Sebanyak 22 Mantan Pejabat Negara Sabet Tanda Kehormatan
Sebanyak 22 dari 53 penerima tanda jasa dan kehormatan merupakan mantan pejabat negara. Pemerintah didorong memerinci detail parameter penerima penghargaan melalui peraturan pemerintah atau aturan pelaksana di bawahnya.
JAKARTA, KOMPAS – Mantan pejabat negara ramai-ramai menyabet tanda kehormatan yang diberikan dalam rangka peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia. Jumlahnya mencapai 22 orang dengan 11 orang diantaranya adalah pimpinan DPR, MPR, dan DPD dalam kurun waktu jabatan 2009-2019.
Para mantan pejabat negara itu merupakan bagian dari 53 penerima tanda jasa dan tanda kehormatan yang diberikan diberikan oleh Presiden Joko Widodo dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Kamis (13/08/2020). Penganugerahan tersebut merupakan kegiatan tahunan di Istana Kepresidenan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
"Penghargaan ini diberikan kepada beliau-beliau yang memiliki jasa terhadap bangsa dan negara. Ini lewat pertimbangan-pertimbangan yang matang oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Jadi pertimbangannya sudah matang," kata Presiden usai upacara.
Adapun, 53 penerima tanda jasa dan kehormatan tersebut terdiri dari 22 mantan pejabat negara, tujuh aparatur sipil negara setingkat eselon 1 atau 2, dua orang dari masyarakat umum, serta 22 petugas medis yang meninggal dunia akibat tertular Covid-19 saat menjalankan tugas.
Dari 22 orang mantan pejabat negara tersebut, 11 orang di antaranya berlatar belakang partai politik yang pernah menduduki kursi pimpinan di Senayan, mulai DPR, MPR, sampai DPD. Mereka adalah Fadli Zon (Wakil Ketua DPR 2014-2019), Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR 2014-2019), Agus Hermanto (Wakil Ketua DPR 2014-2019), Mahyudin (Wakil Ketua MPR 2014-2019), Farouk Muhammad Saleh (Wakil Ketua DPD 2014-2019), dan Rahmat Shah (anggota DPD 2009-2014 dan Anggota MPR 1999-2004). Keenam mantan pejabat negara ini menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Nararya.
Baca juga: 22 Tenaga Medis Terima Bintang Jasa
Sementar itu, empat orang mantan pimpinan Senayan lainnya menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Utama. Mereka adalah Bambang Soesatyo (Ketua DPR 2018-2019), Ahmad Basarah (Wakil Ketua MPR 2018-2019), Ahmad Muzani (Wakil Ketua MPR 2018-2019), dan Utut Adianto Wahyuwidayat (Wakil Ketua DPR 2018-2019). Satu orang lagi adalah Oesman Sapta Odang (Ketua DPD RI 2017-2019). Ia memperoleh Bintang Mahaputera Utama.
Adapun mantan pejabat negara penerima tanda kehormatan di luar Senayan adalah pimpinan sejumlah lembaga negara. Di antaranya adalah Muhammad Hatta Ali (Ketua Mahkamah Agung RI 2012-2017 dan 2017-2020), Teddy Lhaksmana Widya Kusuma (Wakil Kepala BIN 2017 - sekarang), dan Amzulian Rifai (Ketua Ombudsman RI 2016-2021).
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, dalam keterangan pers virtual usai upacara, menjelaskan, yang ditetapkan oleh Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan adalah nama-nama yang diusulkan oleh lembaga negara. Selama ini, mantan menteri dan wakil menteri serta mantan ketua dan wakil ketua lembaga negara selalu diusulkan oleh lembaga negara tempat mereka mengabdi.
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebagai rujukan, Mahfud melanjutkan, memang tidak mewajibkan negara memberikan bintang jasa kepada mantan ketua dan wakil ketua lembaga negara serta mantan menteri dan wakil menteri. Namun Pasal 30 dalam ketentuan itu menyebutkan bahwa kandidat penerima bintang jasa diusulkan antara lain oleh lembaga negara dan kementerian.
Maka ketika lembaga negara mengusulkan kandidat, Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan sebatas memproses sesuai ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2009. Mahfud menegaskan, pemerintah pada posisi menegakkan aturan hukum secara obyektif saja.
”Nah undang-undang itu dikeluarkan tahun 2009. Sejak 2010, ditradisikan dalam acara kenegaraan bahwa pejabat-pejabat itu dianggap berjasa sehingga begitu habis masa jabatannya, biasanya diusulkan oleh lembaganya. Semua, tidak terkecuali. Semua mantan ketua dan wakil ketua lembaga negara, ya mendapat selama tidak ada masalah hukum,” kata Mahfud.
Bahwa kemudian ada yang mendapat masalah hukum setelah menerima penghargaan, Mahfud melanjutkan, itu adalah soal lain. Sebab, syarat saat diusulkan dan disetujui ialah kandidat tidak sedang dalam masalah hukum.
