Perihal Kritik dan Respons Istana terhadap Kritik
Jubir Presiden menyebut dalam tradisi demokrasi, kritik merupakan upaya menciptakan dialog setara dan komunikasi timbal balik di antara aktor-aktor. Lantas apa kata peneliti komunikasi soal komunikasi politik pemerintah?
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F4cd3f1b2-4285-4c26-97b8-93f48c7251fa_jpg.jpg)
Pagar kawat berduri yang dipasang di Jalan Majapahit, Jakarta, Sabtu (24/7/2021). Pengetatan penjagaan dan penutupan akses jalan menuju Istana Merdeka dilakukan polisi terkait rencana aksi para pengemudi ojek daring berdemonstrasi di kawasan tersebut.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi M Fadjroel Rachman pada Senin, awal Agustus 2021, menyampaikan rilis media dengan judul ”Kritik itu Jantung Kemajuan Demokrasi, Iptek, dan Masyarakat”. Dia juga menekankan kembali bahwa perjuangan Reformasi 1998 adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa kritik merupakan jantung kemajuan demokrasi, ilmu pengetahuan, dan masyarakat tersebut.
Fadjroel menuturkan bahwa bangsa Indonesia menempatkan kritik di jantung konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pada Pasal 28. Tertulis di pasal tersebut bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Adapun pelaksanaan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, menurut UUD 1945, haruslah memperhatikan Pasal 28J. Pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Baca juga: Unjuk Rasa Jangan Langgar Protokol Kesehatan
Fadjroel mengatakan bahwa dalam tradisi dan nilai-nilai demokrasi, kritik merupakan upaya menciptakan dialog setara dan komunikasi timbal balik di antara aktor-aktor dalam negara demokrasi. Aktor-aktor tersebut yakni masyarakat sipil atau aktor nonnegara seperti media, organisasi masyarakat, lembaga kemahasiswaan, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya. Selain itu, juga masyarakat politik, masyarakat ekonomi, serta birokrasi/pemerintah dan aparat hukum.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2Fba8d84ae-fc6b-428d-abb2-c69a544b5427_jpg.jpg)
Spanduk berisi larangan berkumpul dipasang di sekitar pintu masuk Monumen Nasional, Jakarta, Sabtu (24/7/2021). Pengetatan penjagaan dan penutupan akses jalan menuju Istana Merdeka dilakukan polisi terkait rencana aksi para pengemudi ojek daring berdemonstrasi di kawasan tersebut.
Cara kerja kritik adalah berusaha membentuk hubungan setara antaraktor berdasarkan komunikasi timbal balik atau komunikasi intersubyektif yang berimplikasi pada penemuan kebaikan bersama atau common objective.
”Praktik kritik yang mengikuti kaidah iptek dan demokrasi tidak akan menggunakan kekerasan komunikasi seperti stigma, fitnah, hinaan, dan perundungan atau bully,” kata Fadjroel.
Baca juga: Seni Kritik Lewat Mural Boleh, asal...
Kekerasan komunikasi, lanjut Fadjroel, akan menghalangi proses terbentuknya komunikasi timbal balik dan setara. Kekerasan komunikasi akan mendorong terbentuknya spiral of violence (lingkaran kekerasan), yaitu kondisi yang ditandai oleh praktik yang hanya bertujuan menjatuhkan dan menghancurkan satu sama lain atau zero sum game.
Pertemuan nilai
Pada saat bersamaan, lebih jauh Fadjroel menambahkan, demokrasi Indonesia merupakan pertemuan antara beragam nilai-nilai global dan nilai-nilai keindonesiaan. Setiap praktik kebebasan kritik perlu melandaskan pada tatanan nilai saling menghormati, kesantunan, tata krama, toleransi, dan kegotongroyongan.

Presiden Joko Widodo saat menanggapi kritikan BEM UI beberapa waktu lalu.
Hal yang sama terlebih dahulu diungkapkan Presiden Jokowi terhadap kritik yang kerap dialamat ke pemerintah dan dirinya. ”Ini negara demokrasi. Jadi, kritik itu boleh-boleh saja. Tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesantunan,” kata Presiden beberapa waktu lalu.
Ini negara demokrasi. Jadi, kritik itu boleh-boleh saja, tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesantunan. (Presiden Jokowi)
Menurut Fadjroel, Presiden Jokowi selama ini telah memberikan keteladanan dalam upaya membangun komunikasi timbal balik dalam negara demokrasi Indonesia dengan narasi kebebasan dalam tatanan nilai sosial keindonesiaan. Oleh karena itu, Presiden Jokowi menjauhi praktik stigma, perundungan, fitnah, dan antitoleransi.
