akan meminta kepada ketua-ketua fraksi untuk menampaikan kepada para anggotanya untuk segera memasukkan LHKPN,” ucap anggota Fraksi Gerindra itu, Senin.
Baca juga : KPK Diminta Lebih Progresif Ingatkan Kewajiban Pejabat Laporkan Harta Kekayaan
Ia menyebut anggota DPR yang belum menyampaikan LHKPN terkendala masa kerja mereka karena pandemi. Pasalnya, sejumlah tenaga ahli dan staf DPR yang biasanya membantu anggota DPR untuk mengisi LHKPN banyak yang bekerja dari rumah (WFH). ”Masalah teknis, karena sebelumnya bagus itu,” katanya.
Namun, tidak semua penyelenggara negara terkendala pandemi. Buktinya, mantan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi mengungkapkan, dirinya patuh melaporkan LHKPN hingga 13 kali agar menjadi contoh yang baik kepada seluruh pejabat pemerintah.
Tidak semua penyelenggara negara terkendala pandemi. Buktinya, mantan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi mengungkapkan, dirinya patuh melaporkan LHKPN hingga 13 kali agar menjadi contoh yang baik kepada seluruh pejabat pemerintah.
Dari penelusuran data LHKPN KPK, Rizal mulai melaporkan harta kekayaannya pada 10 Juli 2006 saat menjabat Wakil Wali Kota Balikpapan periode 2006-2011. Sejak saat itu, hampir setiap tahun Rizal membuat LHKPN. Rizal terakhir kali menyampaikan LHKPN pada 31 Desember 2020 saat menjabat Wali Kota Balikpapan untuk jenis laporan akhir menjabat.
”Ini melatih kejujuran, disiplin, dan membuat kita hati-hati dalam pengelolaan dan kepemilikan aset karena selalu dimonitoring,” kata Rizal saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (8/9/2021).
Ia mengungkapkan, penyampaian LHKPN harus dilakukan dengan jujur agar kemudian hari tidak menjadi persoalan. Lebih baik sejak awal diperbaiki, jika ada kekurangan. Apalagi, LHKPN harus sama dengan laporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Jika tidak, di kemudian hari bisa terjadi persoalan hukum, pajak, dan sebagainya yang justru tambah rumit.
Baca juga : Kepala Daerah yang Tak Jera
Rizal pun selalu meminta rekan-rekannya untuk membenahi LHKPN-nya sejak awal. Dengan cara itu, ke depan akan menjadi tenang ketika mencalonkan DPR, kepala daerah, atau pejabat publik lainnnya. Hal serupa juga diterapkan Rizal dalam melaporkan pajak.
Ia mengaku selalu mengajak rekan-rekannya untuk tertib dalam menyampaikan LHKPN. Alhasil, tingkat kepatuhan dalam pelaporan LHKPN di lingkungan pemerintah Balikpapan termasuk legislatifnya bisa mencapai 100 persen.
Menurut Rizal, agar kepatuhan dan keakuratan LHKPN secara nasional mencapai 100 persen, KPK perlu membuka ruang untuk konsultasi. Hal tersebut berguna agar tidak ada rasa khawatir dari penyelenggara negara untuk menyampaikan LHKPN. Sebab, ada rekan-rekannya yang masih ketakutan dalam mengisi LHKPN. Mereka kebingungan dalam mengumpulkan dokumen.
Kesulitan yang dikeluhkan dalam pengisian LHKPN di masa pandemi pun sedikit kontradiktif dengan kian terbukanya akses pada internet di saat bekerja dari rumah.
Mekanisme elektronik
Kesulitan yang dikeluhkan dalam pengisian LHKPN di masa pandemi pun sedikit kontradiktif dengan kian terbukanya akses pada internet di saat bekerja dari rumah. Kalaupun staf penyelenggara negara bekerja dari rumah, mereka tetap bisa mengisi formulir LHKPN itu secara daring. KPK juga telah meluncurkan aplikasi pelaporan kekayaan secara daring atau yang dikenal dengan e-LHKPN yang dapat diakses melalui situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Aplikasi tersebut memungkinkan para penyelenggara negara atau wajib lapor untuk melakukan pengisian dan penyampaian laporan kekayaan mereka secara elektronik kapan saja dan dari mana saja.
