Ide pendanaan abadi bagi masyarakat sipil dari anggaran negara sudah pernah dibahas pemerintah. Kali ini pemerintah mematangkan kajian itu. Pendanaan untuk menguatkan masyarakat sipil sebagai salah satu pilar demokrasi.
Oleh
INGKI RINALDI/Edna C Pattisina/Nikolaus Harbowo/Rini Kustiasih
·6 menit baca
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu anggota DPR di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2020). Kehadiran masyarakat sipil penting sebagai salah satu pilar demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran akan perlunya dana abadi dari negara bagi masyarakat sipil sudah muncul di internal pemerintah. Namun, hal itu belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Ide pendanaan dari negara itu bukan bentuk intervensi negara karena anggaran negara sejatinya uang rakyat.
Beberapa tahun terakhir setelah Indonesia dianggap sebagai negara demokratis, lembaga donor tidak tertarik lagi untuk mendanai masyarakat sipil. Dampak dari hal itu, tak sedikit masyarakat sipil yang kesulitan pendanaan. Gerakan mereka pun melemah. Padahal, kehadiran masyarakat sipil yang kuat penting sebagai penyeimbang kekuatan negara.
Masyarakat sipil ialah kelompok terorganisasi yang relatif otonom dari lembaga negara. Mereka mengartikulasi nilai dan membangun solidaritas dalam mencapai tujuannya (Mietzner, 2011). Contohnya, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wariki Sutikno di Jakarta, Jumat (6/3/2020), mengatakan, ide pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penguatan masyarakat sipil sudah muncul saat penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
Aksi dukungan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) digelar oleh Aliansi Masyarakat Sipil untuk Kemanusiaan di depan Kantor KPU, Jakarta, Senin (22/4/2019).
Dana diusulkan agar dikelola oleh sebuah lembaga khusus. Namun, ide itu tidak ditindaklanjuti karena belum matang. ”Kami akan siapkan untuk RPJMN selanjutnya, setelah 2024. Rencana ini harus kami lebih matangkan lagi,” ujar Wariki.
Ia menjelaskan, ide itu berangkat dari kesadaran atas pentingnya masyarakat sipil yang kuat dalam demokrasi. Selain itu, berangkat dari persoalan pendanaan yang dihadapi masyarakat sipil sehingga gerakan mereka melemah.
”Demokrasi ini kalau enggak diawasi, sesuai dengan basic diktum politik, power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup). Semua harus dikontrol,” katanya.
Ide dari APBN itu, Wariki menekankan, jangan disalahartikan bahwa negara berkeinginan mengintervensi masyarakat sipil agar tak lagi kritis kepada pemerintah. ”APBN, kan, bukan anggaran pemerintah, esensinya tetap uang rakyat. Jadi, kalau lewat dukungan dari APBN lantas pemerintah dianggap akan menyetir dan lain-lain, saya tidak setuju pandangan seperti itu. Itu, kan, uang rakyat,” tuturnya.
Mengacu pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang melibatkan 504 responden di 17 kota besar di Indonesia, pada 26-27 Februari 2020, sebanyak 39,1 persen responden menilai pendanaan dari pemerintah menjadi sistem pendanaan terbaik bagi masyarakat sipil. Angka itu setara dengan jumlah responden yang menilai pendanaan dari publik sebagai sistem yang paling terbaik.
Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengatakan pernah menyampaikan usulan perlunya pendanaan abadi bagi masyarakat sipil kepada pemerintah saat masih menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (2004-2007). Dana itu bisa berasal dari anggaran negara, dana pertanggungjawaban sosial perusahaan swasta, atau filantropi.
”Pada prinsipnya Bappenas ketika itu setuju, tetapi Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) belum bersikap sehingga belum ada realisasi. Idealnya dana abadi itu dianggarkan di APBN,” katanya.
Namun, untuk pengelolaan anggaran itu sebaiknya diserahkan kepada lembaga khusus yang di dalamnya diisi pengawas dari pemerintah, swasta, atau perwakilan LSM. Lembaga itu yang kelak menilai suatu proposal kegiatan masyarakat sipil, layak didanai ataukah tidak. ”Supaya penilaiannya obyektif, yang mengambil keputusan tentang pengalokasian dana abadi itu ialah orang-orang yang memang profesional di bidang tersebut,” katanya.
Suasana audiensi dan diskusi dengan masyarakat sipil mengenai RUU Pemilu di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Sejumlah lembaga masyarakat sipil hadir, seperti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Indonesia Corruption Watch, Perludem, dan KoDe Inisiatif.
Persoalan dalam dunia masyarakat sipil tidak semata-mata anggaran. Kendati demikian, ketersediaan anggaran perlu menjadi perhatian bagi semua pihak jika ingin jalannya demokratisasi di Tanah Air berlangsung berkelanjutan.
