Kemendagri Minta Pemprov Sumatera Barat Evaluasi Aturan Intoleransi Berbusana bagi Siswi
Kementerian Dalam Negeri akan memastikan aturan apa yang membuat SMKN 2 Padang, Sumatera Barat mewajibkan siswi non-Muslim untuk mengenakan hijab. Pemprov Sumbar diminta mengevaluasi aturan tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Dalam Negeri akan segera meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk mengevaluasi aturan yang mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan hijab. Langkah ini diperlukan agar persoalan intoleransi di sekolah tak lagi terjadi di kemudian hari.
"Kami akan minta pemprov (Sumatera Barat) untuk evaluasi. Kami perlu teliti agar bisa memberikan solusi yang tepat," ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik saat dihubungi di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Sebelumnya, seorang siswi non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, menolak menggunakan hijab sesuai peraturan sekolah. Kewajiban mengenakan hijab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/ 2005.
Akmal menyampaikan, Kemendagri tak ingin berspekulasi terlalu jauh terkait titik awal kesalahan penerapan aturan di SMKN 2 Padang. Hal tersebut harus didalami terlebih dahulu, apakah kesalahan ada di perda atau peraturan kepala daerah (perkada).
"Harus dipastikan dulu jenis aturannya, perda atau perkada. Apa diatur eksplisit, harus diteliti dulu. Jangan-jangan itu inisiatif kepala sekolah yang tidak ada dasar hukumnya," ucap Akmal.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md melalui akun Twitter resmi miliknya, berpandangan, setiap pihak tidak boleh mewajibkan anak non-Muslim untuk memakai hijab di sekolah.
Ia bercerita bahwa pada akhir tahun 1970-an hingga 1980-an anak-anak sekolah sempat dilarang memakai hijab. Saat itu, sejumlah pihak pun protes keras terhadap aturan tersebut ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Akhir 1970-an s-d 1980-an anak2 sekolah dilarang pakai jilbab. Kita protes keras aturan tsb ke Depdikbud. Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dgn mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah.— Mahfud MD (@mohmahfudmd) January 24, 2021
"Setelah sekarang memakai hijab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak non-Muslim memakai hijab di sekolah," ujarnya.
Sampai pada akhir 1980-an, lanjut Mahfud, di Indonesia terasa ada diskriminasi terhadap orang Islam. Namun, berkat perjuangan yang kuat dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat.
Lalu, di awal 1990-an berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Masjid dan majelis taklim pun tumbuh di berbagai kantor pemerintah dan kampus-kampusm
Pada awal 1950-an Menteri Agama Wahid Hasyim (NU) dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran (Mendikjar) Bahder Johan (Masyumi) membuat kebijakan bahwa sekolah umum dan sekolah agama mempunyai efek sipil (civil effect) yang sama. Hasilnya, sejak 1990-an, kaum santri terdidik bergelombang masuk ke posisi-posisi penting di dunia politik dan pemerintahan.
"Kebijakan penyetaraan pendidikan agama dan pendidikan umum oleh dua menteri itu sekarang menunjukkan hasilnya. Pejabat-pejabat tinggi di kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan POLRI, banyak diisi kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah wasathiyah Islam, moderat dan inklusif," ucap Mahfud.