Kendati hasil evaluasi menunjukkan pengelolaan dana otonomi khusus Papua belum baik dan tidak tepat sasaran, pemerintah tetap mengusulkan kenaikan dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari total dana alokasi umum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola dan pengawasan dana otonomi khusus Papua disoroti dalam rapat kerja Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Otsus Papua DPR dengan pemerintah, Kamis (27/5/2021). Selama 20 tahun dana otsus dikucurkan, transparansi dan akuntabilitas penggunaannya masih rendah.
Dalam rapat kerja dengan Pansus RUU Otsus Papua DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa membeberkan, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat disimpulkan dana otsus yang dikucurkan melalui transfer daerah belum dikelola dengan baik. Terjadi beberapa penyimpangan sehingga memengaruhi efektivitas pencapaian otsus Papua.
Tata kelola yang kurang baik itu disebabkan oleh regulasi yang tidak lengkap. Pemerintah pusat tidak menyusun rancangan pembangunan Papua dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang berlaku hingga tahun 2021. UU Otsus juga tidak mengatur pihak yang mengevaluasi pelaksanaan otsus sehingga permasalahan akuntabilitas dan transparansi anggaran sulit diatasi. Selain itu, belum semua peraturan daerah khusus dan peraturan daerah provinsi juga menindaklanjuti amanat dari UU Otsus.
”Dalam revisi UU Otsus ini Presiden telah mengarahkan supaya dana otsus yang akan ditingkatkan dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari total dana alokasi umum (DAU) itu dikelola lebih baik. Salah satunya dengan menyusun grand design pembangunan Papua,” kata Suharso.
Selain Suharso, Raker Pansus RUU Otsus Papua juga dihadiri Wakil Kepala Badan Intelijen Negara Letjen (Purn) Teddy Lhaksmana dan Kepala Bais TNI Letjen Joni Supriyanto.
Suharso juga memaparkan, BPK menilai kinerja pengelolaan keuangan pemda juga belum optimal. Hasil audit BPK pada 2018, misalnya, masih ada 51,7 persen kabupaten/kota di Provinsi Papua yang mendapatkan opini keuangan disclaimer dan adverse. Opini keuangan disclaimer artinya BPK tidak memberikan pendapat karena auditor tidak memperoleh bukti yang cukup dan tepat untuk mendasari opini. Adapun untuk opini keuangan adverse artinya adalah opini tidak wajar.
Untuk Papua Barat, status audit keuangan relatif lebih baik. Setidaknya 61,5 persen kabupaten/kota berstatus wajar tanpa pengecualian (WTP) dan 38,5 persen kabupaten/kota berstatus wajar dengan pengecualian.
Dana otsus yang salah satunya bertujuan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua juga belum tepat sasaran. Manfaat dana otsus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua. Alokasi belanja pendidikan yang ditetapkan sebesar 30 persen dan belanja kesehatan 15 persen dari total dana otsus belum terpenuhi.
Di Provinsi Papua, sepanjang tahun 2013-2017 hanya 4,28 persen dana otsus yang dialokasikan untuk pendidikan dan 7,43 persen. Bahkan di Papua Barat, alokasi dana otsus untuk pendidikan hanya 3,52 persen dan kesehatan hanya 2,56 persen.
Atas dasar temuan itulah, menurut Suharso, pemerintah mengusulkan perubahan dua ketentuan draf RUU Otsus Papua, yakni terkait besaran anggaran dana otsus serta kewenangan pemekaran wilayah. Jika dana otsus ditambah, perlu optimalisasi pengawasan pengelolaan dana otsus. Pemerintah juga mengusulkan penguatan peran Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan masyarakat sipil dalam pengelolaan dana otsus.
Dari sisi SDM, kapasitas personel pengelola dan pengemban dana otsus juga harus dikuatkan. Salah satunya dengan penguatan atau penambahan tenaga monitoring dan evaluasi di kabupaten atau kota.
Kinerja pemda
Anggota Pansus RUU Otsus Papua dari Fraksi Partai Amanat Nasional Guspardi Gaus mengatakan, wajar saja jika IPM Papua masih rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Sebab, alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan masih rendah. Ini harus dievaluasi secara mendalam mengapa program tidak tepat dan tidak bisa dilakukan dengan optimal. Selain itu, terkait dengan tata kelola keuangan daerah, pemda masih membutuhkan pendampingan dan supervisi dari pusat. Sebab, ternyata masih banyak daerah yang mendapatkan opini disclaimer dan adverse.
”Ternyata kinerja pemda dalam mengelola anggaran dana otsus itu juga belum sesuai harapan. Ini harus dievaluasi secara menyeluruh agar nantinya penambahan anggaran dana otsus tidak salah sasaran,” kata Gaus.
Rasa aman
Sementara dalam raker itu, anggota DPD dari Papua Barat Filep Wamafma mengatakan, selain pendekatan kesejahteraan dan pembangunan melalui revisi UU Otsus Papua, masyarakat juga membutuhkan perasaan aman. Selama ini, dengan situasi pengamanan dan banyaknya aparat keamanan, masyarakat merasa takut. Apalagi, sejarahnya, masyarakat Papua memiliki trauma terhadap kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
“Situasi di Papua Barat relatif aman dan tidak ada gejolak seperti di Papua. Tetapi, pengamanannya seperti situasi darurat. Jika ini tidak dievaluasi, rakyat akan ketakutan sehingga pembangunan juga tidak bisa berjalan,” kata Filep.
Filep memberikan contoh, salah satu kejadian yang menonjol adalah demonstrasi penolakan pembangunan kantor koramil di Papua Barat. Saat demonstrasi ada satu korban jiwa dari masyarakat Papua diduga karena kekerasan aparat. Masyarakat pun kian merasa takut dengan kehadiran aparat. Jika trauma terhadap kekerasan ini tidak diatasi dengan tepat, masyarakat Papua bisa apatis terhadap program apapun yang akan dilakukan di sana.
”Saya meminta secara khusus kepada Wakil Kepala BIN dan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) agar kehadiran aparat di Papua tidak menakuti warga. Jika memang telah terjadi kekerasan dan pelanggaran hukum, kami meminta ada penegakan hukum yang adil,” kata Filep.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, mengatakan, keinginan pemerintah untuk merevisi terbatas UU Otsus Papua sebenarnya belum sejalan dengan Papua. Masyarakat Papua, terutama Majelis Rakyat Papua, menginginkan evaluasi menyeluruh terhadap otonomi khusus, sedangkan pemerintah berfokus pada Pasal 34 terkait anggaran dan Pasal 76 tentang pemekaran.
”(Papua) ingin evaluasi menyeluruh karena substansi otonomi khusus bukan hanya soal dana dan pemekaran, melainkan ada substansi lain yang selama ini belum pernah disentuh, misalnya soal hak asasi manusia dan rekonsiliasi,” kata Adriana.
Ia berharap revisi UU Otsus yang saat ini masih dibahas pemerintah dan DPR lebih mempertimbangkan keinginan Papua. ”Kalau pada akhirnya tetap versi revisi terbatas itu yang dimaksudkan sebagai kelanjutan otsus, saya pikir akan ada penolakan lagi dari Papua,” tambah Adriana. (DEA/NIA)