Pemerintah Diminta Identifikasi agar Tak Semua Warga Sipil Dilabelisasi Teroris
Pemerintah mengklaim labelisasi kelompok kriminal bersenjata Papua beralasan hukum karena diatur UU Pemberantasan Terorisme dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun, perlu diidentifikasi agar warga sipil terlindungi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim labelisasi kelompok kriminal bersenjata Papua beralasan hukum karena diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme dan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, peneliti masalah Papua menyayangkan labelisasi tersebut. Jika tidak ada identifikasi yang jelas siapa kelompok kriminal bersenjata, labelisasi bisa menjadi izin untuk membunuh (license to kill). Warga sipil harus diberi perlindungan agar tidak menjadi korban salah tembak.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD kepada Kompas, Jumat (30/4/2021), mengatakan, pemerintah mengambil langkah tersebut karena kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang jumlahnya kecil itu semakin brutal dan terus merongrong persatuan dan kesatuan bangsa. Sebelum langkah diambil, pemerintah terlebih dahulu mendengar suara dari masyarakat sipil, seperti Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menurut Mahfud, eskalasi keamanan di Papua akhir-akhir ini juga mengusik ketenangan bangsa. Selain itu, aparat penegak hukum dan Ketua MPR Bambang Soesatyo ikut mendorong labelisasi itu.
”Saat ingin menetapkan KKB sebagai teroris, kalau kita menuruti media sosial yang beragam itu, lalu kapan membuat keputusannya? Selalu ada pro-kontra. Sebagai menteri koordinator, saya panggil Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menteri Luar Negeri, Kepala BNPT, Kepala Bais, Panglima TNI, Pangdam, Kapolda, Mendagri, dan lain-lain, untuk menyatakan sikap bersama,” terang Mahfud.
Sebelumnya, untuk mengatasi konflik bersenjata di Papua, Mahfud mengklaim dirinya sudah beberapa kali berdialog dengan tokoh agama, tokoh adat, hingga perwakilan DPR Papua. Dari dialog itu disimpulkan, mayoritas atau sekitar 92 persen masyarakat Papua masih ingin bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya sedikit yang mendukung gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Saat ingin menetapkan KKB sebagai teroris, kalau kita menuruti media sosial yang beragam itu, lalu kapan membuat keputusannya? Selalu ada pro-kontra. Sebagai menteri koordinator, saya panggil Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Hukum dan HAM untuk menyatakan sikap bersama.
Selain itu, jika melihat data pemilu terakhir 2019, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang lebih dari 90 persen di wilayah Papua. Dengan fakta itu, pemerintah berasumsi bahwa tidak mungkin seluruh masyarakat Papua benar-benar menghendaki lepas dari NKRI. Jika benar ingin lepas dari NKRI, mereka tentu tidak akan mengikuti pemilu.
”Sisanya yang kecil itu, ada yang netral dan bandel. Yang bandel ini jumlahnya kecil sebenarnya, tetapi karena dibiarkan akhirnya terus merongrong,” kata Mahfud.
Dari kacamata hukum nasional, KKB dinilai masuk dalam kategori tindakan terorisme yang diatur dalam UU No 5/2018, yaitu tindakan kekerasan yang mengancam, membuat suasana takut, meneror, membunuh orang-orang sipil non-kombatan, serta merusak fasilitas publik karena alasan ideologi, politik, dan keamanan.
Berdasarkan catatan Kompas dan data Polda Papua dari Januari hingga 27 April 2021, KKB telah melakukan 17 aksi penyerangan. Akibat aksi KKB, enam aparat keamanan dan enam warga sipil meninggal. Sementara empat aparat keamanan dan dua warga terluka. KKB juga membakar sekolah, helikopter milik swasta, dan fasilitas telekomunikasi di beberapa tempat di Kabupaten Puncak, Papua.
Sementara itu, instrumen hukum Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 juga mengatur bahwa setiap negara berhak menyatakan daftar terorisnya sendiri di negaranya. Dengan pertimbangan itu, labelisasi teroris terhadap KKB dianggap beralasan hukum karena memenuhi syarat hukum nasional dan internasional.
