Komnas Perempuan menilai hukuman kebiri pada pelaku kejahatan seksual pada anak tak tepat karena kejahatan seksual itu tak semata-mata didorong libido. Adapun KPAI menilai hukuman itu dapat menciptakan efek jera.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
AFP/ RAUL ARBOLEDA
Boneka lucu di letakkan di alun-alun Bolivar, Bogota dalam aksi menentang pelecehan anak, Senin (30/11/2020). Ribuan mainan lucu bertebaran di sekitar alun-alun utama Bogota pada hari Senin dengan pesan menolak kekerasan seksual yang mengancam 37 anak setiap harinya di Kolombia.
JAKARTA, KOMPAS – Hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak kembali menuai pro dan kontra.
Pro dan kontra yang sempat mengemuka ketika pembahasan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, kembali muncul pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual. PP yang diteken Presiden Joko Widodo pada awal Desember lalu itu, merupakan aturan turunan dari UU No 17/2016
Seperti diketahui, dalam PP itu mengatur lebih lanjut soal tata cara pelaksanaan hukuman kebiri kimia. Hukuman misalnya, dikenakan pada pelaku persetubuhan anak berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelaku yang dapat dikenai hukuman ini adalah yang menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggunya atau hilangnya fungsi reproduksi, hingga korban meninggal dunia.
Dalam pelaksanaannya, kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun. Tindakan kebiri kimia dilakukan melalui tiga tahapan, yakni penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan. Penilaian klinis dilakukan oleh tim yang terdiri dari petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri.
ERIK UNTUK KOMPAS
Aparat Polres Konawe Utara menangkap Agus (57) pelaku kekerasan seksual terhadap anak tirinya, di Konawe Utara, Sultra, beberapa waktu lalu.
Efek jera
Atas hukuman kebiri kimia itu dan terbitnya PP, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra saat dihubungi, Senin (4/1/2021), mengapresiasinya. PP yang pembahasannya memakan waktu lima tahun dan dibahas lintas pemangku kepentingan itu, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum untuk mengeksekusi putusan pemberatan terhadap pelaku dewasa yang melakukan kejahatan seksual pada anak.
“KPAI berharap PP ini bisa memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual pada anak termasuk calon predator kejahatan seksual pada anak,” katanya.
Jasra melanjutkan, PP diharapkan memberikan kepastian hukum bagi implementasi hukuman kebiri kimia. Hukuman ini pun diharapkan memberi keadilan bagi korban.
Tak tepat sasaran
Namun berbeda dengan KPAI, Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Mariana Amiruddin menilai hukuman itu tak tepat. Hukuman kebiri kimia dinilainya mahal, tidak tepat sasaran, dan kurang komprehensif untuk menangani kompleksitas kejahatan seksual.
Dari kajian Komnas Perempuan, kejahatan seksual pada anak selama ini tidak semata-mata didorong oleh libido. Kejahatan seksual didorong oleh faktor mental pelaku. Kejahatan seksual bisa merupakan ekspresi kemarahan pelaku maupun adanya relasi kuasa yang timpang antara korban dengan pelaku. Karena itu, pelaku merasa memiliki kekuatan sehingga berhak melakukan kekerasan seksual pada anak.
“Kalau perbuatannya saja tidak didasari sepenuhnya oleh dorongan seksual, lalu hukumannya kebiri kimia untuk mengendalikan itu. Apakah ini benar-benar tepat sasaran untuk menangani kasus kejahatan seksual pada anak?” kata Mariana.
Menurutnya, problem itu lebih tepat dituntaskan dengan pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain karena memiliki paradigma yang lebih komprehensif untuk melindungi korban, materi di dalam RUU tidak berfokus pada penghukuman badan sebagai hukuman pidana, tetapi juga keadilan restoratif. Di dalamnya, misalnya, diatur soal rehabilitasi pelaku. Rehabilitasi pelaku ini menyasar perubahan mental, agar ke depan pelaku tidak kembali melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
“Apalagi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga pernah memberi pernyataan bahwa mereka tidak mau menjadi eksekutor penyuntikan kebiri kimia karena bertentangan dengan kode etik profesi mereka,” tambahnya. Keberatan ini sempat disampaikan saat pembahasan UU Perlindungan Anak. Sebab, akan bertabrakan dengan norma etika universal kedokteran yang melarang tenaga kesehatan menyakiti seseorang. Norma tersebut menjadi pegangan seluruh tenaga kesehatan di dunia.
Penanganan luar biasa
Di tengah pro dan kontra itu, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan, kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang mengingkari hak asasi anak, menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga, menghancurkan masa depan anak serta mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
“Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia,” ujar Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Apalagi, fenomena kasus kekerasan seksual semakin memprihatinkan. Berdasarkan Laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 5.640 kasus.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah terus mengupayakan agar anak-anak di Indonesia terlindungi dari setiap tindak kekerasan dan eksploitasi melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. “Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan,” tegas Nahar.