Aktor-aktor negara demokrasi yang mempraktikkan kebebasan kritik dalam narasi nilai sosial keindonesiaan, lanjut Fadjroel, akan menciptakan komunikasi timbal balik. Praktik kebebasan demokrasi berbasis tatanan nilai sosial keindonesiaan, tradisi dalam kebudayaan Indonesia, dan tradisi berpikir kritis dalam kemajuan iptek mesti jadi teladan. Kondisi ini dinilai lebih memungkinkan lahirnya berbagai pemecahan masalah kolektif bangsa untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2Fc35a4cc9-0c92-401f-bb0a-7bf717294d89_jpg.jpg)
Rantai penghalang terpasang di depan Gedung DPR/MPR/DPD di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (2/8/2021). Rantai ini terpasang di lokasi yang biasa digunakan masyarakat untuk berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen.
Apabila kita cermati, aneka kritik selama ini disuarakan berbagai kalangan di bermacam isu. Sebut, misalnya, kritik terkait pilihan opsi pemerintah dalam menangani Covid-19; termasuk menyangkut perbenturan pandangan mengenai apakah yang mesti dipilih sejak awal adalah kebijakan karantina wilayah (lockdown) atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca juga: Penanganan Covid-19 Indonesia di Mata Dunia
Perkembangan selanjutnya ketika kebijakan berganti menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), PPKM darurat, dan selanjutnya PPKM sesuai level, hal ini pun menuai kritik di sana-sini. Begitu pula halnya ketika beberapa waktu lalu muncul kritik terhadap vaksin berbayar yang belakangan akhirnya dibatalkan pemerintah. Demikian pula kritikan dan polemik yang mengemuka di ruang publik mengenai tes wawasan kebangsaan pegawai KPK, isu masuknya tenaga kerja asing (TKA) di tengah masa pembatasan mobilitas di dalam negeri, dan lain sebagainya.
Keterbukaan sebagai prasyarat
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menuturkan, hal pertama yang mesti dilakukan pemerintah adalah menjaga keterbukaan informasi. Artinya, tidak ada informasi yang ditutupi atau disembunyikan. Informasi harus dibuka sedemikian rupa sehingga masyarakat bisa membaca dengan jelas dan gamblang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_2402961_17_0.jpeg)
Pelajar SMP membubuhkan tanda tangan di spanduk seruan ”Keterbukaan Informasi” dalam rangka Hari Hak untuk Tahu Internasional, di Silang Monas, Jakarta, Sabtu (28/9).
”Kenapa (keterbukaan informasi) ini menjadi penting? (Hal ini) karena kalau keterbukaan informasi tersebut benar-benar terjadi, dan masyarakat bisa melihat data dan informasinya secara utuh, maka pemikirannya akan lebih obyektif dibanding ketika tidak ada keterbukaan informasi,” kata Hendri.
Baca juga: Kepatuhan Badan Publik terhadap Keterbukaan Informasi Publik Masih Rendah
Hendri mencontohkan masukan kritis atau kritikan dari masyarakat tentang kedatangan TKA ke Morowali, Sulawesi Tengah. Tidak ada kejelasan informasi mengenai hal tersebut. ”Kalau dari awal sudah dijelaskan proyek apa, bagaimana isi perjanjiannya sehingga pada saat Covid-19 ini mereka tetap boleh datang, itu akan memudahkan masyarakat untuk memiliki atau memberikan masukan yang lebih obyektif kepada pemerintah,” katanya.
Menurut Hendri hal kedua yang harus dilakukan pemerintah adalah menghindari komunikasi defensif dan arogansi apabila ada masukan kritis dari masyarakat. Terkadang ada beberapa pejabat pemerintah yang ketika diberi masukan kritis menjadi defensif dan alergi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2Fddcf4567-6667-49c4-b034-d4b35c2eead4_jpg.jpg)
Pedagang kopi keliling melintasi pembatas yang digelar polisi ketika menutup Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (24/7/2021). Pengetatan penjagaan dan penutupan akses jalan menuju Istana Merdeka sempat dilakukan polisi terkait rencana aksi para pengemudi ojek daring berdemonstrasi di kawasan tersebut.
”(Mereka) membela dan mempertahankan opininya tapi dengan arogansi sehingga masukan yang seharusnya bisa dibicarakan dengan baik karena (mereka) defensif, akhirnya masyarakat ada yang marah, mem-bully, dan kemudian males kasih kritikan. Itu, kan, jadi jelek,” kata Hendri.
Informasi yang dimiliki rakyat acap kali lebih sedikit dibanding pemerintah. Tugas pemerintah untuk terus menjadikan rakyat mendapat informasi penting. (Hendri Satrio)
Hendri mengatakan, pemerintah juga jangan menyalahkan masyarakat ketika sebuah program gagal. Hal ini karena informasi yang dimiliki rakyat acap kali lebih sedikit dibanding pemerintah. Tugas pemerintah untuk terus menjadikan rakyat mendapat informasi penting tersebut.
