Diduga Terima Suap Rp 25,7 Miliar, Edhy Prabowo Dituntut Lima Tahun Penjara
Dinilai terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dituntut hukuman lima tahun penjara. Jaksa juga menuntut hak politik Edhy dicabut selama empat tahun.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri) menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Selasa (15/6/2021). Sidang terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 itu beragendakan mendengarkan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum.
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan hukuman penjara selama lima tahun. Selain itu, jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Tuntutan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (29/6/2021). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Albertus Usada serta hakim anggota Suparman Nyompa dan Ali Muhtarom. Terdakwa Edhy Prabowo hadir langsung di pengadilan saat tuntutan dibacakan.
Jaksa KPK, Ronald F Worotikan, mengatakan, terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti diatur dalam Pasal 12 Huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Edhy dinilai terbukti menerima suap senilai Rp 25,7 miliar terkait dengan izin ekspor benih bening lobster atau benur. Suap diberikan untuk mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benur kepada PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) dan sejumlah eksportir benur lainnya.
Edhy menggunakan uang suap, di antaranya, untuk membeli tanah; sewa apartemen; membeli 17 sepeda jenis road bike, mobil, dan jam tangan; biaya balik nama 27 bidang tanah; ditransfer kepada sejumlah nama; serta dibelanjakan bersama istrinya, Iis Rosita Dewi, saat perjalanan dinas ke Amerika Serikat.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Sebanyak 13 sepeda berbagai merek diserahkan pihak yang mewakili Syafri, staf khusus bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/3/2021). Syafri menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi perizinan ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pembelian sepeda tersebut diduga dilakukan Syafri yang berasal dari uang yang dikumpulkan para eksportir yang mendapatkan izin ekspor benih bening lobster di KKP tahun 2020. Pembelian sepeda ini diduga untuk kepentingan Edhy.
”Menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Edhy Prabowo berupa pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan, pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp 9,6 miliar dan 77.000 dollar Amerika Serikat dikurangi uang yang sudah dikembalikan terdakwa,” ujar Ronald.
Melalui staf khusus menteri, Edhy juga memerintahkan para eksportir benur menyetor uang ke rekening bank garansi sebesar Rp 1.000 per ekor benur. Uang itu diklaim sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ekspor benur yang ditetapkan oleh Edhy. Padahal, Kementerian Keuangan belum menerbitkan revisi peraturan pemerintah tentang penerimaan negara bukan pajak ekspor benih bening lobster. Total di bank garansi itu terkumpul uang senilai Rp 52,319 miliar.
Ronald menambahkan, hal yang memberatkan Edhy adalah terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai penyelenggara negara atau menteri, Edhy juga dinilai tidak memberi teladan yang baik. Adapun hal-hal yang meringankan terdakwa adalah bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sebagian asetnya sudah disita.
Staf khusus
Kompas/Wawan H Prabowo
Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi mengawal Amiril Mukminin menuju ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (26/11/2020). Hari itu Amiril bersama staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan dan juga menjabat Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster Andreau Misanta Pribadi menyerahkan diri ke KPK terkait keterlibatannya dalam kasus dugaan suap ekspor benur yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Selain Edhy, jaksa KPK juga menuntut terdakwa lainnya, yaitu staf khusus menteri Andreau Misanta Pribadi dan Safri dengan pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa menilai keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang diatur dalam Pasal 12 Huruf a UU Tipikor.
Karena perannya yang sama, yaitu sebagai perantara dalam kasus korupsi ekspor benur ini, Andreu dan Safri juga sama-sama dijatuhi pidana denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
Terdakwa lain, yaitu sekretaris pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan Amiril Mukminin, Ainul Faqih, dan Komisaris PT Perishables Logistik Indonesia Siswadi Pranoto Loe, juga sama-sama dituntut dalam sidang yang sama. Amiril dituntut pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Ainul Faqih dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Sementara Siswadi dituntut pidana penjara empat tahun, denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Peran Amiril, Ainul Faqih, dan Siswadi adalah sebagai perantara suap dari Direktur Utama PT DPPP Suharjito kepada Edhy Prabowo.