Ada Potensi Saling Lempar Tanggung Jawab Beri Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan
Saling lempar kewenangan dapat terjadi di penanganan pelanggar protokol kesehatan saat kampanye pilkada. Keselamatan publik dan kualitas pilkada dipertaruhkan.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada 2020 tetap terjadi kendati relatif belum banyak. Sinergi antarinstansi amat dibutuhkan dalam menangani pelanggar protokol kesehatan, termasuk dalam menjatuhkan sanksi.
Hal itu karena pilkada kali ini yang digelar di tengah pandemi Covid-19 menyisakan celah terkait dengan penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, yang cenderung kurang tegas. Saling lempar tanggung jawab dan kewenangan antarinstansi berpotensi terjadi dalam penanganan pelanggaran itu. Jika terjadi, hal itu dapat menyebabkan ketiadaan efek jera pelanggar dan mengancam keselamatan publik lantaran pilkada dapat menjadi penyebar Covid-19. Kondisi itu juga bisa memperkuat apatisme masyarakat, yang berdampak buruk bagi mutu pilkada.
Hingga Selasa (29/9/2020) malam, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI masih mengakumulasi laporan pengawasan kampanye 28-29 September. Berdasarkan data pada dua hari pertama kampanye, yakni 26-27 September 2020, ditemukan 19 pelanggaran protokol kesehatan. Pelanggaran itu, antara lain, terkait dengan pertemuan tatap muka dengan peserta lebih dari 50 orang, tidak menggunakan masker, dan tidak menjaga jarak. Kampanye akan berlangsung hingga 5 Desember 2020.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan, Bawaslu sudah mengirim peringatan tertulis kepada pelanggar protokol kesehatan saat kampanye 26-27 September 2020. Peringatan itu diterbitkan sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19.
Pasal 88 A PKPU No 13/2020 menyebutkan, jika ada yang melanggar kewajiban protokol kesehatan, Bawaslu dapat memberikan peringatan tertulis. Apabila sudah diperingatkan tertulis, tetapi protokol kesehatan tetap tak dijalankan, Bawaslu bisa menyampaikan rekomendasi ke kepolisian. Rekomendasi berisi permintaan agar pelanggar diberi sanksi sesuai dengan aturan perundangan.
Menurut Bagja, Bawaslu membuat tingkatan peringatan sesuai dengan jenis pelanggaran. Bawaslu akan memberikan peringatan tertulis, pembubaran massa, hingga rekomendasi proses pidana umum. Bagja menjelaskan, hingga kini belum ada rekomendasi proses pidana umum dari Bawaslu di daerah. Peringatan tertulis dinilai masih efektif menindak pelanggar.
”Kalau memang ada yang setelah ditegur tertulis masih melanggar, kami bisa melaporkan ke kepolisian agar ditindak pidana umum,” katanya.
Anggota Komisi Pemilihan Umum RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, setelah Bawaslu menentukan sanksi, hal itu akan direkomendasikan kepada pihak terkait, baik kepolisian maupun KPU. Pihak yang ditunjuk wajib menindaklanjutinya.
Beda pegangan regulasi
Terkait dengan protokol kesehatan di tahapan pilkada, Raka menuturkan, setiap instansi memiliki pegangan aturan sendiri-sendiri. Misal, KPU dan Bawaslu berpegang pada PKPU No 13/2020. Sementara Polri dan satuan polisi pamong praja bisa mengacu ke UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit, atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Terhadap mereka yang nyata-nyata melanggar dan terpenuhi unsur-unsurnya, menurut saya, ditindak saja sesuai dengan kewenangan masing-masing sehingga tidak banyak terjadi perdebatan. Sebenarnya sudah dipetakan tiap instansi tugasnya di mana supaya tidak saling lempar tanggung jawab. Maka koordinasi jadi penting. Dengan begitu, bisa dilihat lebih komprehensif. Publik akan tahu pihak mana yang tidak tegas,” papar Raka.
Pemidanaan terhadap pelanggar protokol kesehatan sudah diterapkan kepolisian kendati bukan dalam konteks pilkada. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, pada 28 September, wakil ketua DPRD setempat, yakni Wasmad Edi Susilo, ditetapkan kepolisian sebagai tersangka kasus pelanggaran protokol kesehatan karena menggelar acara dangdut di tengah pandemi Covid-19. Polisi tak menahan Wasmad. Dia diancam hukuman maksimal 1 tahun penjara dan atau denda Rp 100 juta, di antaranya berdasarkan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono menyampaikan, kepolisian tidak bisa asal memidanakan pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan. ”Ada ketentuan dari KPU yang mengatur tentang sanksi,” ujar Awi.
Bisa saling lempar
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menilai, salah satu dampak dari regulasi yang tak sempurna dalam penyelenggaraan pilkada di masa pandemi adalah ketidaktegasan skema penegakan hukum dan sanksi. Adapun pilkada di tengah pandemi merujuk pada UU Pilkada yang disusun dalam kondisi normal.
Di saat yang sama, lanjut Titi, pengaturan di PKPU juga terbatas terkait dengan upaya memberi efek jera. Rangkaian sanksi teguran, pembubaran, ataupun larangan berkampanye selama tiga hari terlalu ringan dibandingkan dengan dampak pelanggaran protokol kesehatan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan warga.
”Kalau masyarakat melihat pelanggaran protokol kesehatan tak tertangani dengan baik, maka stigma pilkada ini tidak aman dan tidak sehat bisa semakin kuat. Akibatnya, keengganan untuk terlibat dan berpartisipasi di pemilihan semakin menguat,” kata Titi.
Titi menambahkan, selama regulasi yang mengatur kepatuhan di protokol kesehatan masih mengandalkan PKPU, ketidaksepahaman dan saling lempar tanggung jawab dalam praktik di lapangan akan terjadi. Hal ini bisa berbahaya. Hal ini harus segera dibenahi dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yang memuat skema penegakan hukum komprehensif dan sanksi yang memberi efek jera.
Hanya saja, perppu ini juga tidak efektif apabila tidak disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam waktu yang memadai di antara pihak yang punya otoritas, khususnya KPU, Bawaslu, dan pihak kepolisian.
”Masa kampanye berlangsung dalam waktu cukup panjang, 71 hari. Godaan melakukan pelanggaran apalagi jelang hari pemilihan sangat mungkin terus terjadi,” katanya.
Epidemiolog Universitas Airlangga Surabaya, Laura Navila Yamani, mengatakan, tanpa regulasi dan sanksi tegas terkait protokol kesehatan, pilkada, terutama di tahapan kampanye, berpotensi menularkan Covid-19. Tanpa implementasi aturan yang tegas, masyarakat akan abai protokol kesehatan.
”Banyak kasus di Indonesia orang tanpa gejala. Mereka bisa ikut berkampanye dan mempercepat penularan Covid-19. Apalagi, kondisi penyebaran Covid-19 di Indonesia saat ini masih kritis,” kata Laura.