Jeda kemanusiaan diusulkan di Papua agar terjadi gencatan senjata dan dialog dilakukan antarpihak yang berkonflik. Dialog penting untuk menyelesaikan konflik di Papua.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eskalasi gangguan keamanan di Papua terus meningkat. Sejak Januari hingga April 2021, tercatat 13 serangan dilakukan kelompok kriminal bersenjata yang menyebabkan empat anggota TNI dan enam warga sipil meninggal. Untuk menyelesaikan konflik, perlu ada jeda kemanusiaan agar ada dialog di antara pihak yang berkonflik.
Kelompok kriminal bersenjata (KKB) terus menebar aksi teror di Kabupaten Puncak dalam tiga pekan terakhir. Guru, pelajar, dan pengemudi ojek menjadi sasaran KKB. Yang terbaru, Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (Kabinda) Papua Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Nugraha gugur dalam kontak tembak dengan KKB di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Puncak, Minggu (25/4/2021).
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth dalam diskusi daring bertajuk ”Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua” yang digelar Forum Akademisi Papua Damai (FAPD), Senin (26/4/2021), mengatakan, lingkaran kekerasan di Papua tak kunjung selesai karena perspektif elite dan masyarakat Papua berbeda mengenai akar permasalahan di sana.
Elite politik, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, melihat bahwa permasalahan di Papua semata hanya persoalan kesejahteraan dan ekonomi. Oleh karena itu, strategi yang digunakan adalah pembangunan infrastruktur dan menambah alokasi dana otonomi khusus (otsus) Papua yang diharapkan meningkatkan kesejahteraan warga Papua. Namun, kenyataannya, pembangunan yang dilakukan itu manfaatnya tidak optimal dirasakan masyarakat. Masyarakat justru merasa dimarginalisasi dengan program pembangunan dari pemerintah pusat yang dianggap top down itu.
”Seharusnya ada evaluasi mengapa pembangunan yang dilakukan di Papua tidak menghasilkan kesejahteraan, justru dinilai memosisikan orang asli Papua (OAP) semakin terpinggirkan. Akumulasi persoalan itu kemudian mengarah pada isu disintegrasi yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai jalan keluar masalah,” kata Adriana.
Selain Adriana, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah anggota tim peneliti FAPD dan akademisi Universitas Cendrawasih Papua Elvira Rumkabu, Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden Theo Litaay, Dewan Adat Papua Leo Imbiri, dan Kuasa Hukum Aliansi Mahasiswa Papua Michael Himan.
Menurut Adriana, isu disintegrasi dalam konteks Papua sebenarnya bersumber pada ketidakpuasan masyarakat yang tidak ditanggapi secara tepat. Ada berbagai isu yang saling berkelindan dan harus diurai satu demi satu, mulai dari persoalan sejarah bergabungnya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), politik, hingga isu ekonomi mengenai kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) Papua.
Persoalan yang kompleks ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan negara dan pembangunan. Lebih jauh, kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah harus dikembalikan. Harus ada dialog inklusif untuk mempertemukan sudut pandang masyarakat dan elite pemerintahan.
”Mengapa tidak dilakukan jeda kemanusiaan? Jeda kemanusiaan adalah gerakan gencatan senjata untuk melakukan dialog di antara kedua belah pihak yang berkonflik. Dialog ini adalah pendekatan yang belum pernah dilakukan untuk menciptakan perdamaian di Papua,” kata Elisabeth.
Selain itu, yang juga penting, menurut Adriana, penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu di Papua yang stagnan dan seolah tidak menjadi perhatian serius pemerintah. ”Padahal, itu menjadi kunci pendekatan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah. Juga bagaimana memberikan rasa aman kepada warga di sana,” tambahnya.
Beda konteks
Theo Litaay mengatakan, jeda kemanusiaan menjadi salah satu usulan menarik, tetapi harus jelas definisinya. Sebab, jika merujuk pada konflik bersenjata di Aceh, misalnya, konteksnya berbeda dengan di Papua yang dianggap masih sebatas gangguan keamanan.
Menurut dia, pada konflik bersenjata di Aceh, jeda kemanusiaan bisa dilakukan karena saat itu Provinsi Aceh sudah dikuasai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer dan amunisi persenjataan lengkap. Pemerintah akhirnya menyelesaikan konflik itu dengan hukum humaniter atau kemanusiaan internasional.
”Untuk konteks di Papua, belum sampai pada level itu. Statusnya di Papua itu masih kategori disturbance atau gangguan keamanan dari KKB di wilayah pegunungan bukan peperangan seperti di Aceh. Karena itu, untuk dilakukan jeda kemanusiaan perlu didefinisikan dengan ukuran berbeda dan argumentasi yang tepat,” kata Theo.
Ia menambahkan, saat ini pemerintah juga telah merumuskan kebijakan dengan pendekatan baru untuk masalah Papua. Misalnya, pemerintah akan mengedepankan aspek keamanan manusia (human security) untuk persoalan di Papua. Masalah pengungsi di Nduga, misalnya, sedang ditangani agar mereka bisa mendapatkan hunian baru atau bahkan kembali ke kampungnya. Selain itu, pemerintah telah mencoba melakukan dialog dengan masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Elvira Rumkabu mengatakan, pendekatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur dan program ekonomi lainnya, diakuinya membawa perubahan. Namun, manfaatnya belum dirasa optimal oleh masyarakat. Ketika pembangunan tersebut sudah dilakukan, tetapi eskalasi kekerasan terus ada, ia pun menilai masih ada aspirasi politik yang belum tersampaikan.
”Dalam setiap agenda pembangunan selalu muncul militer dan aparat. Dalam proses pembangunan itu pun, tak jarang diikuti berbagai macam kekerasan. Inilah yang membuat orang Papua terus merasa diteror dan tidak mendapatkan perlindungan dan rasa aman,” kata Elvira.