Keputusan Dewan Pengawas KPK tak akan melanjutkan aduan dugaan pelanggaran etik oleh pimpinan KPK dalam tes wawasan kebangsaan ke sidang etik dipertanyakan. Sebab, Ombudsman RI justru menemukan malaadministrasi berlapis.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Perwakilan 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan dan kuasa hukumnya berfoto bersama seusai mengadu di Kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (24/5/2021). Perwakilan 75 pegawai didampingi kuasa hukumnya dari YLBHI, LBH Jakarta, dan LBH Muhammadiyah menyampaikan pengaduan dugaan pelanggaran HAM pada asesmen tes wawasan kebangsaan.
JAKARTA, KOMPAS — Tim 75 menghormati keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan tidak akan melanjutkan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik pimpinan KPK ke sidang etik karena tidak cukup bukti. Namun, tim yang merupakan perwakilan pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan itu akan membantu dengan memberikan bukti-bukti baru kepada Dewan Pengawas KPK.
Perwakilan Tim 75 KPK, Hotman Tambunan, dalam konferensi pers, Sabtu (24/7/2021), mengatakan, para pegawai KPK yang tak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan berharap, keputusan Dewan Pengawas itu betul-betul didasarkan pada perbedaan persepsi dan kurangnya bukti. ”Ini berarti belum selesai karena mengatakan belum cukup bukti. Kami akan membantu Dewas untuk menyampaikan bukti-bukti baru. Apalagi ada temuan Ombudsman atas temuan-temuan maladministrasi,” kata Hotman.
Pada Jumat (23/7/2021), Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan menyampaikan hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dalam proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dugaan kode etik itu dinilai tidak cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik.
Hotman menilai, alasan dugaan pelanggaran etik tersebut tidak cukup bukti yang dikemukakan Dewan Pengawas KPK mengada-ada. Sebab, Dewan Pengawas KPK memiliki kewenangan yang kuat di internal KPK, termasuk terkait kepegawaian.
Kompas
Perwakilan Tim 75 KPK, Hotman Tambunan, dalam konferensi pers, Sabtu (24/7/2021).
Dari 24 orang yang melakukan aduan ke Dewan Pengawas untuk mewakili 75 orang lainnya, lanjut Hotman, hanya tiga orang yang diperiksa atau diminta keterangan. Padahal, ketiga orang tersebut tidak menguasai detail aduan dan bukan merupakan pembuat konsep pengaduan.
Selain itu, menurut Hotman, dari tujuh materi pengaduan terdapat perbedaan persepsi antara pihak pengadu atau pelapor dengan Dewan Pengawas KPK. Salah satu contohnya adalah Dewan Pengawas dinilai mempersepsikan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri yang menambahkan pasal tentang tes wawasan kebangsaan. Padahal, Tim 75 menyampaikan bahwa dalam pembahasan internal mengenai tes wawasan kebangsaan yang dilakukan antar instansi dari Agustus sampai Desember 2020, tidak ada pasal mengenai tes wawasan kebangsaan.
Pasal tersebut baru ditambahkan saat rapat pimpinan pada 25 Januari 2021 oleh Firli. Itu berarti, menurut Tim 75, pembicaraan yang dilakukan lintas instansi selama beberapa bulan sebelumnya menjadi tidak ada artinya.
Selain itu, terkait aduan tentang pimpinan KPK yang tidak menjelaskan mengenai konsekuensi dari pelaksanaan tes wawasan kebangsaan, Tim 75 bukan mempersoalkan sosialisasi tes wawasan kebangsaan kepada pegawai KPK. Hal yang dipersoalkan adalah tidak adanya sosialisasi terkait konsekuensi dari pelaksanaan tes wawasan kebangsaan.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa, anggota Dewan Pengawas KPK Indriyanto Seno Adji , Ketua KPK Firli Bahuri, dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kiri ke kanan) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait pengumuman hasil asesmen tes wawasan kebangsaan dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN oleh Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Diterangkan bahwa ada 75 pegawai KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Begitu pula terkait pernyataan Dewan Pengawas KPK tentang tidak ditemukannya bukti rekaman pernyataan Firli pada 5 Maret 2021, menurut Hotman, Tim 75 telah menyerahkan transkrip dari rekaman tersebut kepada Dewan Pengawas. Saat itu Firli menyatakan bahwa tes wawasan kebangsaan bukan untuk mengukur keterlibatan pegawai KPK dalam organisasi terlarang, bukan pula untuk menentukan kelulusan menjadi ASN. Firli juga menyampaikan bahwa untuk mengukur pegawai KPK terlibat dalam organisasi terlarang tidak cukup hanya dengan wawancara.
”Itu clear, tapi Dewas tidak mau mengonfirmasi kepada kami. Kalau diperlukan, kami bisa memberikan rekamannya,” ujar Hotman. Ditegaskan, dengan pernyataan Dewan Pengawas bahwa pengaduan belum cukup bukti, Tim 75 menilai masih ada kesempatan untuk menambah bukti-bukti yang dibutuhkan.
Hotman pun mengakui, kewenangan Dewan Pengawas memang terbatas karena hanya mengawasi pelanggaran etik. Berbeda dengan Ombudsman RI yang memiliki ruang lingkup lebih luas sehingga bisa melihat dari aspek prosedural, kewenangan, dan administrasi.
Meski begitu, menurut Hotman, bukan berarti Dewan Pengawas KPK tidak bisa berbuat lebih. Dewan Pengawas KPK dapat memeriksa semua pihak, termasuk para pelapor. Hal itu juga yang dilakukan Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam menangani polemik alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Kompas
Novel Baswedan
Novel Baswedan, penyidik KPK yang juga tak lolos tes wawasan kebangsaan, menambahkan, persoalan yang terjadi di tubuh KPK karena adanya tes wawasan kebangsaan boleh dibilang merupakan skandal besar yang terjadi di depan mata. Namun, Dewan Pengawas KPK ternyata tak merasa terganggu dengan persoalan itu.
”Permasalahan ini begitu nyata, terang dengan bukti-bukti begitu banyak, tetapi seolah-olah tidak ada apa-apa.Tentu ke depan kita berharap Dewan Pengawas memperbaiki diri karena beliau-beliau ini adalah orang-orang yang baik. Dan semoga beliau-beliau tidak mempermalukan dirinya sendiri,” kata Novel.
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, alasan tidak cukup bukti yang dikemukakan Dewan Pengawas KPK patut dipertanyakan. Sebab, dari rentetan peristiwa terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan terdapat kejadian yang signifikan dan terkait dengan integritas KPK, yakni penandatanganan kontrak swakelola antara KPK dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kontrak tersebut ditandatangani pada 28 April 2021, namun tanggal kontrak ditulis 17 Januari 2021 atau dibuat tanggal mundur (backdate). Sementara, tes wawasan kebangsaan dilaksanakan pada 9 Maret 2021. Hal itu dianggap menunjukkan adanya pelanggaran etik yang serius.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zaenur Rohman, memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta.
”Penanggalan mundur dalam kontrak pengadaan jasa dalam tipe swakelola itu merupakan bentuk cidera nilai integritas yang dilakukan KPK dan BKN. Itu, kan, sama saja dengan tidak jujur. Seharusnya itu ditindaklanjuti dengan penegakan etik oleh Dewas KPK terhadap pimpinan KPK dan pegawai KPK yang melakukan tindakan ini,” tutur Zaenur.
Karena kejadiannya berada di dalam internal KPK, semestinya Dewan Pengawas KPK dapat dengan mudah memperoleh salinan kontrak serta memeriksa para pihak terkait. Dengan demikian, argumentasi tidak cukup bukti yang dikemukakan Dewan Pengawas KPK dianggap tidak beralasan.
Setelah adanya temuan Ombudsman RI, menurut Zaenur, Dewan Pengawas KPK diharapkan dapat menindaklanjuti. Dewan Pengawas KPK dapat memanggil dan mengkonfirmasi pihak-pihak terkait sebagaimana dinyatakan dalam laporan Ombudsman RI