Perlu ”Talent Pool” untuk Cegah Asal Pilih Komisaris
Data orang-orang bertalenta yang cocok menjabat komisaris di BUMN perlu dibuat. Dengan demikian, memudahkan pemerintah dalam memilih komisaris. Selain itu, bisa menepis masuknya kepentingan politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mendata orang-orang bertalenta yang cocok untuk menjabat posisi komisaris di badan usaha milik negara. Hal ini penting untuk memastikan jabatan komisaris diisi orang-orang yang memiliki kapasitas, bukan seperti yang kerap terlihat selama ini.
Guru Besar Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (25/7/2021), mengatakan, setelah anak-anak bangsa yang memiliki kompetensi didata, kemudian nama-nama mereka dimasukkan dalam national talent pool atau pangkalan bakat secara nasional khusus bagi para calon komisaris.
”Paling penting saringan talenta tersebut adalah orang-orang terbaik. Jadi, Presiden bisa mengambil calon dari (talent) pool tersebut,” ujar Eko yang juga Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional.
Menurut Eko, pembentukan talent pool itu tak perlu sampai dicantumkan di dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN), yang tengah digodok saat ini di DPR. Namun, pengaturan detailnya cukup melalui peraturan presiden.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan sependapat dengan Eko. Ia menilai, untuk penataan ke depan, Indonesia perlu membangun sistem talent pool khusus untuk komisaris.
”Sedangkan untuk komisaris utama, sebaiknya jadi hak prerogatif Presiden,” kata Djohermansyah.
Berkaitan soal pengaturannya, Djohermansyah malah mengusulkan agar itu diatur dalam RUU ASN. Dengan begitu, legalitas lebih kuat.
Selain itu, ia mengusulkan, jika ASN diangkat sebagai komisaris, ASN tersebut harus non-aktif sebagai pejabat struktural atau fungsional di lembaga pemerintahan. ”Jadi, prinsipnya single salary,” katanya.
Rangkap jabatan
Berdasarkan kajian Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 2019, ada 397 komisaris di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN yang rangkap jabatan. Rinciannya, 31 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan akademisi, 112 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan pegawai non-kementerian, dan 254 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan di kementerian.
Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, menyampaikan, seyogianya, jika seorang pejabat publik diminta oleh Presiden untuk menempati posisi di BUMN ataupun di badan usaha milik daerah (BUMD), maka pejabat tersebut cukup menerima gaji dari negara atau single salary. Artinya, pejabat itu masuk sebagai komisaris karena dianggap mampu mengemban misi negara.
”Pejabat itu dihargai karena dia punya kepakaran atau keahlian. Jadi, dia digaji oleh negara, single salary. Bukan malah asyik rangkap jabatan semata-mata untuk dapat tambahan penghasilan,” kata Robert.
Rekomendasi tersebut telah disampaikan ORI pada 2019. Selain itu, rekomendasi lain yang disampaikan kepada Presiden adalah meminta Menteri BUMN agar membuat peta jalan yang terencana soal penempatan orang-orang yang akan menduduki posisi komisaris.
ORI, saat itu, menganjurkan agar Kementerian BUMN membuat talent pool, di mana orang-orang yang berkompeten dan profesional didata. Kemudian, ketika ada kebutuhan komisaris, Presiden atau Kementerian BUMN dapat mencarinya melalui talent pool tersebut.
”Bukan malah mencari ke mana-mana. Ini sekaligus mencegah masuknya kepentingan politik, juga untuk duduk di posisi komisaris. Kalau orang nyemplung, asal duduk di satu posisi, kan, belum tentu bagus,” kata Robert.
Dengan begitu pula, menurut dia, ke depan, posisi komisaris merupakan jabatan profesional yang tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. ”Jadi, ini bukan jabatan main-main. Komisaris itu jabatan yang harus direncaakan dan dipersiapkan. Agar makismal, ya, dipersiapkan di suatu tempat lewat talent pool,” ujarnya.