Sejauh ini, ada beberapa mantan pejabat negara yang mendapat penghargaan tetapi di kemudian hari tersangkut kasus hukum dan akhirnya dipidana. Mereka antara lain adalah Irman Gusman (Ketua DPD 2009-2014 dan 2014-2016) Jero Wacik (Menteri ESDM 2011-2014), Suryadharma Ali (Menteri Agama 2009-2014) dan Taufik Kurniawan (Wakil Ketua DPR 2009-2014 dan 2014-2019).
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar di Yogyakarta, menyatakan, pemberian tanda kehormatan di Istana Kepresidenan selama ini sangat bias kekuasaan. Artinya, mereka yang diberi anugerah hampir semuanya adalah mantan pejabat, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
"Jabatan itu bukan prestasi tapi tanggung-jawab, amanat. Kalau dalam jabatan sesorang memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada bangsa dan negara, itu baru prestasi. Tapi yang terjadi selama ini, seolah-olah otomatis. Pejabat negara otomatis akan mendapat tanda kehormatan,” kata Zainal.
Logikanya, Zainal menjelaskan, aturan bukan sebatas teks melainkan mengandung semangat etik sekaligus tujuan yang ingin dicapai. ”Pertanyannya, apa yang ingin dituju sebenarnya dengan memberikan tanda jasa kehormatan kepada pejabat negara. Bukankah dengan memberikan gaji tinggi dan fasilitas kenengaraan adalah sudah merupakan bentuk penghargaan,” kata Zainal.
Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2009, menyebutkan, tanda kehormatan adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti dan kesetiaan yang luar biasa terhadap bangsa dan negara. Luar biasa dalam undang-undang itu disebutkan sebanyak 20 kali. Semua kategori anugerah, parameternya adalah sumbangsih yang luar biasa kepada bangsa dan negara.
”Selama Fadli Zon dan Fachri Hamzah menjadi pimpinan DPR misalnya, apa prestasi faktualnya yang luar biasa? Banyak undang-undang berantakan. Pengawasan DPR buruk. DPR menjelma menjadi DPR yang buruk. Saya tidak melihat adanya prestasi DPR, apalagi luar biasa. Seandainya pun ada, yang menurut saya tidak ada, itu merupakan produk DPR secara kolektif kolegial. Menjadi pimpinan DPR kan sebatas bagi-bagi jatah kekuasan berdasarkan hasil pemilu,” kata Zainal.
Jika mekanisme pemberian tanda kehormatan berlangsung terus seperti yang terjadi saat ini, Zainal menekankan, kewibawaan negara jatuh. Lebih berbahaya lagi, eksistensi negara itu sendiri nihil karena negara sejatinya hanya menjadi abstraksi kepentingan politik.
Untuk itu, Zainal merekomendasikan agar UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan direvisi. Paling tidak untuk sementara waktu, parameter penerima penghargaan dirinci lebih detail melalui peraturan pemerintah atau aturan pelaksana di bawahnya.
”Koreksi harus dilakukan. Ini penting supaya tidak malu-maluin. Masa tanda kehormatan menjadi tidak prestisius,” kata Zainal.
Sementara itu mengutip siaran pers Sekretariat Presiden, Presiden Jokowi menegaskan bahwa perbedaan pandangan antara dirinya dan Fachri Hamzah-Fadli Zon menggambarkan kehidupan demokrasi yang dipegang teguh oleh Indonesia. Perbedaan pandangan itu tidak mengurangi pengakuan negara terhadap jasa-jasa dan kiprah keduanya yang dinilai layak untuk memperoleh anugerah tanda kehormatan tersebut.
"Bahwa misalnya ada pertanyaan mengenai Pak Fahri Hamzah kemudian Pak Fadli Zon yang berlawanan dalam politik, berbeda dalam politik, ini bukan berarti kita ini bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara. Inilah yang namanya negara demokrasi," kata Presiden.
Fahri dalam kesempatan yang sama, menyatakan, peran Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memang bertujuan untuk menjaga demokrasi, persatuan, dan simbol-simbol negara. Situasi seperti saat ini menjadi momentum tepat untuk mempersatukan bangsa.
"Itu yang tadi beliau sampaikan, sebagai negara demokrasi kita harus bisa memelihara persatuan dan kebersamaan. Apalagi situasinya sekarang sedang Covid-19 dan sebagainya, jadi saya kira itulah momennya sekarang bagi kita semua untuk mempersatukan bangsa kita," kata Fahri.
Masih mengutip siaran pers yang sama, Fadli Zon menyebut bahwa tanda kehormatan yang diterimanya tersebut merupakan sebuah penghargaan kepada rakyat yang telah bersama-sama menjaga kehidupan demokrasi di Indonesia. "Ini sebuah kehormatan karena saya dan Saudara Fahri dari pimpinan lembaga tinggi negara, DPR yang mewakili rakyat, tentu penghargaan ini sebetulnya adalah penghargaan untuk rakyat. Artinya untuk demokrasi kita," kata Fadli.
Untuk itu, ia mengucapkan terima kasih atas tanda kehormatan yang ia sebut sebagai pengakuan terhadap demokrasi. Berbagai perbedaan pandangan yang terjadi selama ini adalah potensi untuk maju dan menjadi modal kuat dalam fungsi pengawasan dan penyeimbangan.