”Yang perlu diketahui adalah bahwa ada empat proses pada e-LHKPN yang perlu dilakukan oleh wajib lapor untuk dapat mengisi dan menyampaikan LHKPN-nya hingga kemudian dipublikasikan, yaitu E-Registration, E-Filing, E-Verification, dan E-Announcement. Bagi penyelenggara negara yang baru pertama kali menyampaikan LHKPN secara daring harus memiliki akun dan telah diaktivasi terlebih dahulu,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding, Kamis di Jakarta.
Baca juga : Belasan Tersangka Lain Ikut Ditahan Terkait Dugaan Suap Bupati Probolinggo
Pada tahap E-Registration, dilakukan proses pendataan dan pendaftaran oleh pengelola unit LHKPN (UPL) yang terdapat di instansi masing-masing. Pengelola UPL atau admin instansi biasanya melakukan pendataan pada Oktober hingga Desember tahun sebelumnya. Pengelola UPL atau admin instansi itu ditunjuk oleh pimpinan tertinggi berdasarkan surat keputusan (SK).
Selanjutnya, E-Filling, yaitu pengisian dan penyampaian LHKPN yang dilakukan secara daring pada menu e-Filing pada aplikasi e-LHKPN dengan mengikuti petunjuk yang telah disediakan. Penyelenggara negara dapat menggunakan aplikasi e-LHKPN untuk melaporkan LHKPN setelah mendapatkan akun e-Filing.
Tata cara untuk mendapatkan akun e-Filing yang pertama ialah penyelenggara negara mengisi formulir permohonan aktivasi e- Filing LHKPN yang dapat diunduh di aplikasi e-LHKPN dan selanjutnya menyerahkan formulir tersebut dilengkapi dengan fotokopi KTP ke UPL di instansi masing-masing. UPL kemudian melakukan pengecekan ketersediaan data penyelenggara negara di aplikasi e-LHKPN.
Kalaupun belum terdaftar, UPL dapat menambahkan datanya dan membuatkan akun e-Filing. Jika sudah pernah terdaftar tetapi statusnya belum online¸ UPL dapat mengaktivasi akun e-Filing penyelenggara negara tersebut. Selanjutnya, penyelenggara negara akan menerima e-mail aktivasi yang berisi username dan password. Penyelenggara negara harus membuka tautan yang ada di e-mail tersebut untuk mengaktifkan akun. Penyelenggara negara kemudian akan diarahkan ke aplikasi e-LHKPN untuk melakukan login menggunakan username dan password yang tercantum pada e-mail aktivasi dan diminta untuk mengganti password. Setelah melakukan semua proses tersebut, penyelenggara negara dapat melakukan pengisian LHKPN dengan memilih tombol e-Filing.
Setelah penyelenggara negara melakukan proses E-Filling, Tim Verifikasi LHKPN KPK akan melakukan verifikasi dan validasi data harta kekayaan penyelenggara negara. Proses verifikasi meliputi pengecekan data harta dan kelengkapan dokumen pendukung, yaitu berupa surat kuasa sebagaimana lampiran 4 yang wajib ditandatangani di atas materai oleh penyelenggara negara dan keluarga untuk dikirimkan ke KPK.
Tahapan terakhir ialah E-Announcement. LHKPN yang sudah diverifikasi oleh KPK akan diumumkan dan dapat dicek pada menu e-Announcement di situs web www.elhkpn.kpk.go.id.
Ipi mengungkapkan, prosesnya menjadi lebih mudah bagi penyelenggara negara yang telah tercatat sebagai wajib lapor periodik yang wajib melakukan pelaporan kekayaan secara berkala setiap tahunnya paling lambat pada 31 Maret tahun berjalan untuk posisi harta per 31 Desember tahun sebelumnya.
Melalui serangkaian proses elektronik itu, menurut Ipi, waktu yang dibutuhkan relatif singkat mengingat wajib lapor cukup melakukan pengkinian data kekayaannya melalui aplikasi e-LHKPN untuk kurun waktu satu tahun terakhir. Jika tidak ada perubahan, penyelenggara negara cukup mengklik tombol yang mengonfirmasi data sebelumnya.
