Kwee Sang Kun (73 tahun) dan Lim It Nio telah menikah secara adat warga keturunan Tionghoa Benteng puluhan tahun lalu. Namun, bersama beberapa pasangan lain, mereka menikah "ulang". Demi akta perkawinan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Beberapa orang berkumpul, Minggu (8/3/2020) siang, di Cetiya Veluvana Arama, Kampung Gurubug, Bojong Nangka, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten. Tujuh pasang pengantin lantas masuk ke dalam Cetiya Veluvana Arama. Sebagian di antaranya sudah berusia sangat lanjut.
Mereka melangsungkan upacara pernikahan menurut Agama Budha. Doa dipanjakan diiringi kepulan dupa. Beberapa pasangan lain mengikuti jalannya upacara tersebut baik di dalam maupun di luar ruangan. Tujuh pasang pengantin tersebut adalah bagian dari 66 pasang pengantin yang mengikuti pernikahan massal yang dilangsungkan bertahap sejak Agustus 2019.
Pernikahan massal tersebut diselenggarakan oleh Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) bersama pengurus Cetiya Veluvana Arama dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tangerang.
Salah satunya adalah pasangan Kwee Sang Kun (73 tahun) dan Lim It Nio. Kwee Sang Kun. Pasangan tersebut telah melangsungkan pernikahan secara adat masyarakat keturunan Tionghoa Benteng, yakni upacara pernikahan Cio Tau, puluhan tahun lalu.
Muhammad Reza Zaini dalam tulisannya "Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung" di Jurnal Sosiologi Masyarakat (2014), menuturkan, Tionghoa Benteng, atau dalam istilah lain "Cina Benteng", secara kultural merupakan bagian kecil dari Tionghoa Peranakan. Lebih spesifik, mengutip Witanto, dia menyebut Cina Benteng sebagai komunitas Tionghoa Peranakan yang menetap di Tangerang dan sekitarnya.
Kwee Sang Kun dan Lim It Nio telah memiliki 6 anak, 12 cucu, dan seorang cicit. “Waktu itu belum ada surat (akta perkawinan). Kalau anak-anak sudah menikah resmi (pencatatan sipil), kami malah nyusul (menikah resmi),” kata Kwee Sang Kun sambil tersenyum.
Di usia senjanya, Kwee Sang Kun yang sehari-hari mencari nafkah sebagai petani itu ingin membagi warisan kepada anak-anaknya. Namun, pembagian warisan itu mensyaratkan surat atau dokumen kependudukan, termasuk akta perkawinan orang tua.
Oleh karena itu, setelah mendapat informasi dari para relawan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), pasangan tersebut akhirnya mengikuti pernikahan massal bersama beberapa pasangan lain.
Pasangan lainnya adalah Oeng Coek dan Ong Njuh. Oeng Coek saat ini berusia 85 tahun. Dia tidak ingat kapan dia bersama istrinya menyelenggarakan upacara pernikahan Cio Tau. Yang dia ingat, dia sudah memiliki 7 anak dan 3 orang cucu. Sama seperti Kwee Sang Kun, dengan memiliki akta perkawinan, maka proses pembagian warisan nantinya akan lebih jelas dan diakui negara.
Sulit urus dokumen
Andi Setiawan (40) yang baru saja melangsungkan upacara pernikahan dengan pasangannya, Sherly, mengatakan, dulu mengurus dokumen kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP) atau akta perkawinan, bagi warga keturunan Tionghoa cukup susah. Meskipun sudah beberapa kali datang ke instansi terkait, tetapi belum tentu surat akan diterbitkan.
Namun, kini pandangan itu berangsur hilang. Selain pengurusan dokumen kependudukan lebih mudah, mereka juga dibantu untuk mendapatkannya, seperti dengan mengikuti pernikahan massal tersebut.
Salah seorang petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tangerang Siti Rohmainah menuturkan, dengan memiliki akta perkawinan, tidak hanya pasangan suami-istri yang akan terbantu. Namun, hal itu juga akan membantu anak-anak mereka. Sebab, akta perkawinan diperlukan untuk pengesahan anak, untuk mengurus waris, jual beli rumah atau tanah, mengurus BPJS Kesehatan, sampai membuka rekening bank.
“Pernikahan bapak-ibu pun dilindungi oleh negara,” kata Siti kepada para peserta pernikahan massal itu.
Selain pernikahan massal, Institut Kewarganegaraan Indonesia melalui Peneliti Senior IKI, Paschasius Hosti Prasetyadji, menyerahkan 15 KTP bagi anak-anak Panti Asuhan Bhakti Luhur, Citra Raya, Tigaraksa yang diwakili penanggung jawab panti asuhan, yakni suster Yustin. Total, sudah 27 KTP diserahkan bagi anak-anak panti tersebut.
Menurut suster Yustin, KTP tersebut berguna sekali bagi anak-anak Panti Asuhan Bhakti Luhur untuk mengurus keanggotaan BPJS Kesehatan. Selama ini, dirinya sudah beberapa kali mencoba mengurus KTP bagi mereka, tetapi ditolak. Sebab, pengurusan KPT mensyaratkan dokumen mengenai asal-usul anak-anak itu.
“Kami tidak tahu siapa orang tua anak-anak itu. Kami tahunya hanya nama mereka, bahkan kadang tanggal lahir tidak tahu persis,” kata suster Yustin.
Menurut Prasetyadji, masalah yang sering dialami masyarakat adalah tidak memiliki kelengkapan dokumen kependudukan, seperti akta perkawinan, kartu tanda penduduk, dan akta kelahiran. Sementara, pemenuhan terhadap hak-hak warga negara mensyaratkan dokumen kependudukan itu.
Meskipun syarat kepemilikan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) telah dihapuskan bagi masyarakat keturunan Tionghoa, tetapi menurut Prasetyadji, masih ada persepsi tersebut di kalangan mereka. Bahkan, masih ada oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan itu untuk mencari keuntungan.
“Dulu mungkin mereka tidak terlalu paham tentang dokumen kependudukan sehingga meski telah menikah secara adat, tidak mengurus untuk pernikahan secara agama dan catatan sipil,” kata Prasetyadji.
Dengan kegiatan pernikahan massal tersebut, menurut Prasetyadji, pada prinsipnya IKI ingin memastikan hak-hak kewarganegaraan seseorang sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia terpenuhi dan terjamin.
Masyarakat keturunan Tionghoa yang sering disebut Cina Benteng itu merupakan salah satu kelompok yang kebetulan dibantu IKI. Sejak 2006 hingga awal 2020, IKI telah membantu sekitar 600.000 warga untuk mendapatkan dokumen kewarganegaraan.