”Demokrasi kita saat ini dikendalikan oleh parpol dan pemerintah, dan itu tidak sehat, karena organisasi masyarakat sipil kurang berperan. Perlu digaungkan kembali supaya demokrasi, yang dalam praktiknya ialah pembuatan kebijakan untuk kepentingan publik, tidak hanya melibatkan parpol di DPR dan pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil, sektor privat, dan masyarakat pada umumnya,” tutur Ramlan.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah aktivis LSM dalam dua pekan terakhir, problem pendanaan salah satunya coba diatasi dengan menggalang dana publik. Namun, dana publik yang berhasil digalang tersebut belum bisa menutupi anggaran yang dibutuhkan organisasi, Kompas (Kamis, 5/3/2020). Beberapa LSM masih bertumpu pada pendanaan dari lembaga donor.
Fungsi penyeimbang
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan, jika memang kelak ada dana abadi dari APBN bagi masyarakat sipil, bantuan jangan sampai membuat masyarakat sipil kehilangan fungsinya sebagai penyeimbang negara. ”Jangan sampai kalau kita dapat dana lalu tidak bisa menggugat pemerintah. Tantangannya memang di situ, yaitu apakah bisa profesional,” katanya.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) menjelaskan mengenai temuan dan catatan kritis terhadap UU MD3 di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Minggu (13/7/2014).
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengingatkan hal yang sama. ”Jangan kemudian pendanaan dari negara, lalu (sikap) kritis dan dimensi kemandirian lembaga menjadi hilang,” ujarnya.
Selain itu, menurut Direktur Eksekutif Lokataru Fondation Haris Azhar, dari pengalaman memperoleh bantuan dari pemerintah, bantuan itu dibatasi untuk kegiatan publikasi dan seminar. Pembatasan ini harusnya dievaluasi karena berisiko tidak sampai ke akar rumput dan hanya formalitas belaka.
Tak sebatas memberi bantuan, Direktur The Smeru Research Institute Wijayanti menekankan pentingnya pemerintah untuk ikut membantu meningkatkan kapasitas LSM, khususnya agar akuntabel untuk disumbang publik. Peningkatan ini akan berimplikasi pada datangnya dana dari berbagai pihak.
Salah satu bentuk akuntabilitas itu dengan memublikasikan laporan keuangan yang telah melalui proses audit.
Berdasarkan hasil kajian Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) terhadap lebih dari 100 organisasi nirlaba di Indonesia sejak 2009 hingga 2019, terpotret tingkat kapasitas organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang masih perlu dibenahi. Proses kajian menggunakan sarana Organizational Capacity Performance and Assessment Tool (OCPAT).
Dari nilai 1-4, ada dua aspek dari organisasi yang masih lemah, yakni manajemen organisasi (3,09) dan keberlanjutan (3,13). Sementara empat aspek lain relatif kuat, yaitu orientasi organisasi (3,32), tata kepengurusan (3,19), manajemen program (3,26), dan kinerja (3,37).
Manajer Program Yappika, Hendrik Rosdinar, mengatakan, fenomena lemahnya aspek manajemen organisasi dan keberlanjutan sering kali terlihat di daerah, ada organisasi yang muncul dan tenggelam tergantung dari proyeknya. Organisasi tersebut, lanjut Hendrik, tak pernah memikirkan masalah keberlanjutan, bahkan jenjang karier di internal mereka.
”Sering kali organisasi itu seperti lilin, dia bekerja menerangi sekitarnya, tetapi pada dasarnya abai terhadap hal-hal yang internal, abai di manajemen organisasi, dan abai memikirkan keberlanjutan,” ujar Hendrik.
Secara khusus, Yappika menyoroti soal keberlanjutan. Keberlanjutan dipengaruhi tiga faktor, yakni kemampuan menggalang dana dan sumber daya, memastikan kaderisasi, serta kemampuan mempertahankan kepercayaan dan legitimasi publik.
Dari tiga faktor itu, Yappika melihat, ada titik lemah di dalam kemampuan menggalang dana. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah tingginya ketergantungan pada hibah lembaga donor.
Menurut Hendrik, persoalan tersebut terjadi karena organisasi tak memiliki sumber pendanaan yang variatif. Seharusnya, mereka mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi yang membuat metode penggalangan dana kian variatif. ”Kita juga harus mulai mengatur strategi berkomunikasi dan memodifikasi program kita. Kita harus mengonversi program kita menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh pendonor. Bukan dengan bahasa-bahasa yang eksklusif,” tuturnya, menambahkan.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, Senin (2/3/2020), menekankan pentingnya masyarakat sipil untuk bersatu. Jika persatuan terwujud, masing-masing bisa saling menutup kelemahan yang ada. Agar hal itu bisa terjadi, seluruh kekuatan masyarakat sipil dituntut memiliki visi yang sama.
”(Juga) punya target (jangka) pendek, menengah, dan panjang yang sama dan bagi-bagi tugas di situ,” katanya, menambahkan.