Lakukan pendampingan
Kendati demikian, KPK juga menyadari sebagian PN yang baru menduduki jabatan publik yang mayoritas berlatar belakang swasta, mungkin memiliki kendala dalam pengisian LHKPN untuk pertama kalinya. Karena itu, KPK juga membuka kesempatan untuk pendampingan ataupun memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis (bimtek) berdasarkan permintaan. Sosialisasi dan bimtek dapat dilakukan kepada penyelenggara negara secara langsung maupun kepada tim pengelola UPL di instansi yang kemudian akan melakukan sosialisasi kepada penyelenggara negara di lingkungan instansinya.
Untuk tahun ini sampai dengan 31 Juli 2021, KPK telah melakukan 135 kegiatan sosialisasi terkait peraturan LHKPN dan bimtek penggunaan aplikasi E-Registration dan E-Filling LHKPN kepada tim UPL maupun kepada penyelenggara negara secara langsung. Kegiatan tersebut berlangsung secara tatap muka maupun daring.
Selain itu, untuk membantu penyelenggara negara memahami setiap prosesnya, KPK menyediakan panduan pengisian LHKPN yang dapat diunduh pada situs www.elhkpn.kpk.go.id. Jika masih mengalami kesulitan, KPK selalu terbuka untuk melakukan konsultasi dan asistensi dengan menghubungi KPK melalui no telepon 198 atau e-mail [email protected].
Selain itu, dengan Peraturan Komisi Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi No 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, penyelenggara negara tidak perlu melampirkan salinan dokumen kepemilikan harta kekayaan pada lembaga keuangan dan cukup satu kali melampirkan surat kuasa.
”Dengan kemudahan-kemudahan tersebut serta asistensi dan bimtek yang diberikan oleh KPK, tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk tidak memenuhi kewajibannya,” kata Ipi.
KPK mengimbau kepada PN baik di eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun BUMN/BUMD yang belum menyampaikan laporan kekayaannya agar segera memenuhi kewajibannya. Sebagai salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi, LHKPN mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran dari para penyelenggara negara. Karena itu, KPK meminta PN untuk menyampaikan LHKPN-nya tidak hanya tepat waktu, tetapi juga secara benar, jujur, dan lengkap. KPK juga mendorong peran aktif masyarakat dalam mengawasi harta kekayaan para pejabat negara dengan memanfaatkan informasi yang tersedia pada situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Minim kesadaran
Dengan segala kemudahan dan pengisian secara elektronik tersebut, alasan kendala teknis karena bekerja dari rumah menjadi kurang relevan bagi penyelenggara negara. Menurut Deputi Program Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, alasan mendasar dari tidak diisinya LHKPN itu ialah rendahnya kesadaran (willingness) penyelenggara negara, utamanya DPR.
”Kalau soal pengisian itu kan tidak rumit. Apalagi KPK sudah ada aplikasi e-LHKPN. Jadi seharusnya mekanisme pelaporannya jauh lebih mudah bagi penyelenggara negara. Kalau tidak diisi juga berarti ini masalah willingness, selain juga karena tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak patuh mengirimkan LHKPN,” ucapnya.
Soal ini pun sangat disayangkan, karena sejak lama keberadaan sanksi itu sudah disuarakan masyarakat sipil sejak lama melalui revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, hingga saat ini isu itu tenggelam, dan peraturan pemerintah (PP) turunan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor yang menyangkut LHKPN ini juga belum ada.
Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi, pelaporan aset dan kekayaan penyelenggara negara ini sangat krusial. Pelaporan ini setidaknya untuk melihat apakah ada penerimaan kekayaan yang diperoleh tidak wajar (illicit enrichment) oleh penyelenggara negara. Dengan tidak patuhnya anggota DPR dan penyelenggara negara lainnya mengisi LHKPN, Wawan mengatakan, patut jika publik bertanya dan menduga-duga alasannya, termasuk jika mencurigai ada perolehan kekayaan yang tidak wajar dan bukan semata-mata alasan teknis pengisian.
”Patut diduga demikian, karena kalau tidak ada hal semacam itu kan sebaiknya dilaporkan saja aset dan kekayaannya. Kedua, selain dugaan illicit enrichment ialah upaya penghindaran pajak. Jangan-jangan kekayaan dan asetnya tidak dilaporkan karena mau menghindari pajak. Modusnya tentu macam-macam,” kata Wawan.
Untuk menghindari kecurigaan publik, sebaiknya penyelenggara negara, termasuk anggota DPR, terbuka saja menyampaikan LHKPN mereka secara tertib dan jujur. Kalau memang bersih, kenapa harus risi.