Belum Semua Anak dari Perkawinan Campuran Mudah menjadi WNI
Belum semua anak dari perkawinan campuran bisa memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan mudah. Salah satunya konflik hukum karena kedua negara asal orang tua menganut hukum kewarganegaraan yang berbeda.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski telah menghapus berbagai diskriminasi bagi masyarakat untuk mendapatkan status kewarganegaraan, implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Sebagian anak dari perkawinan campuran masih terkendala untuk menjadi warga negara Indonesia.
Perkawinan campuran yang dimaksud adalah perkawinan seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Keturunan mereka kerap terbentur persoalan administrasi dan aturan yang belum lengkap di dalam negeri, atau terjebak konflik hukum dengan negara lain untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
Ketua Umum Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia Juliani W Luthan mengapresiasi 15 tahun implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Regulasi ini dinilai memberikan perlindungan yang utuh bagi keturunan yang dilahirkan dari perkawinan campuran.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan antara ibu WNI dan ayah warga negara asing (WNA) diakui sebagai WNI. Bagi anak perkawinan campuran yang memperoleh kewarganegaraan dari negara lain karena lahir di luar wilayah Indonesia, akan tetap memperoleh status WNI. Namun kewarganegaraan ganda itu berlaku secara terbatas, yaitu sampai berusia 18 tahun atau sudah menikah dengan toleransi waktu tiga tahun.
“Namun, implementasinya tidak bersifat statis. Seiring waktu ada hambatan status kewarganegaraan anak kawin campur yang harus dicarikan jalan keluarnya,” kata Juliani dalam diskusi daring Menyoroti Perkawinan Campuran dan Anak Berkewarganegaraan Ganda Terbatas yang diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Jumat (28/5/2021).
Selain Juliani, hadir pula Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Trisakti A Ahsin Thohari, Ketua Umum IKI Rikard Bagun, dan Ketua IKI Saifullah Mashum. Diskusi dimoderatori wartawan Kompas Antony Lee.
Juliani menambahkan, hingga saat ini masih ada anak-anak yang belum mendapatkan kewarganegaraan ganda terbatas karena lahir sebelum UU Kewarganegaraan itu disahkan pada 2006. Saat itu, pemerintah memberikan waktu empat tahun hingga 2010 untuk mendaftarkan anak-anak perkawinan campuran. Namun, sosialisasi terbatas. Banyak orangtua yang tidak memiliki pengetahuan terkait hal itu, sehingga tidak mendaftarkan anak-anaknya.
Anak yang berstatus kewarganegaraan ganda pun masih ada yang kesulitan dalam menempuh proses memperoleh warga negara Indonesia.
Anak yang berstatus kewarganegaraan ganda pun masih ada yang kesulitan dalam menempuh proses memperoleh warga negara Indonesia. “Mereka masih diperlakukan seperti WNA murni, harus membayar biaya administrasi Rp 50 juta dan mengikuti penapisan di Badan Intelijen Negara (BIN),” ujar Juliani.
Padahal, biaya memperoleh kewarganegaraan itu sudah turun menjadi Rp 5 juta, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2019 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, PP terkait PNBP itu tidak bisa dilaksanakan karena petunjuk teknisnya belum tuntas direvisi sejak tiga tahun terakhir. Petunjuk teknis yang dimaksud ada dalam PP Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh Kehilangan Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
“Kami ingin pemerintah bisa menyelesaikan revisi PP Nomor 2/2007 agar bisa dibuat jalur khusus pewarganegaraan bagi orang asing eks-dwi kewarganegaraan. Karena anak-anak ini, kan, sudah dewasa. Kami mengharapkan proses pewarganegaraannya bisa mudah,” ujar Juliani.
Sandra, pegiat perkawinan campuran asal Bali mengatakan, kedua anaknya kini menghadapi persoalan terkait kewarganegaraan yang rumit. Meski lahir dan besar di Indonesia, kedua anaknya mendapatkan kewarganegaraan Swiss, negara asal suami Sandra. Hukum Swiss tidak memungkinkan pelepasan kewarganegaraan. Sementara itu, hukum di Indonesia juga tidak mengakui kewarganegaraan ganda dalam waktu yang tidak terbatas.
Kenyatannya, saat ini anak-anaknya yang sudah berusia lebih dari 18 tahun itu memiliki dua kewarganegaraan. Mereka terancam secara hukum jika status tersebut diketahui salah satu negara.
Sandra, pegiat perkawinan campuran asal Bali mengatakan, kedua anaknya kini menghadapi persoalan terkait kewarganegaraan yang rumit.
A Ahsin Thohari menilai, hal itu merupakan konflik hukum yang muncul karena kedua negara asal orangtua anak menganut hukum kewarganegaraan yang berbeda. Akibatnya seseorang berpotensi tidak memiliki status kewarganegaraan (statelessness).
Juliani berharap, pemerintah mengkaji lebih dalam potensi konflik hukum kewarganegaraan yang terjadi dengan negara lain. Sebab, hal ini bisa merugikan anak-anak yang semestinya mendapatkan hak mereka sebagai warga negara.
Rikard Bagun mengakui, persoalan kewarganegaraan bagi anak-anak hasil perkawinan campuran belum mendapatkan solusi terbaik. Ia mengajak semua pihak untuk menjadikan ini sebagai keprihatinan bersama. Sebab, perkawinan bukan sekadar urusan personal, melainkan juga peristiwa sosial yang terkait adat istiadat, agama, dan hukum di sebuah negara.
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Trisakti A Ahsin ThohariProgresif
Terlepas dari perkawinan campuran, kehadiran Undang-Undang No 12/2006 sejak 15 tahun lalu dinilai sebagai terobosan yang progresif. Menurut Ahsin, regulasi ini mengantarkan Indonesia lepas dari krisis kewarganegaraan di masa Orde Baru. Adapun UU No 12/2006 merupakan revisi dari UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Ia menambahkan, selama 32 tahun Orde Baru menggunakan UU No 62/1958 sebagai alat untuk mempertahankan segregasi sosial di tengah masyarakat. “Daya destruksinya masih sangat besar, riaknya masih terasa hingga saat ini,” kata Ahsin.
UU No 12/2006, lanjut Ahsin, sudah sesuai dengan hukum internasional yang mengakomodasi hak sipil dan politik warga. Regulasi tersebut juga telah menghilangkan diskriminasi gender dan unsur primordialisme dalam memberikan status kewarganegaraan. Selain itu, UU ini juga menggabungkan unsur keturunan dan tempat kelahiran sebagai faktor penentu kewarganegaraan seseorang untuk meminimalkan terjadinya statelessness.