Putusan Sidang Kasus Novel Baswedan Dinilai Janggal
Vonis terhadap terdakwa penyiram penyidik senior KPK, Novel Baswedan, dinilai belum memberikan rasa keadilan. Tim independen dipandang sangat dibutuhkan untuk mengusut pelaku utama di balik kasus penyiraman tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil menggelar peringatan dua tahun penyerangan penyidik KPK, Novel Baswedan, menggunakan air keras di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (11/4/2019). Dalam acara ini, mereka menggelar deklarasi yang isinya, antara lain, mendesak presiden untuk memastikan pengungkapan teror terhadap KPK serta segera dibentuk TGPF independen untuk mengungkap kasus teror tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Tim independen dipandang sangat dibutuhkan untuk mengusut tuntas kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Hasil putusan dari persidangan belum bisa memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena auktor intelektualisnya belum ditangkap.
Kamis (16/7/2020) lalu, dua terdakwa penyiram air keras terhadap Novel divonis hukuman penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Rahmat Kadir Mahulette divonis hukuman 2 tahun penjara, sedangkan Ronny Bugis dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.
Dalam persidangan tersebut, Ketua Majelis Hakim Djuyamto mengatakan, terdakwa melakukan perbuatannya secara sengaja yang menyebabkan korban luka berat. Namun, Rahmat tidak ada niat untuk menyakiti. Hal tersebut terbukti dari perbuatan Rahmat mencampur air aki dengan air biasa.
Pernyataan hakim tersebut mengundang pertanyaan bagi pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan. Menurut Pohan, pernyataan mencampur dari terdakwa tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tidak ada niat untuk menyakiti Novel.
Dari dua fakta tersebut, seharusnya itu suatu penganiayaan dengan terencana dan timbulkan luka berat. Namun, ternyata pengadilan lebih percaya kepada terdakwa.
Ia menegaskan, alat yang digunakan oleh terdakwa dan cara terdakwa menyiram ke tubuh bagian atas sudah berpotensi menimbulkan luka berat.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Tersangka Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette berjalan meninggalkan ruang sidang. Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (19/3/2020), menggelar sidang perdana kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan dengan tersangka Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulete. Sidang mengagendakan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Pembacaan dakwaan dilakukan di Ruang Koesoema Atmadja dan yang terlebih dulu dibacakan untuk terdakwa Ronny Bugis selanjunya Rahmat Kadir Mahulete.
”Dari dua fakta tersebut, seharusnya itu suatu penganiayaan dengan terencana dan timbulkan luka berat. Namun, ternyata pengadilan lebih percaya kepada terdakwa,” kata Pohan dalam diskusi daring bertajuk ”Menakar Nilai Keadilan dalam Putusan Penyerang Novel Baswedan”, Jumat (24/7/2020), yang diadakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Pohan pun menduga bahwa putusan ini bertujuan agar auktor intelektualisnya tidak dikejar. Putusan tersebut akan berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem peradilan. Hal tersebut bisa mendorong masyarakat main hakim sendiri yang sangat berbahaya.
Senada dengan Pohan, aktivis hak asasi manusia dan demokrasi, Muji Kartika Rahaya, mengatakan, seharusnya hakim melihat dampak dari putusan tersebut untuk korban dan publik. Hasil dari putusan tersebut akan berpengaruh pada rasa keadilan yang terus berkembang.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, Novel menjadi faktor utama kejanggalan dari persidangan tersebut. Novel merupakan representasi dari KPK yang berusaha memberantas korupsi.
Sejak awal proses penanganan kasus ini berjalan sangat panjang, berbelit-belit, dan berliku. Apalagi, Novel menyebut ada oknum jenderal polisi yang terlibat. Hal tersebut membuat upaya hukum menjadi tidak mulus. Hal berbeda akan terjadi jika pelakunya merupakan masyarakat biasa.
Kompas/Wawan H Prabowo
Penyidik KPK yang menjadi korban penyiraman air keras, Novel Baswedan, meninggalkan Kantor Komisi Kejaksaan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, seusai memberikan keterangan, Kamis (2/7/2020). Komisi Kejaksaan mengundang Novel untuk dimintai keterangan terkait laporan yang disampaikan ke Komisi Kejaksaan mengenai kejanggalan tuntutan jaksa penuntut umum dalam persidangan perkara penyiraman air keras dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette.
Tim independen
Melihat segala kejanggalan yang ada dalam proses persidangan, Komisioner KPK 2011-2015 Abraham Samad mendorong Presiden Joko Widodo untuk meluruskan persoalan yang ada dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen. Tim tersebut diharapkan melakukan investigasi ulang, penyelidikan, dan membawanya pada proses hukum yang benar.
Dampak buruk yang bisa terjadi yakni penyidik KPK yang tidak kuat akan menjadi ketakutan.
Menurut Abraham, hasil putusan ini akan memenangkan koruptor dan membiarkan pemberantasan korupsi menjadi terjungkal. Dampak buruk yang bisa terjadi yakni penyidik KPK yang tidak kuat akan menjadi ketakutan. Sebab, mereka melihat tidak ada perlindungan dari pemerintah terhadap orang-orang yang fokus memberantas korupsi.
”Kasus ini tidak pernah berujung pada keadilan jika Presiden tidak turun tangan. Presiden mempunyai kewenangan untuk meluruskan jalannya proses hukum dan bukan untuk mengintervensi,” kata Abraham.
Kepolisian Negara RI sebelumnya juga telah membentuk TGPF Pelaku Penyiram Air Keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Namun, hasilnya dinilai kurang memuaskan.
Kompas/Wawan H Prabowo
Jurnalis mengabadikan jalannya konferensi pers yang disampaikan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi korban penyiraman air keras, Novel Baswedan (tengah), didampingi Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjutak (kiri) dan Wakil Ketua Komisi Kejaksaan Babul Khoir (kanan) di Kantor Komisi Kejaksaan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (2/7/2020). Komisi Kejaksaan mengundang Novel untuk dimintai keterangan terkait laporan yang disampaikan ke Komisi Kejaksaan mengenai kejanggalan tuntutan jaksa penuntut umum dalam persidangan perkara penyiraman air keras dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette.