Dalam kondisi sulit akibat pandemi Covid-19 saat ini, dibutuhkan kemampuan membangun spiritualitas, relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Berjuang bersama, hadapi pandemi ini.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Nina Susilo/Rini Kustiasih/Dian Dewi Purnamasari/Andreas Maryoto
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Optimisme dan semangat kebersamaan menjadi modal bangsa menghadapi deraan demi deraan yang muncul akibat pandemi Covid-19. Banyak tenaga kesehatan gugur dalam menunaikan tugasnya, tak terkecuali aparatur pemerintah dan penegak hukum, dan banyak pula yang harus berpisah dari orang-orang yang terkasih. Ikhtiar ini perlu diiringi dengan penguatan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Doa bersama dari rumah bagi semua insan yang berpulang dan sedang berjuang melawan Covid-19 pada Minggu (11/7/2021), yang diselenggarakan secara virtual oleh pemerintah, menarik perhatian publik. Acara doa bersama ini dipimpin para pemimpin dari setiap agama di Indonesia. Di akun Youtube Sekretariat Negara, contohnya, siaran langsung doa bersama dengan tagar #PRAYFROMHOME itu ditonton 76.000 kali sejak siang hingga sore hari dan memperoleh lebih dari 250 komentar.
Presiden Joko Widodo juga berterima kasih kepada seluruh elemen bangsa yang setia membangun optimisme dan semangat kebersamaan. Hal ini terlihat dalam berbagai gerakan kesukarelawanan sosial dan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat.
Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar semua komponen bangsa bersama pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19. ”Semua pihak mesti berkolaborasi bekerja sama, bergotong-royong mengatasi ujian yang maha berat ini,” ujarnya dari Istana Kepresidenan Bogor.
Presiden Jokowi juga berterima kasih kepada seluruh elemen bangsa yang setia membangun optimisme dan semangat kebersamaan. Hal ini terlihat dalam berbagai gerakan kesukarelawanan sosial dan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat.
”Selain ikhtiar dengan berbagai usaha lahiriah, kita juga wajib melakukan upaya batiniah, memohon pertolongan Allah agar beban kita diringankan, agar rakyat, bangsa, dan negara juga dunia segera terbebas dari pandemi,” tutur Presiden Jokowi.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pihaknya meyakini saat ini masyarakat berada pada suasana kebatinan yang sama. ”Sebagai manusia yang lemah, memerlukan pertolongan Yang Maha Kuasa, Sang Pemilik Kehidupan,” tuturnya.
Yaqut pun kembali mengingatkan agar masyarakat mengikuti pembatasan peribadahan di tempat ibadah dan tetap menumbuhkan kepedulian sosial. Ia pun mengajak seluruh masyarakat menerapkan protokol kesehatan secara ketat untuk menghindari penularan.
Spiritualitas
Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, pandemi Covid-19 telah memunculkan krisis yang mendisrupsi normalitas. Akibatnya, formula yang lazim dilakukan manusia tidak mampu menjadi jalan keluar. ”Pada momen seperti itu, diperlukan keinsafan dan kepasrahan,” katanya.
Menurut dia, wabah korona merupakan cara alam mengingatkan manusia bahwa semua makhluk terkoneksi dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih tinggi. Sebab, di bawah ancaman Covid-19, semua orang bisa tertular dan menularkan, dan semua bangsa bisa terpapar dan memaparkan. Virus menggerayangi manusia dengan segala agama dan klaim kebenaran, semua ras tanpa diskriminasi, segala jabatan tanpa hak istimewa, dan segala adidaya tanpa hak veto.
”Korona mendorong kita kembali ke jalan spiritualitas yang diabaikan, dengan menyinari relung hati keimanan,” ujar Yudi.
Untuk menyalakan kembali cahaya hati itu, kata Yudi, diperlukan jalan spiritualitas. Dalam kosmologi Nusantara, spiritualitas merupakan keterhubungan pada tiga arah, yaitu ”dunia atas” atau Tuhan, ”dunia tengah” atau manusia, dan ”dunia bawah” atau alam. Oleh karena itu, relasi yang harmonis dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam semesta perlu dibangun.
Terinspirasi dari lagu ”Masih Ada Waktu” karya Ebiet G Ade, Yudi juga mengajak masyarakat memanfaatkan waktu yang tersisa untuk merendahkan hati dengan menguatkan iman. Meski demikian, lanjutnya, di balik kegelapan selalu ada sisi terang. Bagi mereka yang eling, musibah korona merupakan pengingat agar manusia tidak rakus. Mengurangi aktivitas di ruang publik, memberi kesempatan alam memulihkan diri dari polusi dan eksploitasi. Adapun kembali beraktivitas di rumah, akan memperkuat simpul keluarga dan solidaritas sosial.
Wabah korona merupakan cara alam mengingatkan manusia bahwa semua makhluk terkoneksi dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih tinggi. Sebab di bawah ancaman Covid-19, semua orang bisa tertular dan menularkan, dan semua bangsa bisa terpapar dan memaparkan. (Yudi Latif)
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Ignatius Kardinal Suharyo mengingatkan umat beragama agar tidak menyalahkan keadaan dan tidak menganggap pandemi sebagai hukuman dari Tuhan. Pikiran buruk seperti itu hanya akan mengikis harapan. Situasi sulit semestinya menjadi kesempatan bagi masyarakat memaknai kehidupan dan merenungkan kehendak Tuhan di balik munculnya wabah.
