Dorong Rekonsiliasi agar Beban Sejarah Tak Berlarut-larut
Rekonsialiasi atas peristiwa 1965 perlu dilakukan agar bangsa Indonesia tidak terbebani dengan sejarah kelam yang tak terselesaikan. Presiden dapat membantu dengan memberi rehabilitasi terhadap ribuan tahanan politik
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia masih muncul dalam opini publik. Ini terjadi lantaran agenda rekonsiliasi tak berjalan lancar. Untuk itu, pemerintah harus melakukan upaya politik konkret agar beban sejarah ini tak berlarut-larut.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terhadap 1.203 responden periode 23-26 September 2020 menunjukkan, sebanyak 36 persen responden mengetahui pendapat tentang kebangkitan PKI. Dari total responden yang mengetahui pendapat ini, sebesar 38,7 persen di antaranya atau setara 14 persen populasi menyatakan setuju dengan pendapat tersebut. Angka ini relatif stabil dalam hasil suvei selama lima tahun terakhir.
Ditinjau dari berbagai alasan dan pertimbangan, tak ada indikasi kebangkitan PKI di Indonesia. Partai berlambang palu arit itu tak bisa didirikan karena terbentur undang-undang
Survei ini dibahas oleh Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra; Guru Besar Purnawaktu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno; Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik LIPI Asvi Warman Adam; Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid; Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid; dan Ketua Komnas Perempuan (2010-2014) Yuniyanti Chuzaifah.
Ditinjau dari berbagai alasan dan pertimbangan, kata Azyumardi, tak ada indikasi kebangkitan PKI di Indonesia. Partai berlambang palu arit itu tak bisa didirikan karena terbentur undang-undang. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 menyatakan PKI sebagai partai terlarang. Di samping itu, belum ada tanda-tanda penggunaan metode marxisme, seperti perampasan alat produksi dan kapital oleh kaum buruh dan tani di Indonesia.
Oleh sebab itu, Azyumardi lebih melihat isu kebangkitan ini muncul karena kepentingan politik tertentu. Untuk mengakhirinya, pemerintah harus kembali mendorong agenda rekonsiliasi. Wacana yang dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk kembali menghidupkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) menjadi angin segar.
”Upaya rekonsiliasi harus kita genjot dan dilakukan dengan mencari kebenaran dan kesiapan untuk memaafkan. Kalau tak ada keberanian untuk mencari kebenaran, akan susah. Kita harus mencoba berdamai dengan sejarah masa lalu. Ini harus terus disosialisasikan kepada publik,” ujarnya.
Isu kebangkitan ini muncul karena kepentingan politik tertentu. Untuk mengakhirinya, pemerintah harus kembali mendorong agenda rekonsiliasi.
UU KKR sempat disahkan tahun 2004. UU tersebut memerintahkan agar KKR segera dibentuk setahun setelah undang-undang ini disahkan. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang tersebut pada Desember 2006. KKR pun tidak jadi dibentuk sehingga upaya pengungkapan dan rekonsiliasi untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak berlanjut.
Franz Magnis-Suseno berpendapat, isu tentang kebangkitan PKI harus diakhiri. Sebab, hal ini akan membuat rekonsiliasi semakin tak mungkin. Padahal, rekonsiliasi mengandaikan bahwa korban harus diakui sebagai korban. Bangsa Indonesia harus berani mengakui bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada masa lalu.
Isu tentang kebangkitan PKI harus diakhiri. Sebab, hal ini akan membuat rekonsiliasi semakin tak mungkin.
Gerakan 30 September 1965 pun, kata Magnis, juga bentuk kejahatan. Pelarangan terhadap pembentukan PKI beserta penyebaran ideologi Marxisme-Leninisme sudah tepat. Namun, persoalannya tidak pada aturan itu. Banyak kekejaman yang terjadi di luar porsi, seperti penyiksaan terhadap perempuan-perempuan yang dituduh terlibat.
”Jangan kita mengizinkan kelompok mana pun menjadi obyek kebencian. Kebencian terhadap kelompok apa pun tak boleh diberi ruang karena akan membuat kita berkonflik,” ujarnya.
Menurut Asvi Warman Adam, dalam rentang 1998-2016 telah terjadi pasang surut dan pasang naik dalam rangka rekonsiliasi. Berbagai penelitian baru bermunculan untuk menandingi narasi sejarah tunggal versi Orde Baru. Dalam keputusan International People’s Tribunal 1965 tahun 2016 disebutkan, korban peristiwa 1965 bukan saja mereka yang dituduh anggota PKI dan ormasnya atau tidak sama sekali, melainkan juga kalangan PNI progresif dan para pendukung Soekarno.
Meski tidak mengikat secara hukum, persidangan yang digelar di Belanda itu berdampak sangat besar bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya, katanya, pemerintah membiayai pembahasan kasus 1965 melalui simposium 1965. Namun, isu kebangkitan komunisme kembali digulirkan. Kontrawacana atas simposium 1965 digagas melalui somposium ”Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain”.
Menurut Asvi, Presiden bisa turut membantu penyelesaian kasus tersebut. Presiden bisa mengakui bahwa telah terjadi kesalahan pada masa lalu dengan pencabutan kewarganegaraan sejumlah orang Indonesia yang berada di luar negeri tahun 1965. Di samping itu, Presiden bisa memberikan rehabilitasi kepada ribuan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru. Paralel dengan itu, KKR yang sempat dilontarkan Mahfud MD bisa dibentuk lagi.
”Bila ingin diselesaikan dengan mekanisme KKR, ya, silakan bentuk KKR meskipun ini sudah banyak waktu yang terbuang. Karena itu semua akan berguna untuk kepentingan sejarah,” ujarnya.
Presiden bisa memberikan rehabilitasi kepada ribuan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru. Paralel dengan itu, KKR yang sempat dilontarkan Mahfud MD bisa dibentuk lagi.
Usman Hamid menambahkan, sentimen kebangkitan komunisme menggagalkan perjuangan korban. Pada 2015, Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri waktu itu ingin mencabut Keputusan Presiden 28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G 30 S/PKI Golongan C.
”Sayangnya, upaya itu digagalkan dengan propaganda kotor bahwa Presiden akan meminta maaf kepada PKI. Padahal, yang sedang dilakukan adalah menindaklajuti pendapat Mahkamah Agung yang meminta Presiden merehabilitasi tahanan politik golongan C,” katanya.
Menurut Alissa Wahid, bangsa Indonesia akan terus memikul beban sejarah bila tak ada closure terhadap tragedi 1965. Banyak sekali ”situasi menggantung” dalam sejarah Indonesia yang belum terungkap. Oleh sebab itu, dugaan pelanggaran HAM masa lalu harus segera dituntaskan.
”Ini ibarat kita naik gunung, tetapi membawa ransel sangat berat yang berisi bebatuan sehingga kita tersendat terus ketika mendaki. Ini pekerjaan rumah bangsa Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Yuniyanti Chuzaifah berpendapat bahwa Tragedi 65 merupakan tonggak perestuan negara atas kejahatan kemanusiaan. Dalam prosesnya, perempuan turut menjadi korban dari kekerasan seksual.