DPR Janji Serap Masukan dari Publik, Baik yang Sependapat Maupun Beda Pendapat
Sejumlah anggota Komisi III DPR berjanji akan inklusif menyerap aspirasi masyarakat tatkala RKUHP dibahas bersama pemerintah. Namun, mereka juga meminta agar tak ada pihak yang merasa paling benar pada proses ini.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Tim ahli penyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menyampaikan sosialisasi perubahan rancangan undang-undang terutama pada 14 isu krusial yang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat di Jakarta, Senin (14/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat berjanji akan terbuka terhadap aspirasi publik, baik dari kelompok masyarakat yang mendukung maupun yang punya pandangan bertentangan, jika nantinya dilakukan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Hal ini untuk mencegah kegamangan publik terhadap pembahasan undang-undang yang sempat dihentikan dua tahun lalu akibat penolakan dari masyarakat.
Jajak pendapat Kompas pekan lalu menunjukkan, mayoritas responden (78,8 persen) menyatakan tidak mengetahui rencana revisi KUHP. Hanya sebagian kecil responden yang mengaku tahu hal ini, terutama terkait pasal-pasal pidana pada penyerangan martabat presiden dan wakil presiden.
Selain itu, 41,5 persen responden khawatir pasal-pasal yang mengatur soal martabat presiden dan wakil presiden serta penyelenggara negara akan membatasi kebebasan berpendapat. Namun, mayoritas publik atau 51,8 persen masih meyakini pembahasan pasal-pasal itu akan mendengar pendapat publik.
Menanggapi hasil jajak pendapat itu, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, di Jakarta, Senin (21/6/2021), menegaskan, tetap akan ada proses pembahasan di DPR terkait RKUHP jika sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Nantinya fraksi-fraksi akan menyepakati pasal atau isu mana saja untuk dibahas lagi karena sifatnya carry over atau luncuran.
Pembentuk UU, baik DPR maupun pemerintah, tetap perlu terus melakukan konsultasi publik sampai RKUHP disahkan baik dengan cara melakukan sosialisasi dan diskusi publik. ”Kami di DPR terbuka dengan masukan-masukan publik. Yang paling penting semuanya punya kesadaran bahwa sudut pandang tentang satu masalah hukum itu tidak tunggal,” ujarnya.
Menurut dia, masukan yang diterima DPR biasanya bervariasi dan tidak tunggal. Tugas pembentuk undang-undang untuk meramunya sedemikian rupa sehingga formulasi pasal-pasal bisa diperbaiki karena ada pandangan dari pihak-pihak yang tidak setuju. Biasanya, ada perbaikan atau ”melunakkan pasal” sebagai bagian dari mendengarkan semua pihak, termasuk yang bertentangan.
”Teman-teman di lembaga swadaya masyarakat jangan merasa pendapat mereka paling benar dan membangun opini bahwa seolah-olah pembentuk undang-undang tidak mendengarkan aspirasi publik. Kalau mereka sikapnya paling benar, malah kami tidak akan pertimbangkan sebagai masukan,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, menilai, keyakinan publik yang tinggi terhadap pembuat undang-undang akan lebih mendengarkan publik semestinya menjadi masukan penting bagi tim perumus untuk melakukan revisi sesuai dengan harapan masyarakat.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak mendatangi pusat lokasi aksi unjuk rasa Gejayan Memanggil di Pertigaan Gejayan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (23//9/2019). Aksi unjuk rasa itu antara lain untuk mendesak pemerintah melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Kekhawatiran publik terkait potensi pasal-pasal di RKUHP yang membatasi kebabasan berpendapat dinilai berasal dari RKUHP yang ketika disusun Tim Perumus Pemerintah mengalami perkembangan terus-menerus. Semestinya, draf versi dari pemerintah sebelum dibahas bersama DPR dilakukan uji publik secara masif terlebih dahulu.
”Uji publik ini bukan sekadar sosialisasi, melainkan uji publik yang berupa rangkaian konsultasi nasional yang melibatkan berbagai kalangan tidak hanya terbatas pada kalangan hukum saja, tetapi lintas latar belakang isu keilmuan,” ujar Taufik.
Jangan sampai, katanya, sosialisasi dilakukan hanya satu arah seolah-olah problemnya ada pada pemahaman masyarakat semata. Padahal, munculnya mispersepsi di kalangan masyarakat berarti menunjukkan ada masalah dalam perumusan norma di RKUHP tersebut. Konsultasi publik ini penting karena mencakup sebuah kitab hukum pidana yang bersentuhan dengan setiap orang, tanpa terkecuali di negeri ini.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Mahasiswa berusaha menghindari gas air mata yang ditembakkan oleh petugas kepolisian saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut dibatalkannya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru saja direvisi dan menolak revisi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
”Untuk menghindari multi-intepretasi yang mengakibatkan suatu pasal menjadi karet atau tidak tepat penerapannya, juga perlu dilakukan simulasi terhadap penerapan pasal-pasal terhadap kemungkinan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi,” katanya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan, akademisi dari beberapa kampus akan menyerahkan prosiding atau paper akademis hasil konsultasi nasional pembaruan KUHP 2021 kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Selasa (22/6/2021). Prosiding itu berasal dari akademisi Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran, LBH Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan, dan Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera.
Prosiding tersebut berisi paparan hasil diskusi di panel utama dan empat panel tematik secara berangkai yang menghadirkan 26 panelis dari beragam keahlian dan latar belakang untuk membahas isu-isu terkait RKUHP. Kegiatan dilaksanakan pada 27-29 Mei 2021 sebagai sumbangsih terhadap RKUHP Nasional yang memanusiakan manusia dan jauh dari semangat kolonial sebagaimana diharapkan oleh para pendiri bangsa.
”Selama ini, sosialisasi dari pemerintah hanya bersifat satu arah. Jadi, kami ingin memberikan pandangan akademik untuk perbaikan RKUHP dengan melibatkan banyak akademisi dan praktisi,” ujar Anugerah.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej memberikan sambutan dalam acara sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengingatkan, pembahasan RKUHP harus mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi dan persamaan hak. Salah satunya terkait penghinaan presiden dan wakil presiden agar tidak menjadi aturan yang khusus karena sudah ada pengaturan penghinaan dan pencemaran nama baik secara umum.
”Hal ini menjadi penting agar KUHP mencerminkan hukum yang demokratis,” ujarnya.