Identifikasi secara jelas
Muhammad Rifai Darus selaku juru bicara Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, Pemprov Papua sepakat bahwa segala tindakan yang dilakukan sekelompok orang yang mengaku sebagai bagian dari KKB adalah perbuatan yang meresahkan, melanggar hukum, serta mencederai prinsip-prinsip dasar HAM. Akan tetapi, lanjut Rifai, Pemprov Papua meminta kepada pemerintah pusat dan DPR agar mengkaji kembali penyematan label terhadap KKB sebagai teroris.
”Kami berpendapat pengkajian tersebut harus bersifat komprehensif dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan hukum terhadap warga Papua secara umum,” ujarnya.
Menurut Rifai, Pemprov Papua mendorong agar TNI dan Polri terlebih dahulu memetakan kekuatan KKB yang melingkupi persebaran wilayahnya, jumlah orang, dan ciri-ciri khusus yang menggambarkan tubuh organisasi tersebut.
”Adanya kajian bertujuan untuk mencegah peristiwa salah tembak dan salah tangkap yang menyasar warga setempat. Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi warga Papua,” katanya.
Terkait hal itu, Mahfud menyampaikan, aparat penegak hukum sudah mengidentifikasi kantong-kantong dan orang-orang yang terlibat dan terafiliasi dengan KKB. Dia mengklaim pemerintah sudah memiliki data berupa daftar jumlah, nama, dan kantong-kantong wilayah yang ditempati KKB. Menurut dia, jumlahnya kecil sehingga dapat ditangani aparat dengan cara penegakan hukum.
”Kelompok sudah jelas siapa dan mengaku mereka. Yang diburu itu juga sudah ada nama-namanya. Kita sudah punya datanya. Nanti tindakan aparat lebih tegas dan terukur saja setelah ini. Tentu, dengan catatan, kita tetap akan melindungi rakyat (sipil),” papar Mahfud.
Rifai berpendapat, Pemprov Papua menyatakan bahwa masyarakat akan tetap dan selalu setia kepada NKRI. Karena itu, masyarakat menginginkan agar pendekatan keamanan di Papua lebih humanis dan mengedepankan dialog, bukan kekerasan atau pertukaran peluru.
Lindungi warga sipil
Peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan, pihaknya sangat kecewa dengan langkah pemerintah melabelisasi teroris kepada OPM dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Menurut dia, itu merupakan langkah mundur yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. Langkah ini justru mendekonstruksi upaya membangun kepercayaan publik yang telah dilakukan Jokowi selama dua periode. Selama ini, Jokowi tercatat sudah 11 kali berkunjung dan berdialog dengan warga Papua. Lebih jauh, upaya ini justru akan memperkeruh situasi dan memperpanjang lingkaran kekerasan di Papua.
”Ini jelas bukan langkah yang tepat karena hanya memperpanjang lingkaran kekerasan di Papua. Labelisasi itu bisa menjadi license to kill terhadap kelompok yang dianggap teroris. Ini akan menambah luka baru bagi masyarakat Papua yang memang sudah trauma terhadap kekerasan aparat,” terang Cahyo.
Ini jelas bukan langkah yang tepat karena hanya memperpanjang lingkaran kekerasan di Papua. Labelisasi itu bisa menjadi license to kill terhadap kelompok yang dianggap teroris. Ini akan menambah luka baru bagi masyarakat Papua yang memang sudah trauma terhadap kekerasan aparat.
Cahyo sepakat dengan pendapat Gubernur Papua, jika kebijakan itu tidak diikuti dengan identifikasi yang jelas dan valid, akan banyak fenomena salah tangkap dan salah tembak yang terjadi di Papua. Hal itu bisa memicu kemarahan masyarakat Papua dan memutus kepercayaan publik yang selama ini dibangun Jokowi. Akibatnya, resolusi konflik semakin sulit untuk dicapai secara damai.
Dengan situasi seperti ini, Cahyo berharap pemerintah dapat memisahkan secara tegas mana yang masuk KKB dan mana yang warga sipil. Dibutuhkan mekanisme khusus untuk melindungi warga sipil. Caranya dengan membentuk penjaga perdamaian lokal, yang dilatih untuk bernegosiasi kepada KKB maupun aparat. Ini adalah upaya untuk melindungi warga sipil dari salah tembak, salah tangkap, dan kekerasan membabi buta yang dilakukan aparat.
”Papua itu tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan, karena mereka sudah mengalami trauma masa lalu dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak selesai secara hukum. Idealnya, langkah yang diambil adalah jeda kemanusiaan, dialog, kemudian resolusi konflik seperti di Aceh,” kata Cahyo.