Kardinal Suharyo juga mengajak masyarakat merawat dan mengembangkan spiritualitas pengharapan. Harapan yang dimaksud terkait dengan keyakinan bahwa Tuhan akan menyelesaikan permasalahan di dunia. Untuk mewujudkan harapan tersebut, manusia harus mencari jalan keluar menggunakan segala sumber, seperti tenaga kesehatan yang berjibaku menangani pasien Covid-19.
Tak terkecuali elite politik juga diharapkan mengedepankan politik solidaritas untuk membangun semangat kebersamaan mengatasi pandemi Covid-19. Kepala Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, sudah menjadi naluri politisi mencari peluang peroleh keuntungan elektoral di dalam satu momen. Namun, dalam kondisi kesulitan yang dihadapi oleh negara, sebaiknya kenegarawanan dan politik solidaritas harus dikedepankan.
”Presiden Franklin D Roosevelt (Presiden Amerika Serikat), misalnya, pada 1939 mengalami malaise dan situasi ekonomi sangat sulit hingga menghadapi Perang Dunia II. Saat itu, yang dikedepankan ialah komunikasi intensif yang merangkul semua dan membangun trust (kepercayaan) setiap orang, termasuk yang berseberangan sikap dengannya,” katanya.
Sikap untuk merangkul semua dalam kondisi yang sulit ini, kata Firman, dibutuhkan untuk menemukan tawaran solusi bersama-sama. Hal ini ditandai dengan ajakan untuk bekerja bersama-sama dan diwarnai dengan bahasa penyampaian yang penuh empati serta persaudaraan. Artinya, tidak hanya pendukung pemerintah yang diajak bergerak, tetapi juga semua pihak, termasuk yang berseberangan sikap.
Firman mengatakan, kritik pun boleh disampaikan, tetapi sebaiknya tidak hanya berupa pernyataan (statement) kosong semata. Sebab, yang dibutuhkan saat ini ialah solidaritas untuk mencari solusi bersama di tengah krisis.
Guru Besar Fakultas Psikologi Ukrida dan Dewan Penasihat Ikatan Psikologi Klinik Indonesia Johana Endang Prawitasari juga menyampaikan, di tengah masalah besar sekarang ini sebaiknya para elite menyebarkan hal-hal yang positif. Tidak bisa lagi mengurusi kepentingan pribadi dan politik.
”Elite bisa mengajak warga agar taat protokol kesehatan, menjaga kesehatan fisik dan mental, lebih bersikap optimistis, mengajak kontemplasi, dan belajar mengelola kecamuk pikiran. Pikiran dan perasaan perlu dikelola secara baik agar tidak menambah masalah,” katanya.
Bagi masyarakat, Johana menyarankan agar memperkuat fisik lebih dulu, baru berbicara mental. ”Tensi bisa dikelola dengan tersenyum. Masyarakat diajak belajar relaksasi agar suasana menjadi tenang. Saya menyarankan yang sederhana saja tetapi bisa dilakukan seperti tersenyum dan bernyanyi agar sehat lagi. Kadang saking sederhananya pada tidak percaya,” kata Johana.
Pemerintah juga diharapkan dapat merespons secara aktif solidaritas masyarakat yang bermekaran secara alamiah selama pandemi ini. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, pemerintah bisa memberi dukungan data kepada para inisiator dan penggerak aksi solidaritas ini. Data daerah mana yang prioritas untuk dibantu sehingga bantuan bisa efektif dan tepat sasaran.
Pemerintah juga diharapkan dapat merespons secara aktif solidaritas masyarakat yang bermekaran secara alamiah selama pandemi ini.
”Gerakan solidaritas masyarakat ini perlu dimudahkan aksesnya, misalnya ke penyidik Bareskrim Polri. Agar ketika ada yang menunggangi gerakan mereka, mudah untuk melaporkan dan memproses hukum,” imbuh Agus.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah mengatakan, pemerintah daerah (pemda) seharusnya bisa memanfaatkan aksi solidaritas masyarakat untuk menangani gelombang Covid-19 dan dampak turunannya. Menurut dia, dengan struktur pemerintahan daerah yang sebagian besar adalah pemerintah kabupaten, solidaritas dan gotong royong di masyarakat masih kuat dan mengakar. Pemda harus mampu memanfaatkan kekuatan itu untuk menangani pandemi Covid-19.
Di tengah pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, pemda dan jajarannya juga harus memberi contoh yang baik di masyarakat. Jangan ada lagi kepala daerah, camat, atau lurah memberi contoh yang salah di mata masyarakat, misalnya menggelar hajatan di tengah PPKM darurat.
”Pemimpin dilihat bukan hanya kata-katanya, melainkan juga perilakunya. Oleh karena itu, dia harus memberi contoh yang baik kepada masyarakat,” jelasnya.