SAE Nababan, tokoh oikumene ini, merupakan tokoh berpengaruh di sejarah gereja-gereja di Indonesia. Ia tidak hanya fokus mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, tetapi juga gereja-gereja di seluruh belahan bumi.
Oleh
Nikolaus Harbowo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendeta Soritua Albert Erns Nababan (88) meninggal dunia pada Sabtu (8/5/2021) sore di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, akibat gangguan pernapasan. SAE Nababan, biasa orang menyapanya, tak hanya dikenang sebagai teolog ternama, tetapi juga tokoh agama yang gigih memperjuangkan keadilan bagi gereja-gereja di dunia.
SAE meninggalkan istri, Alida Nababan, tiga anak, serta enam cucu.
Hotasi Nababan, putra sulung SAE, melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, menyampaikan, ayahnya yang merupkan pimpinan (Ephorus) HKBP ini disemayamkan di Rumah Duka Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta, hingga Senin (10/5/2021) depan. ”Pemakaman (SAE) akan dilakukan di kampung halaman, Siborongborong, Tapanuli Utara,” ujar Hotasi.
SAE merupakan lulusan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada 1956 dan pada tahun yang sama ditahbiskan menjadi pendeta. Setelah menjalani pelayanan sebagai pendeta muda di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Medan, Sumatera Utara, SAE menempuh studi di Universitas Ruperto Carola, Heidelberg, Jerman, dan lulus sebagai doktor teologi pada Februari 1963.
Dalam organisasi gereja, SAE pernah menjabat sebagai pimpinan (Ephorus) HKBP selama 1987-1998. Di periode kedua kepemimpinannya (1992-1998), rezim Orde Baru melakukan intervensi pada pemilihan pimpinan HKBP karena SAE dianggap terlalu vokal dalam menyuarakan penghargaan atas kemanusiaan dan prinsip demokrasi. Ini memunculkan dualisme kepemimpinan di HKBP dan baru selesai setelah pemerintahan Soeharto tumbang.
Tak hanya di Indonesia, SAE juga aktif di berbagai forum ekumenis dunia, seperti Lutheran World Federation (LWF), Christian Conference of Asia (CCA), United Evangelical Mission (UEM), dan Dewan Gereja Dunia (World Council of Churces/WCC).
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom menceritakan sosok SAE sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di sejarah gereja-gereja di Indonesia. Ia tidak hanya fokus mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, tetapi gereja-gereja di seluruh belahan bumi.
Memperjuangkan keadilan
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom menceritakan sosok SAE sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di sejarah gereja-gereja di Indonesia. Ia tidak hanya fokus mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, tetapi juga gereja-gereja di seluruh belahan bumi.
”Peran penting beliau dalam gerakan oikumene internasional adalah kegigihannya memperjuangkan keadilan lebih daripada sekadar perdamaian,” kata Gultom.
Selain itu, SAE selalu mengingatkan bahwa kehidupan gereja tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial. Kehadiran gereja di bumi akan menjadi sia-sia apabila kehidupan gereja itu hanya berkutat di peribadahan.
”Gereja harus membuka diri untuk dunia sekitarnya dan harus menjadi saluran berkat buat dunia. Itu bukan untuk mengkristenkan orang-orang, melainkan semata-mata demi kemanusiaan itu sendiri,” ucap Gultom mengenang pesan SAE.
SAE selalu mengingatkan bahwa kehidupan gereja tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial. Kehadiran gereja di bumi akan menjadi sia-sia apabila kehidupan gereja itu hanya berkutat di peribadahan.
Menjaga kerukunan
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Jansen Sitindaon juga mengungkapkan kedekatannya dengan SAE. Jansen sering sekali mendapati SAE selalu memakai peci, kopiah, atau topi songke khas daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Itu tak hanya dipakai di acara nasional, tetapi juga internasional.
Saya pernah bertanya, ”Apa alasannya memakai ini?” Beliau menjawab, ”Peci ini identitas Indonesia sehingga kita harus lestarikan dan bangga memakainya.”
Jansen juga mengungkapkan bahwa SAE memiliki hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh lintas agama, seperti mantan Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Mereka berteman baik dan SAE ikut bahu-membahu menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia.
”Jadi, beliau sangat pluralis,” kata Jansen.
Selain itu, Jansen juga mengenang SAE sebagai sosok yang pintar, tegas, dan tidak kenal kompromi. Dari kehidupan pribadi, SAE selalu disiplin soal waktu. Hal itu juga diungkapkan oleh Gultom. Bahkan, Gultom ingat kalimat yang pernah disampaikan SAE, ”Waktu kita ini terbatas. Tuhan memberikan waktu kepada kita yang sangat terbatas, dan olehnya tidak boleh disia-siakan.”