”Sebagai contoh, ketika Covid-19 tidak selesai-selesai, jangan lantas menyalahkan masyarakat: ’masyarakat sih enggak mau prokes, masyarakat sih tetap mudik meski enggak boleh mudik’. Itu, kan, jadi banyak perdebatannya, misalnya, (lalu didebat) mudik enggak boleh tapi wisata boleh, katanya prokes tapi tenaga kerja asing masuk, wisatawan masuk. Itu, kan, jadi susah,” ujarnya Hendri.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F20210802WEN5_1627889731.jpg)
Tanda informasi dan peringatan bahaya Covid-19 yang dipasang di sejumlah tempat salah satunya di Museum Kereta Api Ambarawa di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/8/2021). Berakhirnya masa perpanjangan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat tersebut tetap dengan pelaksanaan protokol kesehatan ketat di area publik.
Ketiga, lanjut Hendri, pemerintah jangan terlalu terburu-buru mengeluarkan sebuah pernyataan yang belum tentu benar dan valid atau belum pasti kepada masyarakat. Kondisi seperti ini bisa mengakibatkan kekacauan dan pemerintah menerima kritikan yang belum waktunya.
Sebagai contoh ketika ada menteri atau pihak yang membocorkan informasi rapat terbatas bahwa PPKM akan diundur hingga waktu tertentu dan kemudian menuai cecaran dari publik lebih dulu. ”Jadi, tentukan momentum waktunya kapan yang paling tepat untuk menyampaikan pesan komunikasi kepada publik,” ujar Hendri.
Dari sisi masyarakat, menurut Hendri, publik perlu mempelajari isu dengan baik dan utuh atau jangan sepotong-potong. Masyarakat pun tidak perlu reaktif berlebihan. ”Artinya, jangan sampai tanpa cek dan recheck (pengecekan ulang) langsung reaktif pada kebijakan-kebijakan pemerintah,” katanya.
Pelajaran dari Abraham Lincoln
Dunia saat ini menghadapi pandemi Covid-19 dengan begitu banyak nyawa manusia melayang akibat virus korona yang mematikan. Sekian dekade silam, Presiden Ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln berada di tampuk kepresidenan saat negeri tersebut tengah dilanda perang saudara yang menelan ratusan ribu nyawa akibat pertentangan pandangan negara bagian di utara dan selatan mengenai isu perbudakan. Sebuah beban teramat berat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20160115XAR05_1571720626.jpg)
Patung Abraham Lincoln di Lincoln Memorial, Washington, 31 Oktober 2015.
Lincoln, yang kemudian dicatat sejarah mendapat julukan ”Emansipator Agung” karena antiperbudakan dan menegakkan kesetaraan insan, juga tak sepi dari kritik atas kebijakan yang diambilnya saat menjabat presiden. Namun, Presiden Lincoln menanggapi kritik secara elegan dan matang. Elegan karena disampaikan lugas, bernas, dan luwes. Matang karena obyektif dan tak bias ego.
Menanggapi kritik yang saat itu dialamatkan kepadanya, pada intinya Lincoln menuturkan, ”Saya lakukan yang terbaik sepengetahuan saya, (dan) yang paling baik semampu saya; dan saya akan tetap melakukannya sampai akhir. Kalau akhirnya saya ternyata benar, maka apa yang telah dikatakan (orang) untuk menyerang saya tidak berarti apa-apa. Tapi kalau akhirnya saya salah, 10 malaikat bersumpah saya benar pun tidak akan mengubah (kenyataan bahwa saya salah).”
Keteguhan Lincoln dalam membuat keputusan terkait penghapusan perbudakan tidak dapat dilepaskan dari nilai dasar bahwa semua manusia diciptakan setara. All men are created equal, frasa bermutu tinggi mengenai kesetaraan manusia ini, tertuang dalam Deklarasi Kemerdekaan AS. Keyakinan terhadap nilai suatu tujuan kiranya dapat menjadi jangkar yang memantapkan pengambilan keputusan.
Baca juga: Presiden Jokowi : Vaksin dan Prokes untuk Akhiri Pandemi Covid-19
Saat ini, di tengah penularan Covid-19 yang membahayakan kesehatan dan nyawa warga, tujuan menyelamatkan jiwa manusia mesti selalu diutamakan dalam membuat keputusan-keputusan terkait.
Apalagi, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tujuan negara yang tertuang di lembar konstitusi negeri ini. Saatnya terus menggalang kekuatan dan sumber daya serta memfokuskannya untuk mengatasi pandemi dengan keterbukaan.